Situasi darurat menciptakan berbagai aturan yang tidak transparan, sistem yang dibuat pun atas nama darurat, sehingga semua bisa ditutupi oleh apa yang dinamakan keadaan darurat.
Di tengah situasi darurat covid-19, berbagai aturan pun dibuat dan berlaku bersifat darurat, sehingga akurasi ketegasan dalam penerapan pun bersifat mengambang penuh ketidak-pastian.
Keraguan menerapkan lockdown atas dasar berbagai konsekwensinya, berakhir dengan munculnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang tetap mengutamakan physical distancing.
Namun dalam aplikasinya tetap saja terkesan ambigu, secara tidak disadari tetap saja menciptakan keramaian, untuk kepentingan tertentu, yang pada akhirnya memberikan kesan ketidak-tegasan terhadap aturan yang dibuat sendiri.
Physical distancing, jauh hari sudah ramai digaungkan, ada yang dipatuhi, namun ada juga tetap dibiarkan terjadinya kerumunan, bahkan baik pemerintah pusat maupun daerah, tanpa sengaja tetap menciptakan kerumunan demi sebuh seremonial.
Kalau yang membuat aturan sendiri tidak bisa mematuhi aturan yang sudah dibuat, lantas pertanyaannya adalah, peraturan tersebut dibuat untuk siapa? Untuk dipatuhi atau untuk dilanggar sendiri?
Aturan Cucuk-cabut
Begitu mudahnya sebuah aturan dianulir oleh atas nama pemilik otoritas wewenang. Satu pejabat mengeluarkan aturan, dengan mudah dicabut aturannya oleh pejabat lain yang lebih memiliki wewenang.
Baru satu hari diterapkan, keesokan harinya aturan tersebut sudah berubah lagi. Memang sih dalam keadaan darurat apapun bisa terjadi, aturan yang dibuat dalam keadaan darurat pun bisa seenaknya berubah seketika.
Diadakannya Kementerian sosial, untuk mengurus berbagai hal yang menyangkut kesejahteraan rakyat, termasuk juga soal distribusi sembako dan bantuan sosial bagi masyarakat, di tengah bencana covid-19.
Namun dilapangan masih terlihat Presiden malah ikut bagi-bagi sembako, yang berakibat pada terjadinya kerumunan massa. Begitu juga kepala daerah, tanpa sengaja mengumpulkan jurnalis hanya untuk sebuah konfrensi Pers.
Di tengah anjuran physical distancing, terjadinya situasi seperti tersebut diatas, akan menimbulkan berbagai pertanyaan yang membuat masyarakat bingung. Pemimpin yang diharapkan menjadi role model penerapan kebijakan, malah memberikan contoh yang tidak baik.
Di kelas masyarakat menengah kebawah, berbagai aturan yang diterapkan pemerintah, baik pemerintah daerah atau pun pemerintah pusat, belum sepenuhnya dipatuhi.
Kerumunan massa masih terus terjadi, anjuran physical distancing tidaklah terlalu dimengerti. Memang PSBB tidak membatasi aktivitas masyarakat, namun tidak diaplikasikannya physical distancing, sangat kontradiktif dengan pemutusan penyebaran covid-19.
Ambiguitas semua regulasi yang dikeluarkan pemerintah, membuat semua aturan tersebut menjadi tidak efektif dalam penerapannya. Alhasil, semua yang dilakukan tidak lebih dari sebuah seremonial penggelontoran anggaran secara besar-besaran, namun hasilnya tidak tepat sasaran.
Pesta pora anggaran di tengah darurat bencana selalu terjadi, tidak meratanya pembagian dana bansos dan sembako, bagi masyarakat yang membutuhkan, bisa memicu gejolak sosial di tengah bencana.
Mental aparatur pelaksana tanggap darurat dilapangan belumlah berubah. Mencari kesempatan di tengah kesempitan masyarakat masih terus terjadi.
Situasi darurat menciptakan berbagai aturan yang tidak transparan, sistem yang dibuat pun atas nama darurat, sehingga semua bisa ditutupi oleh apa yang dinamakan keadaan darurat.
Inilah yang pada akhirnya mengakibatkan, "anggaran habis, namun rakyat tetap binasa". Semoga saja ini tidak terjadi, semua aparat yang diterjunkan di tengah darurat bencana, masih memiliki naluri kemanusiaannya, yang menempatkan kemanusiaan diatas kepentingan pribadi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews