“Misteri” Lawatan Prabowo

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah pintu akhir untuk mencegah turut campurnya PBB masuk ke Indonesia.

Minggu, 9 Juni 2019 | 22:07 WIB
0
2231
“Misteri” Lawatan Prabowo
Lawatan Prabowo Subianto ke Dubai. (Foto: YouTube.com).

Selasa, 28 Mei 2019. Berbagai media memberitakan kepergian capres 02 Prabowo Subianto ke Dubai, Uni Emirat Arab. Mantan Danjen Kopassus itu berangkat bersama delapan orang koleganya. Menariknya, empat orang di antaranya adalah WNA.

Mr. Mikhail Davzdov (Rusia), Mrs. Anzhelika Butaeva (Rusia), Mr. Justin Darrell Flores Howard (AS), dan Mr. Mischa Demermann (Jerman). Manifes ini dikeluarkan Kasubag Humas Ditjen Imigrasi KemenkumHAM Sam Fernando.

Sedangkan empat lainnya WNI: Mr. Prabowo Subianto (INA), 2. Mr. Edy Arman (INA), 3. Mr. Yoriko Fransisko, Karapang (INA), dan 4. Mr. Gibrael Habel Karapang (INA). Mereka terbang bersama lima awak kabin naik pesawat pribadi.

“Prabowo bersama rombongan naik pesawat charter private jet Ambraer 190/Lineage 1000, nomor registrasi 9HNYC. Take off meninggalkan Bandara Halim menuju Bandara Dubai, Uni Emirat Arab,” ujar Sam, seperti dikutip JawaPos.com.

Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan, kepergian Prabowo ke Dubai untuk urusan bisnis dan bertemu dengan para sahabatnya. Pasalnya, selama Pilpres Prabowo tidak sempat untuk ke Dubai.

“‎Selama Pilpres ini kan dia enggak sempat ke luar negeri, nah ini sekarang lagi proses di MK. Beliau ke luar negeri hanya beberapa hari saja, enggak lama,” katanya. Wakil Ketua Komisi II DPR ini membantah kepergian Prabowo ke Dubai untuk berobat.

Sebab selama ini dia bertemu dengan Prabowo dalam keadaan sehat-sehat saja. Tidak ada tanda-tanda sakit. “Yang saya tahu Pak Prabowo sehat-sehat saja. Tapi beliau ke luar negeri untuk ketemu kolega-koleganya urusan bisnis,” pungkasnya.

Meski sempat muncul spekulasi menyamakan kepergian Prabowo ke Dubai seperti waktu ke Amman, Yordania (pasca Reformasi 1998) untuk “menemui” Raja Abdullah shobibnya, kali ini, kabarnya, kepergian Prabowo terkait dengan Pilpres 2019. 

Bahkan, konon, Prabowo juga membawa 2 koper barang bukti kecurangan Pilpres 2019 agar diketahui para Raja Arab dan beberapa perwakilan dari Eropa yang ikut dalam pembicaraan di Dubai bersama empat WNA yang terbang bersama Prabowo itu. 

Kalaupun putusan MK memerintahkan diadakannya pemilu ulang, maka penyelenggaranya bukan KPU lagi, melainkan Observer dari Eropa yang sudah siap turun membantu. Adalah wajar jika Prabowo yang merasa dicurangi meminta bantuan itu.

Apalagi, Indonesia adalah bagian dari “Warga Dunia”. Perlu dicatat tentang pemilu, peserta yang curang seperti tidak tahu atau lupa, bila ada kecurangan, peserta yang merasa dicurangi bisa meminta Mahkamah International (PBB) untuk campur tangan.

Jika MK menangin Jokowi diperkirakan NKRI membara. Apalagi, sampai ada korban, maka PBB akan masuk Indonesia. PBB tidak hanya akan bertindak sebagai wasit sok adil, tapi juga akan tangkap para jenderal pelanggar HAM yang mendukung Jokowi 2014 dan 2019.

Apabila PBB sampai masuk Indonesia, yang malu bukan hanya capres petahana Jokowi saja. Tapi, juga seluruh rakyat Indonesia sebagai pemegang dan pemilik kedaulatan atas NKRI ini. Karena itulah, kiranya sebagai rakyat jelata, kita wajib mencegahnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah pintu akhir untuk mencegah turut campurnya PBB masuk ke Indonesia. Caranya, saat menyidangkan gugatan paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno, MK harus berlaku adil dan jujur dalam persidangan.

Kalau sampai sidang putusan MK pada 28 Juni 2019 nanti mengabaikan kecurangan secara terstruktur, sistemik, dan massif (TSM), MK ikut bertanggung jawab bila terjadi peristiwa yang tidak kita inginkan. Apalagi, sampai akhirnya PBB ikut campur.

Sumber di Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo – Sandi menyebutkan, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edi dalam pertemuan di Hotel Aston, Kamis (30/5/2019), mengungkapan bahwa BPN yakin dengan hakim MK akan berlaku adil.

“Beliau dengar rumor  hakim ahli agama, serta rumor hakim sudah ditawarkan uang Rp 1,3T (walau rumors juga kata beliau) dan ditolak. Mari kita doakan semoga, Usman tersebut mau melakukan proses dengan Jujur dan Adil,” ungkapnya.

Mengutip Tedjo, Prabowo berangkat ke Dubai dan Swiss itu, ke Dubai minta support negara- negara OKI yang notabene mendengar berita dari Al Jazeera soal kecurangan Pemilu di NKRI. Ke Swiss untuk bicara dengan PBB dan Uni Eropa tentang permasalahan yang timbul dengan Fraud Election di NKRI (tentu dengan semua buktinya).

“Pak Prabowo ditemani oleh pejabat dari Dubai, Politisi dari German (mewakili Uni Eropa), dan politisi dari AS (yang selalu concern dengan demokrasi di semua negara; sebenarnya AS agak khawatir dengan kedekatan Jokowi kepada Cina Daratan,” lanjutnya.

Sandi yang terbang ke AS (New York) juga untuk melaporkan serta menggalang komunikasi dengan PBB agar pay attention dengan apa yang terjadi di Indonesia, di mana telah terjadi proses deligitimasi demokrasi dan kecurangan dalam Pilpres 2019 di NKRI.

Orang Asing

Menurut Direktur The Global Future Institute Hendrajit, ketiga orang asing dari tiga negara itu, apapun latarbelakangnya, mewakili otoritas tertinggi negaranya. Semacam utusan khusus. Untuk menjalin kesepakatan baru dengan Prabowo.

“Nah, ini yang jadi pertanyaan, kenapa bukan dengan yang katanya sudah menang itu? Apa istimewanya sih Prabowo ke Dubai sampai harus diberitakan,” ujarnya. Dari sisi jurnalistik ini menjengkelkan.

Pertama, lanjut Hendrajit, rangkaian fakta yang dijahit gagal menjadi sebuah jalinan kisah yang terpadu. Langsung lompat pada kesimpulan menyamakan kepergian Prabowo ke Dubai seperti waktu ke Yordan.

Kedua. Fakta adanya rombongan orang orang asing yang ikut rombongan Prabowo ke Dubai itu justru lebih menarik. “Lha kok malah nggak disorot. Kenapa? Padahal ada orang Jerman, AS, dan Rusia. Mengapa menarik?” ungkap Hendrajit.

Pertama, Jerman boleh dibilang wakil kepentingan Uni Eropa. AS juga sudah jelas mewakili kepentingan persekutuan Amerika-Inggris. Menariknya, sejak Inggris keluar dari Brexit, AS-Inggris dalam ekonomi politik merupakan kutub tersendiri di luar UE yang dimotori Jerman dan Perancis.

Lantas bagaimana dengan Rusia? Dengan Amerika memang musuhan berat karena Presiden Donald Trump sudah mencanangkan Cina dan Rusia sebagai musuh utama secara politik dan militer.

“Tapi ingat. Eropa Barat lewat UE, sangat tergantung pada Rusia dalam pasokan gas. Dengan hengkangnya Inggris dari UE, Rusia jadi strategis di mata Uni Eropa,” tegas Hendrajit.

Selain itu, meski sejak 2001 Cina dan Rusia terikat kerjasama solid melalui payung Shanghai Cooperation Organization/SCO, namun ekspansi Cina di Asia dan Afrika di bidang ekonomi bikin negeri beruang merah ini tidak happy.

“Sehingga kerjasama baru UE dan Rusia merupakan sebuah terobosan baru bukan saja untuk mengimbangi Cina. Melainkan juga untuk mengimbangi persekutuan tradisional AS-Inggris,” lanjut Hendrajit.

“Lha menariknya, kok ya orang orang asing dari ketiga negara itu sepesawat sama Prabowo. Bukan sama Jokowi. AS sendiri tampaknya masih ragu melepas Jokowi yang jelas-jelas saat Pilpres 2014 didukungnya.

Kunci Trump

Sebaiknya kita tengok sejarah. Pada 70 tahun lalu, berkat tekanan AS, akhirnya Belanda akui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Per 27 Desember 1949 seluruh presiden/penguasa negara-negara boneka ciptaan Belanda lengser dari tahta dan negara-negara boneka di semua wilayah RI dibubarkan. Belanda berhenti jadi penjajah RI. Bagaimana sekarang?

Baru-baru ini AS memang menyerukan kepada Cina untuk menghentikan upayanya menjajah negara lain. Namun ada perbedaan besar antara 1949 dengan 2019; 1. Cina tidak seperti Belanda yang sangat tergantung pada AS pasca PD II. 2. Tidak ada atensi khusus AS terhadap agenda Cina di Indonesia.

Padahal, cukup dengan satu pernyataan dari Presiden Donald Trump, Pence atau Pompeo: "AS minta pencurangan pemilu di Indonesia dihentikan, kedaulatan dikembalikan kepada rakyat Indonesia .." Maka semuanya akan berubah. Rezim Jokowi lengser, pendukungnya spt SBY, LBP, HP dkk tak berkutik.

Mengapa AS tidak bersikap tegas terhadap Neoimperialism Cina di Indonesia melalui rezim proksi dan kolaboratornya: "jenderal merah", CSIS, dan Cukong? Karena AS masih terpengaruh kuat oleh fitnah dan opini sesat terhadap Prabowo dan umat Islam Indonesia yang distigma: Radikalis.

Dengan pemahaman AS yang keliru terhadap Prabowo dan umat Islam RI, AS dihadapi dua pilihan: 1. Membiarkan rezim yang disokong Cina tetap berkuasa atau, 2. Menggusur rezim yang disokong Cina, mendukung Prabowo dengan konsekuensi Indonesia akan jadi negara pusat radikalisme Islam terbesar dunia.

Jadi, fokus dan konsentrasi rakyat Indonesia saat ini jika ingin menggusur rezim yang disokong Cina adalah: Mengubah persepsi Pemerintah AS terhadap Prabowo dan Umat Islam RI. Bagaimana caranya? Terserah!

Kita tunggu saja, Melansir Chirpstory.com, deadline-nya 27 Juni 2019, sehari jelang putusan MK.

***