Kampanye serba putih itu, sangat nampak jelas hanya mewakili kelompok Islam yang mendukung Prabowo-Sandi, seperti masa HTI dan FPI.
Ada yang cukup mengusik pikiran saya ketika mengikuti berita kampanye akbar Prabowo-Sandi yang cukup massif di mainstream media dan media sosial.
Kalau dilihat dari klaim BPN bahwa angka peserta kampanye mencapai 1 juta orang, memang begitu fantastis. Namun, melihat siapa saja yang hadir, kelompok mana yang memenuhi GBK, saya jadi turut berkecil hati seperti yang diungkapkan SBY bahwa kampanye tersebut tidak mewakili semangat keindonesiaan yang “warna-warni”.
Kampanye yang identik dengan seragam serba putih itu, sangat nampak jelas hanya mewakili kelompok Islam yang mendukung Prabowo-Sandi, seperti masa HTI dan FPI. Beberapa teman yang jelas-jelas dari HTI pun turut hadir dalam kampanye itu, dimana mereka secara ideologi sejatinya melawan Pancasila.
Sehingga, wajar rasanya bila SBY pun berkomentar bahwa kampanye kabar kandidat 02 memang tidak mencerminkan semangat inklusifitas. "Menurut saya apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif, melalui sejumlah unsur pimpinan Partai Demokrat saya meminta konfirmasi apakah berita yang saya dengar itu benar," tulis SBY.
Keresahan SBY, sejatinya bukan hanya keresahan personal namun ia tuangkan mewakili Demokrat sebagai institutsi partai politik. Artinya, bukan hanya SBY yang menganggap kampanye tersebut tidak mewakili semangat nasionalisme melainkan banyak orang di luar sana merasakan keresahan serupa.
Indonesia sejatinya bukan milik kalangan Islam saja, apalagi Islam ekslusif segelintir kelompok seperti FPI dan HTI lantas mengklaim sebagai suara muslim mayoritas. Inilah yang ditakutkan bahwa Indonesia yang bhineka tunggal ika, berubah menjadi Indonesia yang ekslusif dalam kendali satu kelompok umat agama saja.
Meskipun dalam kampanye akbar itu Prabowo dengan jelas menyatakan bahwa dia tidak akan menjadikan Indonesia negara khilafah atau tidak mendukung HTI, namun kenyataannya kelompok HTI terus bergerak di belakangnya. Apakah Prabowo hanya memanfaatkan HTI sebagai vote getter saja? Kalaulah pernyataan Prabowo benar adanya, berarti HTI memang hanya alat pendulang suara.
Tapi, bukankah HTI anti demokrasi dan tidak akan memilih? Kalau pertanyaan ini diajukan dan jawabannya adalah HTI memang tidak akan melanggar khittah organisasinya alias golput, maka sejatinya Prabowo hanya mendapat dukungan kosong dan sekadar ramai-meramaikan gerakan anti Jokowi lewat kampanye akbar kandidat 02. Jangan-jangan, dukungan ribuan bahkan jutaan itu, hanyalah delusi politik yang diciptakan HTI.
Jika ingin berpikir lebih konspiratif lagi, maka HTI bisa saja melanggar khittahnya lantas mengikuti pesta demokrasi 5 tahunan dan memilih di TPS, namun tentu saja tidak gratis semua “pelanggaran” itu, kecuali dengan kesepakatan tertentu. Bisa jadi, HTI menjadi bagian dari vote getter Prabowo Sandi, namun akan diberikan kebebasan menyebarkan ideologi khilafah jika Prabowo terpilih.
Kalau ini yang terjadi, maka HTI menang double, sebab mereka kembali menadapat keleluasaan bahkan legalitas dan kemudian kembali merongrong NKRI tercinta. Ujung-ujungnya, Prabowo yang terancam di tampuk kepemimpinan, jikalau terpilih.
Bukan hanya itu, masa FPI pun serupa namun hanya sedikit berbeda dari HTI. Ormas yang tunduk kepada Habib Rezieq Shihab (HBS) ini juga tengah mengupayakan nasib sang pentolan yang kini tak kunjung pulang lantaran sejumlah kasus yang masih diproses kepolisian. Sungguh sebuah harga negosiasi yang mahal bagi Prabowo-Sandi hanya demi seorang HBS.
Apalagi, ketiak viral buka-bukaan kartu dari pengacara kondang Yusril Ihza Mahendra tentang betapa naifnya HBS dan FPI memandang kandidasi Prabowo-Sandi yang hanyalah akal-akal untuk meraih kekuasaan dan mencari “jalan selamat”.
"Perhatikan dalam WA di atas Rizieq yang bilang "PS lemah tentang Islam & lingkarannya pun masih banyak yang "Islamphobia". Apalagi PS sudah terjebak dengan SBY yang sedang propaganda melawan Politik Islam yang disebutnya sebagai "Politik Integritas" beraroma SARA" dan seterusnya," ujar Yusril kepada sejumlah awak media.
Barangkali, politik identitas seperti ini sengaja dipaksakan dengan harapan ingin mendulang kembali kemenangan seperti Pilakda DKI Jakarta 2017 lalu. Lantas, apa yang bisa kita harapkan dari sebuah kampanye yang beraroma ekslusif, tidak mencerminkan keterbukaan Indonesia akan banyaknya keberbedaan yang sejatinya haruslah satu jua?
Tentu saja, hal ini berpotensi hanya memenangkan kelompok-kelompok kepentingan yang saban waktu mendompleng Prabowo-Sandi.
Entahlah!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews