Absurditas Debat Capes dan Ikhtiar Prabowo

Bagaimana dengan debat Capres yang baru saja berlangsung, akankah punya pengaruh signifikan sebagaimana ekspektasi pendukung?

Minggu, 31 Maret 2019 | 07:17 WIB
0
421
Absurditas Debat Capes dan Ikhtiar Prabowo
Prabowo Subianto (Foto: Republika)

Menjelang dan pasca debat Capres para pendukung kasak-kusuk, media sosial riuh, seakan debat akan menjadi penentu menang kalah di TPS. Berbagai variabel yang dianggap berpotensi merugikan kandidatnya dikoreksi, siapa yang jadi moderator hingga stasiun televisi mana yang dianggap netral. Bahkan upaya saling 'menghabisi' lawan dengan mengajukan saran meski bertentangan dengan aturan penyelenggara seperti debat menggunakan bahasa asing.

Seberapa signifikan sebenarnya sebuah debat mempengaruhi elektabilitas seorang calon presiden?

Mengikuti penjelasan Burhanuddin Muhtadi yang merujuk debat Capres 2014 silam, pemaparan visi misi sangat signifikan mempengaruhi elektabilitas masing-masing Capres. Berdasarkan hasil survei LSI saat itu, pasca debat perdana, elektabilitas Jokowi-JK mencapai 47,5 persen, sedangkan pasangan calon pesaing, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa hanya di kisaran 36,9 persen.

Hal berbeda diungkapkan Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif lembaga survei Charta Politica pasca debat perdana Capres 2019. Bagi Yunarto, debat Capres tidak punya pengaruh signifikan karena kedua pasang calon sudah memiliki basis pendukung yang loyal.

Lantas bagaimana dengan debat Capres terakhir yang baru saja berlangsung. Akankah punya pengaruh signifikan sebagaimana ekspektasi masing-masing pendukung?

Sebagaimana tiga debat sebelumnya, tak ada yang istimewa, datar, tertib, layaknya sebuah seremoni. Mekanisme debat semacam ini tidak memberi ruang yang cukup bagi Capres untuk mengeksplorasi pandangannya, begitu pula peluang saling kritik secara maksimal.

Beberapa kalangan bahkan menilai model debat seperti ini tidak bisa dikategorikan sebagai debat, melainkan pemaparan visi misi. Berbagai pembatasan oleh penyelenggara dibuat sedemikian rupa untuk memberi kesan berbudaya dan beretika. Larangan yang tidak membolehkan membuat pernyataan yang bertendensi menyerang personal misalnya. Sialnya larangan ini kemudian diinterpretasi sedemikian rupa justru oleh tim pendukungan Capres sendiri dengan melaporkan lawan debatnya ke Bawaslu di debat sebelumnya.

Belum lagi moderator yang diposisikan tak lebih sebagai wasit untuk mendisiplinkan para pembicara dalam menggunakan durasi tinimbang sebagai pemandu acara debat. Akibatnya, debat menjadi hambar dan membosankan.

Debat terakhir yang baru saja berlangsung terlihat sulit melepaskan diri dari penilaian semacam ini. Ada letupan di sana-sini yang dimunculkan Prabowo, sayangnya selain tidak dipersiapkan matang juga terkesan emosional terkait alokasi anggaran untuk kepentingan alutsista serta korupsi di bawah pemerintahan Jokowi.

Di tengah kepungan survei yang memprediksi kemenangan telak Jokowi, tentu bisa dipahami jika Prabowo berusaha maksimal manfaatkan momentum debat terakhir ini untuk mengangkat elektabilitasnya.

Sebuah ikhtiar yang semestinya diapresiasi.

***