Teori Konspirasi

Tidak semua Teori Konspirasi layak dipertimbangkan. Tapi tidak semua Teori Konspirasi harus diabaikan.

Senin, 23 Maret 2020 | 13:38 WIB
0
388
Teori Konspirasi
Ilustrasi teori konspirasi (Foto: unsplash.com)

Teori konspirasi adalah hipotesis yang ditarik dari satu analisis atas beberapa bagian cerita atau fakta yang dianggap terkait langsung maupun tidak langsung dengan satu peristiwa (besar). Umumnya, hipotesis itu adalah jawaban atas pertanyaan, “mengapa peristiwa itu terjadi?”

Teori konspirasi umumnya muncul karena ‘keterangan resmi’ dari lembaga pemegang otoritas (biasanya negara), yang berupa jawaban atas pertanyaan “mengapa peristiwa itu terjadi?” tidak meyakinkan publik. Lalu publik berasumsi, "ada bagian atau keseluruhan yang sebenarnya terjadi sengaja tidak dipublikasikan".

Terbentukya asumsi publik semacam itu sangat wajar, karena langkah ‘menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi’ juga biasa dilakukan oleh lembaga yang berkompeten (pemegang otoritas) atas kasus dimaksud. Tujuannya bisa macam-macam, tapi pada dasarnya itu adalah tindakan licik untuk menjaga kekuasaan atau mencapai kepentingan.

Banyak kasus besar yang hingga kini meninggalkan pertanyaan dan dibiarkan menjadi misteri. Seperti terbunuhnya Presiden Kennedy, kecelakaan yang menimpa Lady Di hingga meninggal, keluarnya Supersemar, dan lain-lain.

Kelemahan Teori Konspirasi adalah tidak memiliki ruang untuk membuktikannya. Juga karena tidak adanya subjek (orang atau lembaga) yang mau memodali secara finansial maupun politis, upaya pembuktian melalui jalur hukum atau metoda scientic empiric, misalnya.

Sebuah Teori Konspirasi akan menjadi ‘kuat’ bila disertai tesis kuat yang mendukungnya. Artinya, tidak semua Teori Konspirasi layak dipertimbangkan. Bagi publik, Teori Konspirasi menjadi deskripsi tandingan atas penjelasan resmi dari pemegang otoritas (sesuai bidang isunya) yang dinilai tidak meyakinkan.

Bagi pemegang otoritas yang menetapkan ‘penjelasan resmi’ sebagai gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi, Teori Konspirasi didegradasikan sebagai satu ‘ilusi’ yang tanpa dasar.
Karenanya, jika memang benar pemegang otoritas ‘menyembunyikan kebenaran’, maka untuk menguatkan penjelasan resminya, pemegang otoritas bisa dengan sengaja membangun dan menyebarkan beberapa Teori Konspirasi.

Sehingga, jika ada Teori Konspirasi yang mendekati kebenaran, atau bahkan menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi, hanya menjadi salah satu dari sekian Teori Konspirasi yang beredar, yang tidak layak dipertimbangkan.

Untuk menguji kelayakan Teori Konspirasi, bisa melalui analisis sejumlah kejadian yang terkait langsung atau tidak langsung dengan peristiwa besar (subyek). Teori Konspirasi akan menemukan signifikansinya, jika ada hal-hal (kejadian atau tindakan) yang tidak wajar dari pihak yang terlibat dalam peristiwa besar.

Ada pihak atau orang yang nyinyir dengan Teori Konspirasi. Argumennya: hanya mengakomodasi hasrat dan kepentingan dengan merangkai beberapa bagian cerita atau fakta, sesuai dengan keinginannya. Menurut mereka, Teori Konspirasi tidak akan mengubah realita, juga catatan sejarah selanjutnya.

Tapi begini. Dalam satu kasus kriminal, Polisi mempelajari fakta-fakta dan bukti-bukti yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kasus kriminal tersebut. Lalu membangun hipotesis yang merupakan ‘Teori Konspirasi’. Kemudian Polisi memeriksa orang-orang yang terlibat langsung dengan peristiwa itu. Keterangan yang diberikan oleh orang-orang yang diperiksa, adalah ‘penjelasan resmi’ dari orang-orang itu.

Ketika ditemukan hal-hal yang janggal dari ‘penjelasan resmi’ itu, Polisi akan mengejarnya mensimulasikan (reka ulang) kejadiannya, sampai orang-orang yang sebelumnya berstatus terperiksa mengatakan kejadian yang sebenarnya. Maka ‘penjelasan resmi’ yang sebelumnya, otomatis gugur. Lalu orang yang bersalah ditetapkan sebagai tersangka.

Jadi, sekali lagi, tidak semua Teori Konspirasi layak dipertimbangkan. Tapi tidak semua Teori Konspirasi harus diabaikan.

***