Mau Makar atau Mau Cari Makan?

Kivlan dan Eggy menyampaikan pendapat dengan argumen dan diksi permusuhan serta ujaran kebencian. Ahli bahasa, gesture, mimik wajah, bisa jadi saksi ahli.

Selasa, 14 Mei 2019 | 13:23 WIB
0
1102
Mau Makar atau Mau Cari Makan?
Ilustrasi (Foto: Tribunnews.com)

Setelah ‘diurus’ Polisi, Kivlan Zein dan Eggy Sudjana ternyata sama-sama ati malem. Jiper. Dengan culun mereka bilang tak bermaksud makar. Kivlan bilang tak punya senjata dan anak buah. Eggy Sudjana berkilah people power dimaksud adalah unjuk rasa ke Bawaslu, soal kecurangan KPU.

Persis seperti lagu pop Indonesia. Mudah memelintir lidah, semudah Eggy mengatakan pemerintah memelintir fakta. Padahal, kita bisa melihat bagaimana Kivlan dan Eggy menyampaikan pendapat dengan argumen dan diksi permusuhan serta ujaran kebencian. Ahli bahasa, ahli gesture, ahli mimik wajah, mimik susu, sila jadi saksi ahli.

Kalau cuma berkilah, Andre Rosiadie, jubir BPN juga bisa. Termasuk pembelaannya pada HS, yang mau menggal kepala Jokowi. Kata Andre, apakah HS serius, atau hanya lucu-lucuan? Lhah, apakah Permadi, Rizal Ramli, Amien Rais, juga hanya lucu-lucuan dengan tuitan dan berbagai pernyataannya di media?

Bahasa menunjukkan bangsa, juga bangsat. Apalagi bahasa Indonesia yang sangat sederhana. Lebih dekat ke bahasa komunikasi daripada bahasa ilmu. Sehingga orang sekelas Kivlan, Eggy, Amien, Rizal, cum suis, termasuk Sarjana Sastra Rusia Fadli Zon dan Sarjana Ekonomi Fahri Hamzah, sering dalam berbagai pernyataannya sama sekali tak bermuatan gagasan apalagi wacana pencerahan.

Diksi-diksinya hanyalah untuk dikomunikasikan sebagai informasi. Mengenai pendapat mereka semata, tapi tanpa didukung komparasi dan koherensi. Ketika mereka ngomong ‘hukum hanya tajam ke bawah tumpul ke atas’, mereka sedang menegasi pemerintah, bukan membangun kesadaran apa itu hukum pada proporsinya.

Bahwa pikiran-pikiran, atau imajinasi mengenai people power, makar, dan sejenisnya itu, yang hanya keriuhan wacana, justeru contoh konyol betapa tak bergunanya orang-orangtua itu. Sekiranya mereka mengerti tak hidup di ruang hampa, pasti tahu arti vibrasi. Disitu kita bisa ukur moralitas dan integritas yang dianggap tokoh atau panutan.

Jika mengikuti logika Andre Rosiadie soal HS, yang mungkin lucu-lucuan, pasti HS juga tak sedang bermimpi di siang bolong. Demikian juga mak-emak yang berani telanjang di tengah massa. Atau berbagai ujaran kebencian tanpa batas, ketika menghina Presiden. Mereka hanyalah korban para pewacana (yang ketika berhadapan dengan hukum, ternyata mereka pun memelintir kata-katanya sendiri). Nasib follower mereka yang ikut-ikutan? Para ortu itu tak peduli.

Baca Juga: Menelisik Bisnis Galang Massa Ala Kivlan Zen

Jika bangsa ini makin brengsek, hanya punya kesadaran akan hak, tak mau tahu urusan kewajiban, sembari bawa-bawa nama tuhan, ham dan demokrasi, para ortu itulah yang mesti dimintai pertanggungjawaban moral.

To educate a man in mind and not in morals is to educate a menace to society, tulis Theodore Roosevelt. Untuk mendidik seseorang dalam pikiran dan tidak dalam moral adalah mendidik bahaya bagi masyarakat. Dan melempar batu ke kolam dengan sembunyi tangan, adalah adab pecundang. Setokoh apapun dia. Mau makar, atau sekedar makan?

***