Sinyal Jokowi ke Sandi, Jalankan Politik Pecah-belah?

Senin, 20 Januari 2020 | 21:33 WIB
0
384
Sinyal Jokowi ke Sandi, Jalankan Politik Pecah-belah?
Presiden Jokowi berbincang dengan mantan Ketua Umum HIPMI Sandiaga Uno sebelum menghadiri acara pelantikan BPP HIPMI periode 2019-2022 di Jakarta, Rabu (15/1/2020. (Foto: Kompas.com).

Presiden Joko Widodo mendukung Sandiaga Salahuddin Uno untuk maju Pilpres 2024 nanti? Jika menyimak sambutannya dalam acara pelantikan pengurus HIPMI periode 2019-2022, Presiden Jokowi telah memberikan sinyalnya untuk Sandi.

Di acara yang sama hadir pula Sandi yang juga mantan Ketum dan Senior HIPMI itu. Melihat kehadiran Sandi, Presiden Jokowi yang pernah bersaing saat Pilpres 2019 lalu menyampaikan pesan, “Hati-hati 2024!” Sontak hadirin bertepuk tangan.

Lebih lanjut Presiden Jokowi mengatakan, “Tadi kan disampaikan Ketua Dewan Pembina, kalau 2024 nanti kemungkinan yang hadir di sini adalah kandidat yang kemungkinan besar akan menggantikan saya. Dan saya meyakini itu,” ujarnya.

Presiden Jokowi memang tidak menyebut nama Sandi, tapi dengan kalimat, “bisa saja yang berdiri tadi.” Maksudnya yang berdiri tadi tak lain adalah Sandi. Sinyal yang disampaikan Presiden Jokowi bisa diterjemahkan secara positif atau negatif.

Presiden Jokowi pasti sudah punya pertimbangan ketika menyampaikan sinyal dukungannya kepada Sandi itu. Secara positif, tampaknya Jokowi akan lebih nyaman jika yang meneruskan estafet pemerintahannya nanti adalah Sandi, bukan yang lainnya.

Termasuk Gubernur DKI Jakarta Anies Bawesdan yang digadang-gadang para pendukungnya belakangan ini. Apalagi, Sandi sendiri itu seorang politisi, elit partai, dan pernah terjun dalam kontestasi Pilpres 2019 lalu bersama Prabowo Subianto.

Sinyal Presiden Jokowi ke Sandi ini mengirim pesan kuat bahwa memang hubungan Presiden Jokowi dengan Gubernur Anies bagaikan api dalam sekam. Panas, sulit untuk dipersatukan. Ini terlihat saat Jakarta dilanda banjir, 1 Januari 2020, lalu.

Di satu sisi Gubernur Anies dalam menangani banjir yang melanda Jakarta lalu itu, kerapkali merespon langsung Pemerintah Pusat dan Presiden Jokowi secara langsung. Gubernur Anies head to head langsung dengan Presiden Jokowi dan Pemerintah Pusat.

Secara fatsoen politik, yang dilakukan Gubernur Anies itu kelihatannya memang tidak elok. Kesannya ia sedang melakukan perlawanan. Apalagi, Presiden Jokowi tak mengundangnya saat Rapat membahas penanganan Banjir Jakarta.

Ini menjadi sinyal kepada Gubernur Anies bahwa Presiden Jokowi sudah “tidak butuh” Anies lagi. Jelas, apa yang dilakukan Presiden Jokowi ini bisa dinilai sebagai upaya “pecah-belah” kekuatan politik Anies – Sandi yang pernah bersama kelola Ibukota ini.

Dan, perlu dicatat, keduanya pernah pula mengalahkan kekuatan politik lainnya saat Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu yang disokong kekuatan parpol besar, seperti Agus Harimurty Yudhoyono (Partai Demokrat) dan Basuki Tjahaja Purnama (PDIP).

Bila Anies – Sandi pecah, tentu saja ada kekuatan politik lainnya yang diuntungkan. Yakni: Demokrat yang sudah menyiapkan AHY atau Andika Perkasa yang kini digadang-gadang oleh “oligarki jenderal” yang selama ini telah menyokong Jokowi.

Ada pula, PDIP yang tampaknya juga sedang menyiapkan Puan Maharani yang kini duduk sebagai Ketua DPR RI untuk ikut dalam kontestasi Pilpres 2024. PDIP dan Puan sekarang tinggal mencari pasangannya saja sebagai Cawapres untuk Puan.

Sebagai parpol pemenang Pemilu 2019, tentunya PDIP tidak akan mau jika ditempatkan di posisi Cawapres 2024 nanti. PDIP pasti minta jatah Capres! Siapakah yang mau digandeng Puan (PDIP) untuk posisi cawapres? Masih sulit menjawabnya!

Sebab, apa yang dirasakan rakyat selama Jokowi yang disokong PDIP menjabat Presiden, banyak kebijakan yang sangat merugikan rakyat. Berbagai kasus korupsi menyeruak dan semakin menggila yang juga melibatkan kader parpol pendukung.

Kalaupun PDIP bisa mengajukan capres sendiri meski tanpa dukungan parpol lainnya, toh PDIP tetap butuh cawapres dari parpol lainnya. Persoalannya, apakah parpol tersebut mau ikut mendukung. Dan, siapa figur yang pas untuk Puan tersebut.

Rasanya tidak mungkin kalau Ahok yang juga PDIP satu paket bersama Puan. PDIP masih tetap butuh parpol pendukung lainnya dalam kontestasi Pilpres 2024 nanti. Kabarnya, Ahok justru akan dipasangkan dengan AHY atau Andika Perkasa.

Konon, Ahok disokong China. Inilah yang membuat “oligarki jenderal” dengan mudah bisa menarik dukungan dari parpol di luar PDIP dan Gerindra. Apalagi, belakangan ini hubungan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto tampak akrab.

Jika Anies Baswedan benar-benar “ditinggalkan” Sandi (dan Gerindra), maka peluang Anies ikut kontestasi Pilpres 2024 sedikit “tertutup”, meski mantan Rektor Universitas Paramadina ini sangat berpotensi memenangkan Pilpres 2024 mendatang.

Itu jika Anies – Sandi kembali berpasangan pada Pilpres 2024. Mereka berpeluang menang  seperti saat Pilkada 2017 yang mengantarkannya menjadi Gubenur – Wakil Gubenur DKI Jakarta. Meski didukung Gerindra dan PKS, mereka bisa menang.

Namun, bila dilihat hingga saat ini Gerindra-PKS belum juga sepakat soal wagub pengganti Sandi, maka itu pertanda ada masalah antara Gubernur Anies dengan partai pengusungnya. Pasti kedua parpol itu tidak sreg lagi dengan Gubernur Anies.

Sehingga, sekarang ini terkesan, Gubernur Anies terlihat asyik sendiri dibantu dengan timnya untuk meningkatkan popularitas tanpa membawa parpol pengusungnya, Gerindra-PKS dalam berbagai kegiatan. Sepertinya, kedua parpol ini mulai meninggalkannya.

Di sisi lain, bisa jadi Gubernur Anies juga kecewa melihat kedua parpol pengusungnya yang sengaja membuatnya “sendirian” dalam mengurus Ibukota. Mengurus Jakarta tanpa bantuan Wagub, meski ada kepala dinas dan TGUP yang membantunya.

Meski pilpres masih empat tahun lagi, tapi sebetulnya sudah di depan mata. Kini, apa yang dilakukan Gubernur Anies dan para pendukungnya pun, tak bisa dilepaskan dari kontestasi Pilpres 2024. Tapi, persoalannya, Anies tak punya parpol.

Mungkin mereka lupa bahwa peran parpol sangat menentukan, maju atau tidaknya seseorang. Gubernur Anies bisa saja nyapres, bisa juga sebaliknya. Semua tergantung keputusan parpol. Di sini kita bisa baca maksud pernyataan Presiden Jokowi itu.

Bagaimanapun juga Sandi memiliki partai, dan elit partai besar. Sementara Gubernur Anies tidak punya partai. Di sinilah kelemahan Anies! Konsekuensinya, dia hanya bisa menunggu lamaran dari berbagai parpol, seperti yang dilakukan NasDem.

Manuver yang ditempuh Ketum NasDem Surya Paloh tempo hari itu justru bisa membuat parpol lainnya yang berniat ingin mendukung Anies juga berpikir ulang. Karena, bisa saja, mereka bakal dianggap “mengekor” NasDem. Itulah politik!

Akankah Sandi akhirnya juga meninggalkan Anies, sehingga keduanya “berpisah”? Dalam politik itu semuanya bisa terjadi. Meski keduanya memiliki hubungan yang erat, termasuk kedua ibunda masing-masing bersabat sejak usia muda.

Jika hal itu terjadi, maka sinyal Presiden Jokowi ke Sandi tersebut sejatinya memang untuk memecah kekuatan di belakang Anies – Sandi selama ini. Karena, kalau keduanya kembali berpasangan, berpotensi menang kontestasi Pilpres 2024.

Anies – Sandi yang menjadi representasi dari kekuatan politik Islam dan Nasionalis tersebut merupakan ancaman bagi kekuatan politik “oligarki jenderal” maupun PDIP yang selama ini berada di belakang dan menyokong Presiden Jokowi.

Kalau Anies – Sandi pecah, maka akan mudah mengalahkan Sandi (tanpa Anies) tanpa ada kendala yang berarti. AHY atau Andika Perkasa yang disokong “oligarki jenderal” maupun Puan akan muncul sebagai salah satu pemenang Pilpres 2024.

Itulah realitas politik terkait kontestasi Pilpres 2024. Peta politik tersebut bisa saja berubah bila ternyata Prabowo Subianto masih ingin maju lagi pada Pilpres 2024. Sementara, Anies masih menunggu tambahan kendaraan, selain NasDem.   

Manuver NasDem ini sebenarnya serupa saat Surya Paloh melakukan hal yang sama jelang Pilkada Jabar 2017 ketika deklarasi pencalonan Ridwan Kamil untuk maju Pilkada Jabar. Padahal, saat itu Ridwan masih menjabat Walikota Bandung.

Dan, tampaknya, NasDem ingin mengulang sukses di Jabar yang berhasil mengantarkan Ridwan Kamil menjadi Gubernur Jabar pada Pilkada Serentak 2017 lalu. Tentu, manuver semacam ini tak mudah diterapkan untuk Pilpres 2024 nanti.

Siapapun yang menggandeng Ahok, peluang untuk meraih kemenangan akan semakin jauh, kecuali bermain “uang”. Umat Islam pun akan trauma dengan gaya kepemimpinan Ahok saat memimpin Jakarta.

Begitu pula Puan. Siapapun yang digandeng Puan, umat Islam juga masih trauma dengan apa yang dilakukan Presiden Jokowi sebagai “petugas partai” PDIP. Rakyat masih trauma dengan segala kebijakannya yang banyak merugikan rakyat.

Rakyat Indonesia kini sedang merindukan pimpinan yang bisa mengayomi dengan kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyat. Itulah yang sedang dicari!

Seriuskah ucapan Presiden Jokowi kepada Sandi tersebut?

Melansir Kompas.com, Peneliti dan pengamat politik dari CSIS Arya Fernandes menilai, isyarat Presiden Jokowi kepada Sandi sebagai kandidat kuat presiden 2024 itu hanya untuk menyenangkan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu.

“Menurut saya itu, kode-kode itu mungkin untuk menyenangkan Pak Sandi saja. Karena kan posisinya ketika itu (acara) HIPMI, dia (Sandiaga) kan mantan Ketua HIPMI,” ujar Arya ketika dihubungi Antara dari Jakarta, Minggu (19/1/2020).

***