Para pengusung garis keras politik identitas tak bisa menjadi orang nomor dua dalam pemerintahan jika kelak Prabowo memenangkan pilpres.
Warta pekan ini diramaikan kabar Sandiaga Uno dilempari botol minuman oleh pendukungnya saat sedang bernyanyi-nyanyi di atas panggung. Kasihan juga. Dilempari pendukung sendiri tentu pengalaman sangat memalukan.
Belum lagi jika ada yang mengabadikan peristiwa itu sebagai satu dari ratusan meme Jokowi vs Prabowo 2019 ini. Tetapi Sandiaga tidak sendiri. Sejarah mencatat ada ratusan politisi di dunia ini yang dilempari hadirin saat berpidato .
Sepatu mungkin adalah barang yang paling banyak digunakan masyarakat untuk melempari politisi menyebalkan. Apalagi semenjak heboh jurnalis tv Al-Baghdadia, Muntadhar al-Zaidi melempari Presiden Amerika Serikat President George W. Bush saat bicara dalam jumpa pers di Baghdad, Irak, Desember 2008.
Semenjak insiden Bush di Baghda itu, sepatu menjadi ikon protes atau metaphor rasa jijik masyarakat terhadap para politisi tertentu. Tercatat dalam Wikipedia tiap tahun semenjak 2008 ada saja politisi yang dilempari sepatu. Selama satu dekade (2008-2019), ada lebih dari 80 kasus pelemparan sepatu terhadap politisi.
Tetapi sepatu bukan satu-satunya barang yang dinilai pantas dilemparkan kepada politisi. Ada pula potongan kue, pernah dilemparkan orang kepada Dan Glickman (Sekretaris Presiden Bill Clinton), George Ryan (Gubernur Illinois, AS), Bill Kristol (politisi konservatif AS), atau James Douglas (Gubernur Vermont, AS).
Buah dan produk turunannya juga sering jadi barang yang dilemparkan kepada para politisi yang sedang berpidato. Cawapres kubu konservatif Amerika Serikat, Sarah Palin pada 2009 dilempari tomat. Begitu pula politisi partai konservatif AS (Partai Republik) lainnya, Pat Buchanan, dilempari salad.
Sementara contoh politisi korban peluru klasik, telur busuk, adalah Gubernur Arnold Schwarzenegger. Lagi-lagi orang konservatif.
Adalah kebetulan bahwa Sandiaga Uno seorang politisi di kubu konservatif, pernah menjabat wakil gubernur, dan kini jadi cawapres, sama seperti para politisi yang jadi contoh di atas.
Di luar kesamaan yang kebetulan itu, yang sudah pasti sama antara para politisi yang pernah dilempari massa saat berpidato adalah mereka kehilangan kewibawaan. Ya! Siapa yang masih bisa merasa berwibawa setelah dilempari pendengar? Beruntunglah para politisi zaman now dikaruniai kemampuan acting melampaui para aktor-aktris lihainya. Mereka bisa cepat-cepat menyembunyikan rasa malu, takut, dan salah tingkah.
Selain kehilangan kewibawaan sebagai dampak dilempari saat berpidato, sebaliknya ketiadaan wibawa bisa jadi penyebab seorang politisi dilempari orang. Andai punya wibawa, sekalipun kebijakan dan sepak terjangnya dibenci banyak orang, seorang politisi tidak akan gampang dilempari di depan publik.
Masuk akal mempertimbangkan Sandiaga Uno dilempari karena sepak terjangnya selama ini sudah menjauhkan kewibawaan dari dirinya. Mungkin karena gaya berpolitiknya yang penuh gimmick itu telah membangunkan citra "jagoan sandiwara," merek baru yang kini melekat di dahinya.
Selain hal tak punya wibawa, saya pun menyangka Sandiaga dilempari orang yang memandang Sandiaga batu sandungan bagi kelompok garis keras pengusung politik identitas (agama) dalam meraih posisi cawapres.
Kita tahu, kelompok garis keras pengusung politik identitas (agama), bagian penting dalam koalisi partai Prabowo-Sandi, dahulu sangat berambisi menempatkan orang mereka sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto. Itu wajar. Sebagai golongan politik, mereka menghendaki kekuasaan. Hanya dengan kekuasaan, agenda-agenda politik mereka bisa berjalan.
Kaum garis keras pengusung politik agama ini tidak sungguh percaya kepada Prabowo. Bagi mereka, Prabowo hanya seorang sekutu yang menyediakan kendaraan untuk ditumpangi bersama. Mereka sadar penuh, Prabowo bukanlah seorang religius, bukan pula seorang yang sungguh-sungguh setuju pada agenda kelompok garis keras politik agama.
Itulah yang diakui Presiden PKS Sohibul Iman dahulu. Ia katakan, Prabowo bukanlah seorang muslim yang taat. Prabowo adalah perwakilan kaum nasionalis. Agar dukungan kepada Prabowo halal, cawapresnya harus berasal dari kubu garis keras pengusung politik identitas.
Demikian pula pandangan Rizieq Shihab sebagaimana kita ketahui dari tangkap layar percakapan whatsapp yang disebarluaskan rekan bercakap Rizieq itu sendiri, Yusril Izha Mahendra.
Maka ketika Sandiaga muncul menawarkan diri sebagai cawapres, lenyaplah harapan kubu garis keras politik agama ini untuk ngotot pertahankan posisi tawar di hadapan Prabowo. Sandiaga punya banyak duit dan bersedia membiayai operasional politik, menjadi oase bagi Prabowo yang kabarnya sedang megap-megap.
Pernyataan Prabowo dalam debat capres keempat bahwa dirnya seorang nasionalis yang tidak mungkin membiarkan ideologi negara khilafah hidup di Indonesia, sudah tentu merugikan para pendukungnya dari sayap garis keras politik agama. Bukan saja pernyataan Prabowo itu kontraproduktif terhadap propaganda mereka di lapangan; mereka juga bisa kehilangan muka di hadapan para pengikutnya.
Karena itu ucapan Prabowo harus segera dibantah. Alat paling mustajab dalam otokoreksi pernyataan Prabowo adalah dengan memobilisasi massa besar-besaran dalam rapat umum yang kental nuansa politik agamanya.
Maka berubahlah kampanye terbuka pilpres menjadi ajang unjuk sentimen politik agama. Sebegitu kentalnya sehingga SBY pun merasa ngeri, sedih, dan mengkritik keras. Bahkan Agus Harimurti Yudhoyono sampai-sampai tak mau hadir. Bisa dipahami. SBY, AHY, dan Partai Demokrat ingin cuci tangan dari dosa sejarah. Mereka tak ingin dipandang anak-cucu di kemudian hari punya andil menyebarluaskan sentimen identitas dalam politik yang berdampak memecah-belah bangsa.
Jangan-jangan saking kecewanya, SBY bakal putuskan Partai Demokrat dukung Jokowi? Aih, tak perlulah berharap begitu.
Kita kembali ke soal Sandiaga dilempari botol minuman saat kampanye.
Bisa dimaklumi jika dalam acara kampanye penuh simbol politik identitas agama itu, Sandiaga sampai dilempari. Massa yang hadir, orang-orang yang termakan hasutan politik identitas tentu tak senang melihat Sandiaga di atas panggung.
Gara-gara orang itu, para pengusung garis keras politik identitas tak bisa menjadi orang nomor dua dalam pemerintahan jika kelak Prabowo memenangkan pilpres. Itu berarti butuh manuver dan usaha ekstra untuk menggolkan agenda-agenda politik mereka.
Tentu saja ini cuma dugaan. Yang namanya dugaan boleh jadi benar, mungkin pula keliru. Bisa saja pelemparan botol ke arah Sandiaga itu atas permintaan penyelenggara. Yaaaa, seperti permintaan kepada gadis Yogya untuk bersandiwara "Uh No!" minta dikawini Sandiaga beberapa hari lalu.
***
Sumber:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews