Kudeta Demokrat [1] Partai atau "Party"

Mari kita lebih dewasa berpihak karena kita ke depan bisa naik Kuda atau di terkam Buaya, atau bahkan di cabik Singa, tergantung kita memilihnya.

Jumat, 19 Maret 2021 | 09:47 WIB
0
200
Kudeta Demokrat [1] Partai atau "Party"
Moeldoko dan AHY (Foto: tribunnews.com)

Masih menjadi trending topic Minggu ini di medsos bagaimana Moeldoko sambil ngopi bisa menjadi ketua partai, sementara pemiliknya mati-matian merawat, walau dengan cara tak sehat, karena orang-orang berjasa pada di lpecat sehingga mereka merasa dikhianati, padahal merekalah yang mengakali.

Ya kita katakan keluarga SBY adalah pemilik partai yang notabene cara mendapatkannya juga dengan jalan kudeta, makanya begitu ada gerakan KLB mereka mati-matian mau mempertahankan. Takut kehilangan karena partai sebagai sumber penghasilan sekaligus alat menuju kekuasaan, yang ujung-ujungnya alat menumpuk kekayaan.

Ada 16 partai peserta pemilu 2019, 9 hingga 10 di antaranya adalah partai dinasti atau yang nyaris milik pribadi.

Ciri-cirinya jelas, ketumnya bisa sampai mati gak bisa diganti, paling banter kelak turun ke anak. Ada yang berani mencoba berambisi langsung dihabisi.

Jadi kalau melihat gelagat yang ada selama ini, arah negara ini tergantung selera dan kepentingan Ketum partai. Untung saja PDIP ngusung Jokowi, kalau tidak pastilah kita akan menerima seleranya Megawati. Beliau pernah jadi presiden 3 tahun, tidak banyak berbuat, ini masalah kapasitas. Jokowi yang dijuluki petugas partai ternyata lebih lugas dan jelas.

Kita sedang menjalani 10 tahun masa pemerintahan Jokowi, bak bumi dan langit kita merasakan proses kebenaran yang dijalankan, dibandingkan saat SBY memerintah deng hanya banjir rekaman, tapi tak enak didengarkan.

Kebayang ke depan pasca Jokowi kalau tak dapat pengganti yang mumpuni. Ada gaya Prabowo yang arogan dan pendendam, plus Puan yang pendiam. Gaya Surya Paloh sang orator, tapi otak kotor, Golkar yang terus mengincar dengan JK yang masih ada didalamnya.

Kalau lainnya hanya pelengkap saja karena tak pernah punya suara banyak yang bisa beranjak.

PKS tetap menjadi oposisi walau harus diwaspadai karena mereka closed to Cendana dan tak demen Pancasila.

Bagaimana dengan Demokrat, kita lihat pasca perang urat syaraf, apakah AHY masih pede, atau Moeldoko bisa narik Semongko.

Saat ini sulit kita mendapatkan partai politik sesuai dengan definisi yang umum, atau punya cita-cita yang sama bersama anggotanya. Awalnya bisa iya, tapi kemudian selalu selera ketumnya yang mendominir kelanjutannya.

Sehingga partai dalam arti sebenarnya akhirnya bergeser ke pesta golongannya. Mereka menikmati kemenangan dan kekuasaan, selanjutnya mabok gak karuan. Pada situasi itu rakyat cuma dipermainkan.

Kehadiran Jokowilah yang benar-benar bisa dirasakan bahwa rakyat dianggap ada dan harus di berdayakan, bukan sekedar di budidayakan untuk tujuan kekuasaan dan menumpuk kekayaan.

Maka, mari kita lebih dewasa berpihak karena kita ke depan bisa naik Kuda atau di terkam Buaya, atau bahkan di cabik Singa, tergantung kita memilihnya.

Polaritas selalu ada, kejelian kitalah yang menentukan arahnya. Tapi yang pasti Indonesia harus berjaya.

***