Massa Aksi dan Gerombolan

Mereka yang menipu atau berbohong dengan alasan membela agama, pada akhirnya akan kehilangan massa dan masanya juga.

Jumat, 28 Februari 2020 | 21:24 WIB
0
271
Massa Aksi dan Gerombolan
Ilustrasi massa (Foto: kompas.com)

Ini hari ideal bagi yang mengidealkan. Bagi yang tidak, ya, biasa saja.

Jumat, tanggal 21 bulan 2, wuih, itu sexy dan sesuatu banget. Hari penuh berkah, pas dengan angka kemujuran 212. Ayo demo!

Tapi karena jualan agama, serta modus pendustaan agama makin dikenali publik, kini dengan alasan 'transformasi sosial', isu-isu yang digarap dengan sorban dan kerudung agama itu dialihan ke kinerja pemerintahan yang berkait korupsi dan masalah ekonomi-sosial.

Tapi tetap saja itngkat ngawurnya. Misal tudingan sekjen FPI Munarman, yang mengatakan Nadiem Makarim memanfaatkan jabatan sebagai menteri untuk mengeruk uang negara dengan pembayaran SPP via go-pay.

Bagi logika generasi analog, tentu analoginya masuk. Tapi di jaman digital atau internet ini, tudingan itu gampang dimentahkan kebenaran dan ketidakbenarannya. Generasi Nadiem tentu beda isu dengan generasi serta kelompok Munarman.

Walau makin ngawur, pendukungnya makin gegap gempita. Mungkin karena kehilangan Prabowo, Rizal Ramli dan Rocky Gerung pun memuji-muji FPI telah melakukan transformasi luar biasa.

Ehm. Yah, namanya juga orang cari duit, dan ingin tetap eksis. Lagian ada juga yang percaya pendapat mereka. Apalagi media kita (terutama media online), pura-pura bego dengan kredo bahwa tugas mereka menyampaikan informasi apapun dan apapun informasi itu.

Demo, yang memanfaatkan keistimewaan angka 212, apalagi hari Jumat, di mana sasaran sentimen kelompok ini lebih mudah didapat, tinggal nyebar isu ke masjid-masjid, biaya operasional bisa ditilep. Dan kerumunan massa bisa dengan mudah dijadikan aksi gerombolan.

Tapi efektifkah demo model-model begituan? Akan makin tak efektif. Tentu ada yang kecewa, karena penyampaian pendapat, aspirasi, atau pemaksaan kehendak, kelak tidak akan berjalan seheroik Angkatan 45, 66, atau 80-an. Makanya yang remaja kini milih jadi klithih, atau tawuran di jalanan, untuk mengukur emosi heroiknya. Apalagi pedagang nasi bungkus kini lebih menyukai go-food.

Mereka yang menipu atau berbohong dengan alasan membela agama, pada akhirnya akan kehilangan massa dan masanya juga. Bahkan bisa jadi ancaman balik bagi agama mereka sendiri. Yang bisa jadi makin nggak laku. Kayak menepuk air di dulung terpercik ke muka sendiri. Itu kalau punya muka.

Apakah tidak diketahui? Mungkin diketahui. Tapi kalau tujuan sejatinya bukan bela agama? Melainkan cuma cari duit? Maka agama ancur pun manadaurus! Meneketehek!

***