Tingkat Kedewasaan Warganet dan Mengapa Fadli Zon Baik-Baik Saja

Senin, 25 Februari 2019 | 06:01 WIB
1
609
Tingkat Kedewasaan Warganet dan Mengapa Fadli Zon Baik-Baik Saja
Sumber: http://www.jejakrekam.com

Saya sebetulnya tertarik pada pertanyaan Bung Ronny di acara Deklarasi Damai Penulis pada hari Minggu lalu (17/2/2019) di Hotel Santika, Jakarta. Pada sesi tanya, Bung Ronny yang penulis kondang Kompasiana itu bertanya kepada Bung Zulfikar Akbar tentang kedewasaan masyarakat kita dalam bermedia sosial khususnya politik.

Oya, bung Zul ini adalah tokoh yang cuitannya viral akibat terindikasi menghina salah satu ustad yang bersebrangan dengan pemerintah, alias ustad oposisi. Akibatnya panas, bung Zul di cabut dari status karyawan di salah satu tabloid olahraga.

Jawaban bung Zul terus terang bagi saya masih ngegantung, seharusnya di jawab saja memang masyarakat kita masih belum dewasa tentang media sosial, terutama berita politik.

Masyarakat kita termasuk masyarakat yang paling hobi dan gemar dalam bermedsos di antara masyarakat lain se Asia. Dari medsos Facebook, Twitter, Line dsb, Indonesia adalah pemenang.

Sayangnya skill dewa jempol orang Indonesia tidak di dukung oleh kedewasaan dan kemampuan otak yang baik dalam mencerna tulisan. Akibatnya, politik di tangan netijen asal Indonesia, menjadi biang keladi permusuhan.

Kita belum bisa memisahkan mana kritik dan mana menghina. Twit bung Zulfikar dianggap menghina, padahal tidak ada satupun bung Zulfikar di dalam kritiknya menyebut ustad tersebut gila atau bodoh. Atau lebih jauh lagi, mengumpat dengan kata kebun binatang, atau membuat meme dengan menambahkan atribut binatang ke dalam foto ustad tersebut.

Bung Zulfikar yang merupakan Kompasianer Of The Year 2017, mengatakan bahwa ajaran ustad tersebut menghasilkan umat yang beringas. Kata-kata beringas disini bisa di artikan baik dan buruk.

Seorang atlet beringas di trek lari artinya positif. Beringas di kerusuhan artinya negatif, itu dua arti dari dua sudut pandang. Tapi jelas tidak berarti Bung Zul menghina seorang ustad karena kata-kata beringas.

Beda jika anti-Jokowi mengeluarkan meme Presiden Jokowi yang di beri atribut binatang, atau wajah beliau ketika sedang tidak baik, atau dakwah Bahar bin Smith yang menghina Presiden dengan pembalut wanita. Ini jelas penghinaan.

Karena ketidakdewasaan netijen yang budiman inilah kita wajib berhati-hati. Orang bodoh tersebar di dunia maya. Bung Zul menjadi korbannya.

Lantas spakah tabloid olahraga tersebut salah dengan mengeluarkan Bung Zul? Awalnya saya anggap salah. Tapi saya coba menjadi tabloid tersebut yang membutuhkan angka sales penjualan yang harus menyasar ke semua golongan.

Itulah yang terjadi pada atasan saya. Atasan saya sebaliknya, beliau mendukung Oposisi dan membuat blunder dengan artikel facebook. Beliau terciduk Satuan Pengawas Internal (SPI) perusahaan. SPI saat ini bukan hanya soal file dokumen, tapi juga attitude kita di dunia maya, SPI berkembang menjadi Satuan Pengawas Internal dan Digital.

Atasan saya di "grounding" tanpa tugas pekerjaan. Beliau di tahun ini mengajukan pensiun dini akibat tidak tahan "dicuekin" direksi. Itulah posisi tabloid olahraga tempat bung Zul mencari nafkah sebelum ini, kita harus memahami bahwa semua perusahaan "mencari aman".

Jika kita masih berada di sebuah perusahaan, menjaga performance dunia maya adalah penting, meskipun kritik kita di medsos sebetulnya hanya guyonan. Bahasa kita, bagus atau tidak, semua berpotensi menjadi jagal. Kita tidak punya dahan yang kuat untuk bertahan, saya pun tidak, hanya warganet biasa.

Tapi kenapa Fadli Zon yang sering berpuisi menyerang Pemerintah tidak diciduk? Kenapa Dahnil pun tidak? Bahkan Andi Arief yang menyebar hoaks pun tidak? Satu kunci: Bahasa.

Saya tertarik dengan aksi bahasa kang Pepih Nugraha di media sosial, sangat mungkin menjadi contoh.

Seperti cerita eneng dan aa' di facebook yang kerap menyindir oposisi. Tapi apakah eneng dan aa' bisa di polisikan? Yang di polisikan apanya, karena eneng dan aa' tidak pernah me-mention langsung siapa yang dimaksud. Semua di bahasakan secara eksplisit.

Kedua, postingan kang Pepih soal tokoh Giant dan Suneo. Giant di analogikan emosian, pemarah, sok jago, bodoh dan gampang tersulut. Sedang Suneo di analogikan anak orang kaya yang manja, pelit, cerewet dan tukang bohong.

Siapa yang dimaksud kedua tokoh kartun legendaris Doraemon tersebut? Saya yakin anda semua tersenyum paham, tapi apakah itu bisa dipolisikan? Di polisikan apanya? Mikir, gitu kata cak Lontong.

Jadi paham kan, kenapa meskipun seheboh apapun Fadli Zon, tokoh DPR itu tetap tidak bisa dipolisikan. Karena Fadli Zon sangat pandai bermain kata. Bahkan puisinya yang terakhir (terindikasi) tentang Mbah Moen yang salah doa bersama Presiden Jokowi pun tidak bisa di persalahkan.

Memang siapa yang dimaksud di dalam puisi Fadli? Semua tahu itu Mbah Moen, tapi apakah tertulis disitu? Tidak. Sampai Donald Trumph jadi Presiden Indonesia pun Fadli Zon tidak bisa di proses.

Bahkan blunder Dahnil tentang panjang jalan infrastruktur pun hanya menjadi bahan tertawaan netijen, terlihat Dahnil hanya sekedar menggoreng isu dan tekanan terhadap Jokowi, tak ada lain hal.

Di tambah lagi, baik Fadli Zon, Fahri Hamzah, Dahnil maupun Andi Arief mereka memiliki posisi yang baik secara parlemen, partai atapun struktur kampanye. Mereka punya ranting yang kokoh untuk bertahan.

Sedangkan kita, hanyalah remah bekas gorengan yang tercecer di lantai warteg. 

Jadi, be smart. Sekali lagi, be smart. Baca dua kali lagi sebelum posting, baik tulisan maupun komentar. Karena yang menjagal kamu di dunia maya bukan cuma karena jempol, tapi juga nasib.

*** 

Tambahan:

*Andaikan saat itu, kata-kata beringas oleh bung Zulfikar di beri tanda kutip menjadi "beringas", mungkin hasilnya akan lain. Ah, sudahlah.