Jelang Pelantikan Jokowi, Mengapa Wajah Para Elit Politik Jadi Cerah?

Energi itu bisa berupa dana, aksesibilitasa ekonomi-sosial kemasyarakatan, citra atau pengaruh publik, dan lain sebagainya melalui kalkulasi politik yang seringkali tidak dipahami publik awam.

Jumat, 18 Oktober 2019 | 00:04 WIB
0
431
Jelang Pelantikan Jokowi, Mengapa Wajah Para Elit Politik Jadi Cerah?
sumber gambar : detik.com

Jadi elit politik  harus punya banyak persediaan raut wajah yang berbeda. Kalau tidak, lebih baik jadi orang biasa saja. 
 

Jelang pelantikan Joko Widodo/Ma'ruf Amin jadi Presiden dan Wakil Presiden suasana "gaul" ditingkat elit politik terlihat cerah. Ibarat sebuah penerbangan, cuaca cerah berawan biru, jarak pandang jauh dan jelas. Pilot bisa santai main game, atau tidur-tidur ayam di kokpit

Kalau beberapa hari ini  anda rajin mengikuti berbagai siaran pemberitaan, dialog atau  wawancara  politik di televisi, akan tampak suasana santai, penuh canda, peluk sana-peluk sini antar elit politik yang berbeda partai. 

Ada yang dulunya lawan politik dalam kontestasi Pilpres dan Pilkada.  Ada juga yang rekan satu koalisi. Sesekali mereka saling bully. Tentunya bully keakraban. Bully ecek-ecek. Bully sayang. Bully nganu, heu heu heu.. !

Sejak Prabowo "reuni mesra kakak-adik" dengan Megawati,   kemudian Prabowo ketemuan dengan Jokowi, dilanjutkan safari politik ke partai-partai koalisi Jokowi, seperti Nasdem, PKB, dan Golkar terlihat sebuah suasana baru politik elit lebih adem dibandingkan beberapa bulan lalu. Sudah bertobat kah mereka?

Kini diantara mereka tidak ada kata-kata saling cela, hujat, atau nyinyir. Wajah para elit politik itu "mendadak" cerah. Mereka saling baikan. Penuh senyum, seperti tak pernah ada masalah dimasa lalu.  

Padahal kalau kita mengingat kembali beberapa waktu ke belakang, terutama masa jelang Pilpres dan pasca Pilpres, tiada hari tanpa pernyataan pedas saling serang antar kubu 01 dan kubu 02, baik terhadap partai atau tokoh/elit politik .  

Masa saling serang jadi menu harian di ruang publik lewat pemberitaan media mainstream, sehingga dunia politik seolah identik dengan permusuhan antar kelompok yang berbeda preferensi politik. Media berpesta sensasi. Makin bombastis dan dramatis saling serang antar kubu, sensasinya makin tinggi sehingga ramai pembacanya. 

Dua kubu, yakni kubu 01 dan kubu 02 bagai dua kutub tolak menolak yang abadi. Keduanya bagai  musuh besar yang tak bisa berteman. Ibarat filem kartun, seperti  Tom dan Jerry. Siapa yang diposisi Tom atau Jerry tergantung cara pandang masing-masing kubu.  

Kalau saja sejak dulu  dunia politik negeri ini damai, selalu terbangun kebersamaan di tingkat elit--tanpa meniadakan sikap kritis pada kawan atau lawan politik maka upaya  pembangunan bangsa dan negara bisa lebih optimal.  Energi rakyat bisa lebih hemat, efektif dan fokus mendukung percepatan  pembangunan. 

Rakyat tidak saling berkelahi memperebutkan pepesan kosong dari provokasi para elit politik, atau pernyataan saling serang antar para pendukung dan junjungan politik.

Kultur paternalistik yang dominan pada  masyarakat kita secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi  cara mereka melihat elit politik  sebagai "patern". Mereka masih kuat mengikuti saja "apa kata" orang tua atau pemimpin formal dan nonformal.  Masyarakat cenderung menjadikannya panutan atau junjungan tanpa syarat. Tanpa sikap kritis. Salah benar pemimpin harus dibela--dengan cara menyerang pihak lain--sehingga relasi sosial kemasyarakatan di dunia nyata dan maya jadi tidak harmonis. 

Kini, Pilpres sudah selesai. Presiden terpilih tak lama lagi akan dilantik. Banyak bermunculan pernyataan elit politik kubu 01 dan 02 "mendukung kepemimpinan presiden Jokowi yang sudah terpilih".  Kalau dikaitkan adigium "Politik itu cair", kenapa baru sekarang mereka "cair"? Kenapa cair setelah masyarakat terbelah? Apakah para elit politik sudah bertobat setelah melihat masyarakat terbelah?

Masih banyak pertanyaan bisa muncul terkait sikap "mendadak bersahabat" dan "wajah cerah"  para elit politik tersebut. Banyak dugaan bisa diuraikan. 

Cair diartikan terpenuhinya  kepentingan politik praktis atau target pragmatis kelompok. Masing-masing memiliki agenda "tersembunyi" dibalik wajah cerah jelang pelantikan, serta pernyataan dukungan pada presiden terpilih.  Terlebih, pasca pemerintahan Jokowi/Amin tahun 2024 nanti sangat  krusial untuk meraih kekuasaan. 

Mereka telah membaca psikologi masa bahwa membangun kedamaian dan pertemanan dengan  lawan politik sehingga diharapkan bisa meraih simpati rakyat dan menaikkan pamor partai/kelompok. Mereka berharap bisa masuk dalam kabinet, atau pos-pos penting lain yang kiranya bisa memberikan energi besar untuk kontestasi Pilpres 2024.

Energi itu bisa berupa dana, aksesibilitasa ekonomi-sosial kemasyarakatan, citra atau pengaruh publik, dan lain sebagainya melalui kalkulasi politik yang seringkali tidak dipahami publik awam. 

Apapun itu, realitas politik di tingkat elit memang demikian. Namun kita sebagai rakyat  tetap menginginkan suasana kondusif ditingkat elit politik itu merupakan habitus baru pelaku politik negeri ini. Pertemanan dan wajah cerah mereka bisa terus berlanjut, sehingga mampu memberikan pengaruh terciptanya rasa damai dan mempekokoh persatuan dan kesatuan di tingkat akar rumput, yakni rakyat secara keseluruhan. 

Kalau para elit politik itu bisa saling baikan kembali, kenapa kita tidak?

"Benarkah itu, Rhoma?" 

 "Benar, Ani! Jangan pernah ragu padaku"

"Aku sih rapopo, Rhoma.."

***