Prabowo Produk Orde Baru

Kamis, 14 Maret 2019 | 20:55 WIB
0
369
Prabowo Produk Orde Baru
Prabowo dan mertuanya (Foto: Kumparan.com)

 
Calon Presiden (Capres) Nomor 02 Prabowo mengatakan sejumlah kesuksesan selama pemerintahan Orde Baru. Selain itu, dirinya juga mengaku sebagai bagian dari rezim di bawah kepemimpinan Presiden Seharto saat itu. Di penghujung Orde Baru pada 1998, Prabowo telah menjalin kontak dengan tokoh – tokoh nasional seperti Ketua MPR saat itu, Amien Rais.

Mantan menantu Presiden ke-2 RI ini kemudian mengungkapkan sejumlah prestasi di bawah Rezim Orde Baru terutama dalam 25 tahun dari 32 tahun berkuasa.

“Di dalam Orde Baru pun kalau kita lihat, kalau kita simak, dari 32 tahun Orde Baru bisa dikatakan, katakanlah, 20 tahu pertama, 25 tahun pertama, ada suatu keberhasilan untuk rakyat dan negara,” ujarnya.

Mantan Danjen Kopassus itu menyebutkan swasembada pangan dan meningkatnya produksi di segala bidang. Ia menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di era Orde Baru bisa mencapai 6 – 8 persen. Prabowo juga mencontohkan pembuatan pesawat terbang karya putra – putri Indonesia yang berhasil diterbangkan dan menjadi sejarah bangsa.

“Dulu bangsa kita dihina, Belanda bilang kita bikin peniti saja enggak bisa, apalagi mau merdeka,” tambah capres yang berpasangan dengan sandiaga itu.

Prabowo juga meyakini berakhirnya Orde Baru yang ditandai lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada Mei 1998 bukan disebabkan oleh krisis ekonomi. Ketua Umum Gerindra itu menyatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1998 masih baik. Menurut Prabowo, krisis 1998 yang mengakhiri rezim Orde Baru lebih diakibatkan fenomena kekayaan Indonesia yang dibawa lari ke luar negeri.

Tetapi, Soeharto juga ketahuan melakukan penyelewengan dengan menyelundupkan gula dan kapuk ilegal bersama Bob Hasan dan Liem Sioe Liong. Dua orang ini nantinya menjadi kongsi karib Soeharto selama Orde Baru berkuasa.

Dalam buku yang berjudul Siapa Sebenarnya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30 S/PKI karya Eros Djarot, menyebutkan bahwa Soeharto nyaris dipecat karena menggunakan kuasa militernya sebagai Pangdam Diponegoro untuk memungut uang dari berbagai perusahaan di Jawa Tengah.

Persekongkolan Soeharto dengan para juragan itu tercata dalam buku Asian Godfathers : Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa, karya Joe Studwell. Itu bukanlah yang pertama dan terakhir. Kelak Soeharto dan banyak pemuka militer Indonesia lainnya yang menjalin relasi mesra dengan kaum saudagar.

Perkara yang kental bernuansa korupsi itu tak pelak memercik murka Menteri Keamandan dan Pertahanan A.H. Nasution. Nasution pun sempat berniat memecat Soeharto.

Beruntung, berkat campur tangan Jendral Gatot Soebroto, karier militer Soeharto terselamatkan.

Memang tak bisa dipungkiri, bahwa saat ini slogan “Piye kabare, enak jamanku to..” dengan gambar Soeharto melambaikan tangan, sering muncul di bagian belakang truk ataupun di media sosial. Kalimat ini seolah menunjukkan bahwa Orde Baru adalah zaman dimana kehidupan masyarakat paling ideal dibandingkan rezim lainnya.

Namun mari kita buka lembaran sejarahnya, dimana saat rezim Soeharto berkuasa, proses pembentukan institusi politik yang korup, otoritarian dan ekstraktif dalam rangka pembangunan tatanan ekonomi kapitalis bermula ketika Soeharto merebut kekuasaan dari tangan Ir Soekarno dan mendirikan Orde Baru.

Untuk memenuhi dua kepentingan yang berbeda, yakni integrasi Indonesia ke dalam kapitalisme global dan memakmurkan aliansi pendukung yang terdiri dari kalangan pebisnis – militer – politisi, Soeharto mengambil inisiatif ekonomi-politik yang melahirkan kontradiksi khas dalam rezim Orde Baru.

Kontradiksi itu melibatkan kebijakan deregulasi dan pemisahan ekonomi dari politik sebagaimana dikehendaki kaum teknokrat di satu pihak, dan penjarahan sumber daya ekonomi dan kekuasaan oleh aliansi bisnis dan politik yang dibangun oleh Soeharto di lain pihak.

Kekerasan, kronisme dalam sistem kapitalisme korup bekerja dalam menciptakan kemakmuran bagi segelintir orang. Sejarawan Adrian Vicker pernah menuliskan, bahwa kemunculan kerajaan – kerajaan bisnis yang tumbuh di era Soeharto. Dalam banyak kasus, perusahaan besar tidak tumbuh melalui investasi dan persaingan pasra, namun melalui “penyesuaian paksa”.

Apabila ada bisnis lokal yang baru saja tumbuh, maka keluarga, teman atau lingkaran dekat Soeharto akan menawarkan diri sebagai mitra yang diterjemahkan dalam kerangka bisnis sebagai bentuk pembagian saham, namun tanpa biaya yang harus dikeluarkan oleh lingkaran dalam Soeharto.

Kontrol penguasa atas bank mempermudah bisnis–bisnis ini mendapatkan akses kredit dari Bank. Ketika tiba saatnya untuk audit tahunan, maka buku–buku neraca keuangan diserahkan bersama senjata sebagai “kode keras” kepada auditor agar tidak melaporkan persoalan-persoalan keuangan di dalamnya.

Sebagai Presiden tentu tak seharusnya Soeharto memonopoli demi anak cucu dan praktik bisnis dengan ancaman senjata yang menjadi model pengelolaan negara untuk memenuhi cita-cita keadilan sosial. Namun, muncul kabar bahwa Paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga akan membawa Indonesia seperti zaman Soeharto.

Hal ini dibenarkan oleh Priyo Budi Santoso yang mengatakan bahwa Prabowo–Sandi akan mengembalikan kondisi negara persis seperti pada rezim Presiden Soeharto.

Pihaknya menjelaskan zaman dulu segala sektor ekonomi mulai dari sandang, pangan dan papan harganya murah. Pernyataan ini tentu menjadi blunder bagi Prabowo–Sandi, apalagi tidak sedikit masyarakat Indonesia yang sempat merasakan krisis moneter era Soeharto dan pembangunan hanya tersentral di pulau Jawa.

Selain itu, masih banyak masyarakat yang merasa trauma atas “kegilaan”era Orde Baru. 

***