Maulid dan Tradisi Arab-Islam di Indonesia

Arab-Islam dan Islam Indonesia, identik secara kultural khususnya dalam tradisi maulid, sehingga tak mungkin ada keterputusan relasional karena perbedaan politik antara Wahabi dan Sunni.

Rabu, 13 November 2019 | 08:12 WIB
0
379
Maulid dan Tradisi Arab-Islam di Indonesia
Ilustrasi shalat (Foto: madaninews.id)

Pernah muncul dalam sebuah narasi yang disuarakan kelompok Muslim tradisional, bahwa Islam Indonesia bukanlah Islam Arab, tetapi Islam yang "indigenous" berasal dari perpaduan budaya lokal masyarakat asli yang berkelindan, menyerap norma dan nilai, serta tradisi masyarakat lokal sehingga membentuk suatu agama khas, yaitu Islam Nusantara. 

Istilah "Nusantara" yang disematkan kepada "Islam" tentu saja problematik, karena penolakan dari beberapa pihak yang menganggap "agama baru" atau minimal "sempalan" dari Islam itu sendiri. 

Saya tentu tak akan membahas istilah problematik ini, sekalipun istilah apapun, toh tetap bahwa Islam Indonesia memiliki ciri khas, warna tertentu, tradisi dan kearifan lokal, yang mungkin berbeda atau tak ditemukan di berbagai wilayah lain di dunia Muslim manapun. 

Itulah sebabnya, seorang antropolog Amerika, Robert Redfield, menyarankan agar membaca Islam melalui dua sisi tradisi, yang disebutnya sebagai "great tradition" yang berasal dari pembacaan atas sumber-sumber literatur yang ditulis tentang Islam dan "little tradition" yang dibaca melalui kebiasaan, tradisi, budaya parsial yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat Muslim.

Membaca masyarakat Muslim Indonesia tentu saja tak dapat dilepaskan dari kedua pendekatan ini, baik "tradisi besar" maupun "tradisi kecil" yang keduanya saling terkait secara historis dalam rentang waktu yang sedemikian panjang. 

Sebagaimana diketahui, proses Islamisasi di Indonesia berjalan dalam ruang resepsi dan asimilasi kultur: Arab, Persia, India, dan Cina yang kemudian membentuk peradaban lokal masyarakat Muslim Indonesia.

Jadi, narasi bahwa "Islam Indonesia bukanlah Islam Arab" tentu saja tak seluruhnya benar, karena justru Islam masuk ke kepulauan Nusantara ditengarai dibawa oleh para saudagar Arab---bahkan diantaranya juga oleh orang India dan Cina. 

Tradisi-tradisi yang diadopsi dari sumber asli Islam, seperti Arab, juga kental dalam masyarakat Muslim Nusantara, sebagai contoh yang paling populer tetapi dianggap "bidah", adalah praktik kebaktian pembacaan maulid dengan berdiri (maulid bi al-qiyam). 

Indonesianis asal Belanda, Nico Kaptein, pernah menulis artikel yang menarik berjudul "The Berdiri Mawlid Issue Among Indonesian Muslims in Period From Circa 1875 to 1930".

Ia berpandangan bahwa kebangkitan Islam di Timur Tengah merupakan imbas langsung atas menguatnya arus modernisme Islam di wilayah yang sama yang mempertanyakan segala praktik keagamaan kuno sebagai tidak berasal dari ajaran Islam dan tidak sesuai dengan ajaran para salaf as-shalih (the pious ancestors).

Tak terkecuali di Indonesia, arus modernisme ini tentu saja memperkuat peran ulama tradisional untuk tetap mempertahankan praktik-praktik ritual Islam yang dianggap (juga) sebagai bagian dari meneruskan ajaran para salaf as-shalih, sebagaimana juga tradisi-tradisi sejenis hidup dan dipraktikkan di wilayah Hijaz. 

Perayaan maulid, tentu saja praktik yang mentradisi dalam masyarakat Muslim di seluruh dunia, yang kemudian hendak dihilangkan oleh kelompok Muslim modernis yang muncul di akhir abad ke-19.

Kaptein menjelaskan bahwa maulid merupakan praktik kebaktian yang tersebar di seluruh dunia Muslim, yaitu membaca teks non-liturgis kehidupan agung Nabi Muhammad saw, dibaca dalam bahasa Arab, sekalipun para pembacanya mengerti bahasa Arab. 

Teks yang dibaca tentu saja menyangkut biografi sang Nabi, kehidupannya dari sejak dilahirkan hingga dewasa, lalu menikah dengan Siti Khadijah ra, mendapat wahyu hingga perjalanan mi'raj dirinya ke Sidratul Muntaha menemui Tuhan.

Teks-teks maulid terdiri dalam berbagai episode kehidupan Nabi. Salah satu teks yang paling masyhur di Indonesia adalah Maulid al-Barjanzi yang sebenarnya berasal dari bahasa Swahili yang kemudian versinya dalam bahasa Arab populer di wilayah Arabia bagian Selatan, India, Afrika, dan Asia Tenggara. 

Kitab ini menjadi perhatian para filolog dan pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jan Knappert dalam karyanya "Swahili Islamic Poetry" (1971). 

Hasil terjemahan ini kemudian menjadi sumber penelitian banyak pihak mengenai kesusastraan Arab modern, mengingat Barjanzi merupakan catatan sejarah Nabi yang berbentuk puisi.

Di Indonesia, pembacaan teks maulid tidak selalu dalam konteks bulan Rabi'ul Awwal, bulan dimana Nabi Muhammad dilahirkan, tetapi peristiwa seperti Isra dan Mi'raj (nocturnal journey) juga kerap diseremonialkan dengan dibacakan teks maulid didalamnya. 

Tradisi ini bahkan semakin memperluas, mengisi ruang-ruang tradisi partikularistik keagamaan dalam masyarakat Indonesia, seperti merayakan kelahiran bayi dalam keluarga Muslim dengan seremonial cukur rambut, acara khitanan (circumcision), pesta pernikahan, bahkan acara kematian, pembacaan teks maulid seringkali diperdengarkan.

Terpisah dari berbagai aktivitas tradisi ini, pembacaan maulid juga dilakukan ketika pergantian hari---ini biasanya dalam tradisi Jawa---dimana setiap malam Kamis atau kapanpun ketika terdapat peristiwa-peristiwa tertentu yang secara tradisi istimewa, teks maulid dibacakan. 

Barangkali, teks maulid dengan gaya prosa yang paling awal, ditulis oleh Ibnu Hajar al-Haitami (1503-1566), ulama hadis asal Mesir yang cukup populer di kalangan pesantren di Indonesia melalui kitabnya, "al-Ni'mat al-Kubra 'ala al-'Alam fi Maulidi Sayyid Waladi Adam" yang menceritakan biografi Nabi melalui berbagai atsar dari para sahabat-sahabatnya.

Istilah "maulid" (bahasa Arab) dengan berbagai variannya, mevlit, mevlut, maulud, malid, milad, atau molid, merupakan sebutan untuk peristiwa perayaan---biasanya memperingati kelahiran Nabi Muhammad yang khusus dinamakan "maulid nabi"---yang dapat ditemukan di seluruh wilayah Muslim dari mulai kawasan Pantai Atlantik di Afrika hingga ke Indonesia sampai ke wilayah selatan di Filipina. 

Louis Lamya al-Faruqi---wanita syahid yang dibunuh oleh teroris bersama suaminya Ismail al-Faruqi---menulis sebuah artikel menarik dalam Jurnal The World of Music, berjudul "The Mawlid".

Ia menyebut bahwa tradisi maulid ini mulai diselebrasikan di dunia Islam sejak berabad-abad yang lalu dan Mesir merupakan negeri Muslim pertama yang diketahui merayakannya ketika berada dibawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah (909-1171M). 

Lamya menyebut maulid sebagai bentuk estetika atau genre dalam suatu aliran musik tradisi dalam masyarakat Muslim. 

Bahkan lebih jauh, estetika tersebut tidak hanya dapat dipuisikan atau dibaca dalam bentuk prosa, tetapi justru divokalisasikan (baik solo atau koor) yang sangat memungkinkan digunakannya musik atau instrumen pengiring atau irama yang berasal dari gerakan-gerakan tubuh tertentu.

Perkembangan estetika maulid di berbagai belahan dunia Islam tentu saja sangat bervariasi, terutama melalui kecanggihan teknologi yang memungkinkan pembacaan maulid di arransemen ulang sedemikian rupa sehingga menghasilkan nyanyian atau instrumen yang melampaui "genre"nya sendiri sebagai seni yang berasal dari tradisi.

Syair-syair populer seperti as-shalawat 'ala al-Nabi, bahkan telah banyak dimodifikasi dalam genre gambus-modern, sebagaimana di Indonesia dipopulerkan grup Gambus Sabyan yang digandrungi kalangan Muslim milenial. 

Seluruh syair-syair tentang salawat Nabi, umumnya diambil dari berbagai teks maulid yang di Indonesia sendiri sangat bervariasi. 

Pertama, mungkin salah satu kitab berjudul, "Majmu'at al-Maulid wa al-Ad'iya" (Kumpulan teks maulid dan doa) yang berisi teks Maulid Syaraf al-Anam yang tidak diketahui pengarangnya. Teks yang dikenal di dalamnya adalah "Asyraqa al-Badru 'Alaina".

Kedua, koleksi teks maulid dalam kitab Al-Barzanji yang ditulis salah seorang mufti mazhab Syafi'i di Madinah bernama Ja'far Barzanji (1690-1764)---terdapat dua koleksi maulid ini, yaitu "nathran" dalam bentuk prosa dan "nazman" dalam bentuk puisi/syair. 

Ketiga adalah teks maulid "ad-Diba'i" yang belum diketahui secara pasti siapa penulisnya dan terakhir teks maulid "al-'Azb" yang dinisbahkan kepada penulisnya yang tinggal di Madinah sampai akhir abad ke-19 (Kaptein, 1993).

Sulit untuk tidak dikatakan, hubungan Islam Indonesia dengan Islam-Arab tentu saja sangat erat, bahkan satu-satunya negara Islam yang diketahui oleh Muslim Nusantara sejak abad 16 hanyalah Arab. 

Hal ini dipastikan karena ibadah haji ke Mekah merupakan satu-satunya kontak masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia luar. Hubungan yang sangat erat dengan Arab telah membentuk suatu koloni Jawa di Mekah yang dikenal dengan "Jawah".

Koloni ini menurut laporan Snouck Hurgronje tidak hanya diisi oleh orang Indonesia, tetapi juga seluruh etnis yang berasal dari wilayah Asia Tenggara, baik mereka yang hendak berhaji atau melakukan perjalanan studi. 

Maulid, dengan beragam variasi bacaannya, tentu saja berasal dari tradisi Arab-Islam yang ditransmisikan secara kultural melalui koloni Jawah di Mekah, menjadi tradisi yang hidup yang dihubungkan dari ulama ke ulama, jauh sebelum muncul gerakan modernis itu sendiri. 

Arab-Islam dan Islam Indonesia, jelas identik secara kultural---tidak hanya ideological---khususnya dalam tradisi maulid, sehingga tak mungkin ada keterputusan relasional karena perbedaan politik antara Wahabi dan Sunni.

***