Ini Alasan Masyarakat untuk Lebih Baik Pilih Golput di Pilpres

Jumat, 22 Februari 2019 | 06:38 WIB
0
491
Ini Alasan Masyarakat untuk Lebih Baik Pilih Golput di Pilpres
Ilustrasi (Foto: Kompasiana.com)

Di hampir setiap gelaran kontestasi politik, keberadaan golput sebagai bagian dari pilihan politik masyarakat tetap hidup mewarnai setiap proses suksesi pergantian kekuasaan. Dalam iklim politik demokratis, nyawa golput ada dalam setiap simpatisan dan partisan politik karena pada dasarnya mereka tetap memiliki kecenderungan kepada wujud pilihan politiknya. 

Golput bukan apolitis, tetapi justru terlampau selektif memaknai setiap pilihan politiknya. Ketika mereka tak menemukan kandidat yang dapat secara tepat mewakili aspirasi mereka, maka golput adalah solusinya. Fenomena golput adalah wajar dan bukan sebuah "anomali politik" yang perlu dikhawatirkan apalagi dilarang-larang, terlebih demokrasi adalah segala hal terkait konteks kebebasan berpolitik.

Saya sengaja membuat keterkaitan antara fenomena golput, Islam dan politik, mengingat Islam sebagai agama dan ajaran moral marak dijadikan komoditas politik dalam berbagai isu kekuasaan. Disisi lain, munculnya gerakan-gerakan Islam yang bernuansa reformis dan terkadang "fundamentalis" juga umumnya diinisiasi oleh para aktivis politik yang notabene berlatarbelakang parpol Islam. 

Seolah muncul wacana kuat atas islamisasi politik, dimana dorongan untuk melangsungkan suksesi politik didasari oleh adanya semangat kuat dalam ekspersi keberagamaan, bukan realitas murni atas kesadaran politik. Wujud paling mungkin dalam soal korelasi agama dan politik ini tercermin dari Gerakan 212 yang kemudian tampak dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan suksesi kekuasaan.  

Dalam wacana besar politik Islam -- terutama dalam konteks Indonesia -- seolah menjadi golput itu dilarang atau paling tidak akan menjadi hal yang sia-sia, karena ada upaya yang cukup kuat mempengaruhi umat Islam agar tak golput dalam setiap pemilihan umum. 

Banyak alasan yuridis yang digaungkan, dari mulai soal keharusan memilih pemimpin dalam lingkup paling kecil dimana jika ada tiga orang maka salah satunya harus dipilih sebagai pemimpin, hingga dalam konteks yang lebih besar, bahwa kontestasi politik harus didasarkan atas legitimasi para ulama, kepada siapa mereka memberikan dukungannya. 

Upaya para ulama "melegitimasi" para kontestan ini sangat tampak dari berbagai deklarasi dukungan yang melibatkan para ulama dibelakangnya.

Fenomena golput atau dalam KBBI dimaknai sebagai "golongan putih" barangkali memiliki konotasi netral dalam suasana tarik-menarik kekuatan politik antarkubu yang berkontestasi. 

Golput memang cenderung tidak memihak, tetapi mereka menawarkan solusi jalan tengah dengan tidak menjadi partisan atau pendukung salah satu kandidat politik. Mereka jelas bukan kelompok apolitis sebagaimana dibayangkan sebagian orang, namun golput lebih memilih untuk tidak menjadi barisan  fanatisme politik yang seringkali kehilangan rasionalitasnya dalam hal mendukung atau memenangkan salah satu kandidatnya.

Saya kira, fenomena golput mungkin saja dapat semakin semarak dan meningkat ditengah ekspektasi berlebihan masyarakat dalam soal dukungan politik. Tidak menutup kemungkinan, suasana Pipres 2019 kali ini banyak yang memprediksi bahwa fenomena golput justru menguat, akibat gagalnya sistem politik membuat nuansa kompetitif yang lebih sehat, terukur, dan memberikan pendidikan politik yang bermartabat kepada masyarakat. 

Tidak hanya sistem politik yang tampak mengalami kegagalan, penguasa pun tampaknya berat sebelah lebih mementingkan berbagai afiliasi politik pendukungnya dan memberikan tekanan politik cukup besar kepada pihak-pihak yang beroposisi dengan mereka.

Golput merupakan akibat langsung dari kenyataan Islam dan politik yang terlampau bermesraan bahkan kadang salah satunya justru menguasai atau paling tidak senantiasa dimanfaatkan dalam bentuk artikulasi politik yang paling jelas. 

Anehnya, berita-berita yang dikatagorikan bernuansa hoaks seringkali melibatkan narasi Islam didalamnya dan kemudian dikaitkan dengan kelompok-kelompok Islam politik tertentu yang dipelihara oleh pihak oposisi untuk membuat gaduh suasana. 

Dalam banyak hal, penguasa cenderung lebih responsif ketika menanggapi beragam isu politik yang menyudutkan dan mereka juga pada akhirnya terjebak dalam lingkaran konflik yang secara sadar maupun tidak memanfaatkan Islam demi legitimasi kekuasaan politiknya.

Barangkali, korelasi yang paling jelas dan mengakar dalam hal Islam dan politik dapat menemukan wujudnya dalam NU. Ormas yang tak lepas sejengkalpun dari berbagai aktivitas politik ini -- terutama setelah menjadi parpol sejak 1955 -- benar-benar berkolaborasi dengan penguasa dan seolah membuat counter tandingan dalam berbagai narasi luas menyoal Islam dan politik. 

Pernyataan kontroversial ketua umumnya soal "NU-isasi" dalam struktur-struktur sosial-keagamaan bahkan politik, seolah menunjukkan upaya "kolaborasi politik" yang sangat menjanjikan antara NU vis a vis penguasa. 

Gelinjang para aktivis muslim lainnya diluar NU jelas tak terhindarkan dan kebanyakan mereka menganggap Islam dan politik terlampau jauh meninggalkan ruang-ruang yang sebenarnya dan mereka yang tak sependapat atau bahkan kecewa mungkin saja terpapar golput.

Banyak alasan masyarakat untuk lebih baik menjadi golput dalam menyikapi Pilpres kali ini dan dengan alasan paling faktual bahwa realitas penduduk Indonesia mayoritas muslim, mereka justru sangat kecewa dengan berbagai realitas sosial-politik yang tampak semakin mengecewakan. 

Banyak kasus yang baru-baru ini muncul sebagai respon atas begitu eratnya kaitan antara Islam dan politik yang sejauh ini juga diformulasikan oleh kedua belah pihak kontestan. 

Tabloid 'Indonesia Barokah' atau fenomena terbaru "gerungisasi" yang diadaptasi sosok ahli filsafat Rocky Gerung yang memang partisan, seolah mendapatkan perlawanan dari pihak-pihak muslim dengan memposisikan Gerung sebagai non-muslim tetapi diterima sebagai bagian dari kenyataan "Islamisasi" politik.

Islam dan politik memang selalu mewarnai arah perkembangan demokrasi dalam serangkaian panjang sejarah Indonesia, bahkan perdebatan soal Piagam Jakarta mungkin saja menemukan bentuk barunya dalam momentumnya di Pilpres kali ini. 

Kelompok-kelompok yang menginisiasikan dirinya sebagai gerakan "reformis" Islam ortodoks seolah berhadapan kembali dengan kelompok yang cenderung mewakili kalangan tradisionalis Islam yang lebih akomodatif dan liberal. 

Sangat mudah saya kira, membedakan bagaimana soal narasi-narasi politik yang mereka buat dengan mengukur dari berbagai sudut pandang yang membelah secara kontradiktif antara formalisme dan substansialisme Islam yang mereka gaungkan di ranah publik.

Bagi saya, golput tentu saja menghindari arus besar mainstream yang secara argumentatif menarasikan Islam dan politik dalam ranah fanatisme politik aliran yang sejauh ini memang hadir menjadi dua kekuatan politik yang sedang berkontestasi. 

Saya sendiri cenderung menghindari perdebatan dua arus besar ini karena seolah-olah ini hanya mengulang kembali diksi-diksi kepolitikan yang telah usai ketika menyoal perdebatan Piagam Jakarta. 

Keberadaan Pancasila yang seharusnya menjadi pedoman berbangsa dan bernegara tanpa perlu ada klaim dari pihak manapun adalah hasil kompromi politik tingkat tinggi yang semestinya mampu membingkai setiap perbedaan politik, bukan malah menyulut semangat golput tetap meyala, karena mereka ternyata lebih sanggup berkompromi dan bersikap lebih luwes dalam hal berpolitik.

***

Tulisan sudah termuat di Kompasiana dengan judul "Golput, Islam dan Politik".