Bukannya melaporkannya kecurangan ke Bawaslu dengan membawa bukti-buktinya, yang dipilih justru menggalang unjuk rasa ke KPU dan Bawaslu.
Mantan Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen berniat menggelar unjuk rasa ke KPU dan Bawaslu untuk menuntut penyelenggara pemilihan umum mendiskualifikasi pasangan calon nomor 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Agak mengejutkan mengapa sampai seorang purnawirawan perwira tinggi TNI, sampai melakukan hal seperti itu? Bukankah selama ia berkarya di TNI, ia bertugas menjaga ketertiban dan keamanan? Mengapa kini setelah purna tugas ia justru melakukan tindakan yang berpotensi menimbulkan huru hara dan kekacauan?
Ternyata latar belakangnya adalah soal politik. Mayjen (Purn) Kivlan Zen berdiri di belakang pasangan calon nomor dua Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Prabowo merasa ia dicurangi. Prabowo mengklaim bahwa ia menang dalam Pemilihan Presiden yang berlangsung 17 April 2019 dengan perolehan suara 62 persen. Padahal semua Lembaga Hitung Cepat (Quick Count) menghasilkan hitungan pasangan calon nomor 01 Jokowi-Ma’ruf Amin menang dengan perolehan suara di kisaran 54-56 persen.
Bahkan, hasil real count KPU pada tanggal 8 Mei 2019 pukul 19.30 (suara yang sudah masuk 72,69 persen), pasangan calon nomor 01 Jokowi-Ma’ruf Amin memperoleh 56,18 persen.
Bukannya melaporkannya kecurangan ke Bawaslu dengan membawa bukti-buktinya, yang dipilih justru menggalang unjuk rasa ke KPU dan Bawaslu. Padahal, mengumpulkan massa di suatu tempat untuk memaksakan kehendak sangat berpotensi menimbulkan huru hara dan kekacauan. Mengapa tidak memilih cara yang damai?
Padahal tahun 1998, 21 tahun lalu, Mayjen Kivlan sebagai Kepala Staf Kostrad tidak bisa menerima ada orang, atau tokoh, yang mengumpulkan massa di suatu tempat untuk memaksakan kehendak.
Bagi jurnalis-jurnalis yang meliput penembakan 4 mahasiswa Trisakti, kerusuhan di Jakarta dan sekitarnya, hingga berhentinya Presiden Soeharto, Kivlan Zen bukanlah nama baru. Pada saat itu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto menjabat sebagai Panglima Kostrad, sementara Mayjen Kivlan Zen menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad.
Pada tanggal 14 Mei 1998 siang, tepatnya pada pukul 14.30, ia menelepon Malik Fadjar, Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, untuk membicarakan soal rencana Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah, yang akan mengumpulkan 1 juta orang di Monas guna mendesak Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Baca Juga: Saling Tantang Wiranto-Kivlan, Baikkah bagi Pembongkaran Kejahatan HAM?
Dalam pembicaraan telepon itu, Kivlan Zen sempat mengancam akan menangkap Amien Rais jika ia tidak membatalkan rencananya mengumpulkan 1 juta orang lewat pawai akbar di Monas. Kivlan Zen menelepon Malik Fadjar karena Malik Fadjar, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Solo (1993-1994), memiliki hubungan dekat dengan Amien Rais.
Bisa dibayangkan pada masa itu, bagaimana rasanya ditelepon oleh Kepala Staf Kostrad. Malik Fadjar gentar, atau lebih tepat panik, karena dalam pemikirannya, belum tentu Amien Rais mau membatalkan rencananya. ”Apa yang akan terjadi apabila Amien Rasa berkeras pada rencananya?” kata Malik Fadjar.
Pada tanggal 20 Mei 1998 dini hari pukul 01.15, Malik Fadjar tiba di kediamannya, dan menemui Amien Rais. Ia mengatakan, ”Mas, memang sudah tidak bisa. Adakan konferensi pers deh, selamatkan anak-anak (pemuda dan mahasiswa).”
Lalu disusunlah konsep pidato pembatalan apel akbar, yang akan dihadiri Amien Rais. Pukul 06.00, pengumuman pembatalan acara apel akbar Amien Rais di Monas ditayangkan di televisi.
***
Catatan:
Sebagian tulisan ini dicuplik dari Buku "Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto", dan beberapa peristiwa terkait, James Luhulima, Penerbit Buku Kompas, Februari 2008
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews