Siapa yang bermain ditengah, diantara Jokowi dan DPR.? Kok bisa yang dikoreksi Jokowi berbeda dengan draf usulan Revisi UU KPK yang diajukan DPR.
Dengan begitu yakinnya Jokowi sudah menolak empat point Kontroversi Revisi UU KPK, tapi pada kenyataannya apa yang ditolak Jokowi, hanya dua point yang sesuai dengan draf usulan yang diajukan DPR.
Sebab, dua poin sisanya yang ditolak oleh Jokowi memang tidak pernah ada dalam draf revisi UU KPK yang disusun DPR.
Inikan sesuatu yang aneh, apa dasarnya Jokowi menolak empat point draf revisi UU KPK yang diusulkan DPR kalau pada kenyataannya tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Dari mana sumbernya Jokowi mendapatkan draf revisi UU KPK yang diusulkan DPR, apakah dari DPR atau melalui perantara pembantunya di Kabinet.?
Pertama, Jokowi mengaku tidak setuju jika KPK harus mendapat izin penyadapan dari pihak eksternal.
"Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup memperloleh izin (penyadapan) internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan," kata Jokowi.
Namun, dalam draf Revisi UU KPK yang diusulkan DPR memang tak ada ketentuan bahwa KPK harus mendapat izin pengadilan sebelum menyadap terduga koruptor.
Dalam Pasal 12 draf revisi UU KPK, hanya diatur bahwa penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Memang seharusnya diantara DPR dan Pemerintah, juga ada KPK sebagai pihak yang akan menerima hasil akhir dari revisi UU KPK tersebut, supaya bisa jelas apa saja yang diusulkan DPR, dan apa yang ditolak oleh KPK, Presiden bagian dari finalisasi revisi UU KPK.
Dalam kasus ini sepertinya Presiden Jokowi menerima imformasi yang tidak akurat dari draf revisi UU KPK yang diusulkan DPR.
Tidak mungkin ada dua drag usulan yang berbeda terkait revisi UU KPK, kalau itu terjadi, itu artinya memang ada kepentingan pihak ketiga didalam revisi UU KPK tersebut.
Memang sangat janggal, dipihak Pemerintah sudah merasa melakukan penolakan terhadap empat point dari draf revisi UU KPK yang diusulkan DPR, namun pada kenyataannya, apa yang ditolak Jokowi hanya dua point yang sesuai dengan draf revisi UU KPK.
Pertanyaannya kembali adalah, dari mana Presiden Jokowi mendapatkan draf revisi UU KPK yang mana 4 point isi draf tersebut ditolaknya, kenapa ada dua draf yang berbeda isi maupun substansinya.
Peneliti ICW lainnya Donal Fariz curiga Jokowi disodori draf RUU KPK yang berbeda oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
"Bisa jadi presiden disodori draft yang lain sehingga bisa kecolongan. Hal ini semakin mempertegas bahwa presiden harus tarik Menkumham dari pembahasan RUU KPK," kata Donal.
Pertanyaannya, apa seteledor itulah Menkumham Yasonna Laoly.? Sehingga tidak berusaha untuk teliti, melakukan check and recheck sebelum menyerahkan drag tersebut ke Presiden Jokowi.
Ini jelas sebuah peristiwa yang akan memancing keteledoran baru, dan yang akan menjadi cemooh masyarakat adalah Presiden Jokowi, bukanlah pembantunya, meskipun pembantunya yang melakukan keteledoran.
Secara substansial Presiden Jokowi sudah menolak point yang dianggap kontroversi dalam draf Revisi UU KPK yang diusulkan DPR, tapi nyatanya point yang ditolak Presiden Jokowi, secara substantif hanya 2 point yang ditolak, bukanlah 4 point seperti yang sudah dijelaskannya.
Jadi ada dua draf revisi UU KPK yang berbeda. Dan ini bukanlah sesuatu yang tidak disengaja, tapi memang ada indikasi disengaja untuk memanfaatkan kelemahan mediator antara Presiden Jokowi dan DPR.
Tapi sebetulnya, kalaupun ada upaya seperti itu, tetap saja nantinya setelah draf tersebut akan ditandatangani bersama, Akan tetap ketahuan bahwa secara substansial ada perbedaan, antara draf yang dibahas Presiden Jokowi, dengan draf aslinya yang ada pada DPR.
Biar bagaimanpun, yang akan menjadi avian untuk finalisasikan secara bersama adalah apa yang sudah diketahui Presiden, dan sudah dilakukan koreksi oleh Presiden.
Sumber: Kompas.com
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews