Menafsir Indonesia

Tetes air mata kita membuktikan optimis kita bahwa dalam berbangsa dan bernegara, Indonesia adalah rumah kita yang sebenarnya.

Selasa, 20 Agustus 2019 | 07:30 WIB
0
255
Menafsir Indonesia
Ilustrasi Indonesia (Foto: Sumutpos.co)

Apa yang terpikir dalam benak soal negara kita? Apa yang kita lihat? Apa yang kita rasakan? Itulah Indonesia menurut kita. Berbagai wajah Indonesia muncul karena persepsi dan cara pandang kita.

Sama seperti gambaran sosok Tuhan yang berdasarkan persepsi kita, wajah Indonesia kemudian kita benturkan dengan wajah yang digambarkan orang lain.

SIMPULAN KITA

Dialektika pemikiran muncul yang kadang memberi kesimpulan bersama. Atau malahan yang muncul adalah sepakat untuk tidak sepakat. Semuanya memunculkan garis demarkasi antara jawaban atas pertanyaan : Apakah Indonesia kita sudah maju?

Jawaban atas semua itu ada pada diri kita masing-masing. Apakah Indonesia masih berarti buat kita. Ataukah Indonesia bukan lagi rumah kita yang harusnya dihancurkan saja.

Menafsir Indonesia dengan demikian berpulang pada pribadi rakyatnya masing-masing. Yang muncul jelas di setiap peringatan tujuh belasan lewat perilaku kelompok yang sangat khas Indonesia.

MERAMPAS KEMERDEKAAN

Peringatan kemerdekaan membuat kemerdekaan orang lain dirampas. Jalan-jalan ditutup karena ada pesta rakyat seharian. Memaksa orang lain menggerutu di hari kemerdekaan.

Tapi apa yang bisa kita lakukan dengan perampasan kemerdekaan selama seharian itu?

Kita secara umum menerima ini sebagai bagian takdir sebagai orang Indonesia. Kita penuh maklum dengan karakter bangsa ini yang menyenangi perilaku gerombolan untuk menindas yang lebih kecil hingga lemah.

Yang lemah seperti biasa menyingkir dari keserakahan kelompok. Mereka susah payah mencari jalan pulang ditengah masifnya penutupan jalan-jalan utama sampai gang-gang di kampung. Yang tengah euphoria perayaan kemerdekaan.

Itulah sebenarnya cara kita sehari-hari menyiasati hambatan. Untuk kembali pulang. Kembali pada jati diri kita sendiri.

FATAMORGANA

Merayakan dan menafsirkan kemerdekaan dengan merampas kemerdekaan orang lain, perlahan menjadi sikap bangsa ini yang tengah meneroka abad yang penuh dengan kejutan revolusi digital dan internet yang meluber ke media sosial.

Kita sekarang ini sedang dalam posisi gegar budaya yang membuat kita bingung, marah serta pesimis. Saat ini sudah tidak ada lagi pembedaan antara dunia maya dengan dunia nyata. Keduanya sudah melebur hingga mempengaruhi perilaku kehidupan keseharian kita.

Hingga kadang kita melihat Indonesia makmur seperti fatamorgana.

ABAI

Begitu banyak postingan media sosial yang penuh hujatan dan kontroversi memperbesar prasangka dan persepsi kita melihat benturan dahsyat akibat revolusi digital.

Dalam keadaan ini posisi kita justru sedang memerangi diri kita sendiri. Kita lebih sering terlihat emosional dan berfikiran pendek gara-gara postingan di media sosial. Kita mencampakkan akal sehat kita.

Kita seolah tidak berdaya menyaksikan penceramah dobol yang jumawa soal salib. Kita marah karena sangkaan kita disangkal keras oleh lembaga yang berwibawa. Kita terbawa dan berkelahi di dunia nyata hanya karena saling merasa benar atas posisi kita di media sosial.

Keadaan dan suasana jiwa yang serba gelisah ini membuat kita rancu dalam menafsirkan Indonesia. Kita memandang Indonesia mundur kebelakang karena pemikiran kita sendiri tapi abai melihat sisi cerah bangsa ini.

PUNCAK EMAS

Sejatinya bangsa ini akan terus menggilas orang-orang yang pesimis dengan derap langkah ribuan mereka yang kini menyibukkan diri dengan mencipta dan berkarya di ruang-ruang kantor cyber berkecepatan internet tinggi bertarif sewa murah karena bisa dibayar jam-jaman atau harian.

Merekalah yang sudah dan akan menjadi tulang punggung kemajuan bangsa kita di abad digital. Mereka anak-anak muda. Yang cinak, bukan cinak , Kristen, Buddha, Hindu dan yang berjilbaban serta jenggotan.

Yang sadar bahwa berkah digital akan menggilas segenap pesimisme dan ulah para pedagang yang menjual kontroversi di media sosial lewat kemakmuran yang nyata.

Mereka wajah kebhinekaan Indonesia yang sebenarnya. Yang menjauh dari saling sahut kejam di media sosial.

Mereka bahagia dengan diri mereka. Mencetak uang dan memakmurkan diri mereka dan keluarganya. Mereka paham bahwa abad digital yang nyawanya adalah pengolahan data adalah sumber harta yang tidak habis-habisnya meski milyaran dollar sudah masuk ke kantong-kantong mereka.

Mereka sama dengan diaspora Indonesia di penjuru dunia.

Mereka sama dengan sekelompok bersahaja yang berjaya di desa dan kota kecil mereka.

Mereka sama yang pekerja kantoran, pabrikan yang lebih mementingkan kerja nyata ketimbang menghabiskan waktu dengan perang kata di dunia maya.

Dan ketika mereka melanglang buana selalu jatuh air matanya ketika menyanyikan Indonesia Raya. Mereka berduyun-duyun memenuhi kedutaan Indonesia mengikuti upacara peringatan kemerdekaan dengan penuh khidmat.

Itulah cara mereka menafsir kemerdekaan bangsanya. Yang menghindari perilaku merampas kemerdekaan untuk kemerdekaan mereka sendiri.

INDONESIA RUMAH KITA

Kita yakin Indonesia akan maju dan sedang menuju keberhasilan menyingkirkan perilaku perampasan kemerdekaan melalui karya-karya kita secara individual. Yang dipastikan akan menjadi jutaan puncak emas yang menopang kejayaan Indonesia.

Yang bermanfaat. Yang memberikan semangat berbagi. Yang makin makmur dan yang berhasil menebas habis intoleransi. Yang memberi keyakinan kuat bahwa keberhasilan kita adalah keberhasilan Indonesia juga

Hingga kita akan senantiasa meneteskan air mata dengan mulut bergetar ketika melantunkan bait syair Tanah Air ku.

Dimana kita sadar bahwa meski kita pergi jauh, Indonesia tidak pernah kita lupakan. Tidak akan hilang dari kalbu karena Indonesia adalah tanah air yang kita cintai.

Tetes air mata kita membuktikan optimis kita bahwa dalam berbangsa dan bernegara, Indonesia adalah rumah kita yang sebenarnya.

Bukan agama kita atau suku bangsa kita. 

***