Pemimpin Ndeso Adalah Tsunami untuk Kaum Elite

Kamis, 14 Februari 2019 | 21:22 WIB
0
459
Pemimpin Ndeso Adalah Tsunami untuk Kaum Elite
Jokowi cium tangan Bibit Waluyo (Foto: Wordpress)

Mental ndeso. Satu yang membuat saya terkagum-kagum dengan Jokowi, ketika ia “berselisih” dengan Gubernur Jateng 2008-2013, Bibit Waluyo. Waktu itu Jokowi masih menjadi “bawahan” pak Bibit, menjabat sebagai Walikota Solo untuk period ke-2nya.

Meski saat itu nama Jokowi sudah moncer karena diekspose Majalah Tempo sebagai salah satu Kepala Daerah Terbaik di 2008, namun ia tak tinggi hati. Ketika itu ia disebut “bodoh” oleh Pak Bibit ketika Jokowi menolak rencana pembangunan mall di atas lahan bangunan kuno bekas pabrik es Saripetojo,  Kampung Jantirejo.

Media massa merekam kata-kata kasar Gubernur Bibit Waluyo pada 27 Juni 2011 itu, dan masih bisa dibaca atau didengar kembali saat ini. “Walikota Solo itu bodoh, kebijakan Gubernur kok ditentang. Sekali lagi saya tanya, Solo itu masuk wilayah mana? Siapa yang mau membangun?” amuk Bibit Waluyo ketika itu. 

Apa jawaban Jokowi ketika dikatai “bodoh” begitu oleh Pak Bibit? Ia membalas dengan woles, “Saya memang bodoh, dari dulu saya itu bodoh. Saya juga heran kenapa rakyat memilih orang bodoh jadi walikotanya sampai dua periode.”

Dan puncaknya terjadi tak lama setelah umpatan “bodoh” itu, ketika di tahun 2012 keduanya bertemu langsung saat pelantikan Walikota Solo – di mana waktu itu Jokowi pindah ke Jakarta setelah sukses terpilih sebagai Gubernur, Jokowi malah dengan santai mencium tangan Pak Bibit Waluyo.

Di banyak peristiwa, Jokowi juga menampilkan diri tidak sebagaimana elite lainnya. Dia tak memperlihatkan wibawa ningrat atau penguasa. Dia selalu menjaga diri, mengukur kata-kata apalagi ketika berhadapan dengan orang-orang yang dia anggap lebih senior. Juga tak mudah melampiaskan kata keras ke orang-orang bawahannya.

Pada beberapa hari lalu, dia juga menegaskan bahwa “Saya bukan berasal dari kalangan elit” – untuk menegaskan keberpihakannya kepada kalangan bawah. Ini sebetulnya pesan penting bahwa dia hadir tidak untuk menghamba pada kekuasaan belaka, dengan memasang garis pembeda antara dirinya dengan citra umum para penguasa atau bangsawan politik.

Jokowi selalu menjaga tempatnya berpijak, selalu mencitrakan diri sebagai orang ndeso. Ndeso tidaklah berarti buruk. Justru mencerminkan kesederhanaan, tak ada jarak antar dirinya dengan kewibawaannya. Dia menampilkan diri apa adanya, dari dulu sampai kini. Tak larut dalam kesombongan karena jabatan, tak juga abai menghormati orang lain.

Saya kira, kehadiran Jokowi seperti tsunami untuk menggulung kekuasaan yang berpusat hanya pada elite. Elite adalah mereka yang sejak lahir menikmati empuknya kekuasaan, kemudian meniti karir karena memang disokong oleh keluarganya yang juga berkuasa. Karenanya tak punya kepekaan dan keterikatan langsung dengan rakyat yang dipimpinnya.

Jokowi  muncul karena semangat marhaenisme, yang merupakan sumsum ideology politik keluarga Soekarno, yang anakronisme, justru juga masih menjaga keberlangsungan kekuatan elitis trah Soekarno.

Namun kesediaan Megawati berbagi kuasa ke Jokowi – yang baru dia kenal di tahun 2007, adalah pertaruhan sekaligus pengorbanan besar seorang Megawati. Karena ini, kita perlu menghormati bu Mega. Di tangannya lahir pemimpin ndeso, Jokowi.

***