Ulamaisasi Kriminal, Budaya Baru atau Kamuflase Politik?

Jumat, 28 Desember 2018 | 15:32 WIB
0
597
Ulamaisasi Kriminal, Budaya Baru atau Kamuflase Politik?
Bahar bin Smith (Foto: CNN Indonesia)

Pemilihan presiden (pilpres) bukanlah barang baru di Indonesia. Sejak 2004 malah kita telah sepenuhnya berdemokrasi dengan metode pemilihan suara langsung dan meninggalkan pemilihan suara di DPR.

Tapi anehnya, ada nuansa berbeda sejak 2014. Pilpres kini semakin sengit dan mempolarisasi masa pemilih. Tak heran, dogma agama yang seringkali membuat ketakutan akan ketidaktaatan kepada Tuhan mulai dimainkan. Sejak 2014 juga klaim bahwa salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah pasangan pililhan ulama, padahal jelas-jelas dua pasang capres cawapres ini seiman, semua adalah muslim.

Nuansa jualan politik dengan modal agama telah mendorong pelaku dakwah Islam (dengan julukan habib, ustad, kyai dan sebagainya) terjun ke lapangan memenuhi mesjid, mushola bahkan surau bukan dengan dakwah yang semestinya tapi doktrinasi politik untuk memilih calon sesuai yang mereka mau.

Tak jarang oknum yang seringkali digelari 'ulama' ini melakukan tindakan tidak terpuji seperti ujaran kebencian, berdakwah dengan caci maki hingga disinyalir perbuatan asusila. Sungguh aksi yang menodai kesucian ulama yang semestinya.

Di saat banyak ulama bersih masih berdakwah dengan damai dan jadi panutan, oknum ulama dadakan ini berbuat yang tak diridhoi rakyat.

Adalah kubu Prabowo Sandi yang mengklaim bahwa capres dan cawapres mereka adalah hasil ijtima ulama yang tentu saja bermakna pemimpin yang akan lebih memihak umat Islam. Secara instan Sandiaga pun didapuk gelar ulama modern oleh PKS yang diamini anggota lain di koalisi ini. Sandiaga sendiri tidak memiliki catatan khusus berguru secara mendalam mengenai ilmu Islam yang mengarah pada predikat ulama.

Beberapa tokoh bergelar 'ulama' dalam barisan koalisi ini pernah menghiasi catatan kriminal di kepolisian. Habib Rizieq Shihab, pimpinan ulama yang ada di barisan ini, yang segala titahnya adalah komando koalisi, punya setidaknya lima catatan kriminal.

Dilansir dari situs CNN.com pada 2003 Habib Rizieq Shihab didakwa bersalah karena terbukti melakukan penghinaan terhadap kepolisian dan negara pada sebuah acara di dua stasiun televisi swasta berbeda. Rizieq dijatuhi vonis tujuh bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Agustus 2003.

Pada 1 Juni 2008, Rizieq dan organisasi Front Pembela Islam (FPI) itu kembali terlibat bentrokan dengan massa dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di kawasan Monumen Nasional. Saat itu, massa AKKBB sedang berdemonstrasi memgenaj surat keputusan bersama (SKB) yang dikeluarkan Pemerintah menanggapi keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Akibat bentrokan, puluhan anggota AKKBB terluka. 

Pada 4 Juni 2008 kepolisian pun menangkap Rizieq dan beberapa aktivis FPI karena diduga terlibat aksi penyerangan massa AKKBB. Rizieq pun kembali mendekam di pemjara selama satu tahun enam bulan karena terbukti menganjurkan dengan terang-terangan dan bersama-sama untuk menghancurkan barang atau orang lain.

Pada Desember 2016 Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP-PMKRI), Angelo, melaporkan Rizieq Shihab ke Polda Metro Jaya atas video orasi Rizieq di Pondok Kelapa Jakarta Timur pada tanggal 25 Desember 2016.

Ucapan Rizieq di video tersebut dinilai melukai umat Kristiani. Ada dua nama lainnya yang dilaporkan selain Rizieq, yaitu Fauzi Ahmad sebagai pengunggah video di Instagram dan juga Saya Reya sebagai pengunggah video di Twitter. Mereka dilaporkan atas dugaan penistaan agama melalui media elektronik Pasal 156 KUHP dan Pasal 156a KUHP dan atau Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45a ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

Kasus yang bersangkut paut dengan Rizieq Shihab terpopuler adalah kasus chat berkonten pornografi antara Rizieq dengan Firza Husein dengan tersebarnya screenshot percakapan via WhatsApp berkonten pornografi yang diduga melibatkan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dan Firza Husein. Percakapan itu pertama kali tersebar dari situs baladacintarizieq.com. 

Isi percakapan juga menyajikan foto wanita tanpa busana yang diduga Firza. Sedangkan Rizieq diduga menjadi lawan bicara Firza dalam percakapan tersebut.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan, polisi bertindak setelah mengetahui adanya keresahan masyarakat soal peredaran percakapan ini. Sebab, video percakapan dua orang itu mengandung konten pornografi.

Percakapan itu pertama kali diketahui dari situs baladacintarizieq.com. Dalam percakapan tersebut menyajikan foto wanita tanpa busana yang diduga Firza. Sedangkan Rizieq diduga menjadi lawan bicara Firza dalam percakapan tersebut.

Beredarnya percakapan berkonten pornografi tersebut membuat polisi melakukan penyelidikan.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan, polisi bertindak setelah mengetahui adanya keresahan masyarakat soal peredaran percakapan ini. Sebab, video percakapan dua orang itu mengandung konten pornografi.

Penyidik mendapati sprei, bantal dan televisi sesuai yang ada dalam foto si percakapan whatsapp itu dalam penggeledahan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jay di kediaman Firza Hisein.

Rizieq yang terseret dalam kasus dugaan pornografi itu menyatakan bahwa konten tersebut fitnah atas dirinya.

"Firza Husein menolak bahwa rekaman suara, foto, atau pun chat yang ada sama sekali beliau tidak bertanggung jawab dan tidak tahu menahu. Bahkan, beliau marah dan akan melakukan penuntutan terhadap yang melakukan rekayasa tersebut," ujar Rizieq di Mapolda Metro Jaya sebelum menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk kasus lainnya.

Seusai dinaikan ke tahap penyidikan, penyelidikan kasus tersebut sempat berjalan di tempat. Akhirnya pada 25 April 2017 polisi memutuskan memanggil Rizieq dan Firza. Namun, belum sempat polisi melakukan penyelidikan lebih lanjut, Rizieq yang mangkir panggilan polisi diketahui telah meninggalkan Indonesia bersama keluargamya.

Sugi Nur yang juga berada dalam barisan berjulukan ulama pendukung Prabowo Sandi dilaporkan oleh Pemuda Nahdlatul Ulama atas perbuatan pencemaran nama baik.

Penyidik Subdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim secara resmi menetapkan Sugi Nur Raharja yang menyebut dirinya sebagai Gus Nur menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik dan dijerat UU pencemaran nama baik pasal 27 ayat 3 dengan ancaman hukuman selama 4 tahun.

Belum lama ini tokoh nyentrik, berambut panjang dicat pirang yang sering berorasi dengan gaya berapi-api dan digelari ulama  oleh pendukungnya, Habib Bahar bin Smith dilaporkan atas kasus penghinaan kepada kepala negara dengan barang bukti rekaman video dakwahnya di Youtube. Bahar melakukan penghinaan kepada presiden Jokowi dengan kata-kata yang tak sepantasnya diucapkan seorang pemuka agama. Saat ini statusnya telah dinaikkan menjadi tersangka. 

Bukan kali ini saja seorang Bahar Smith terekam berbicara dengan kurang pantas. Pada sebuah video dakwahnya beliau juga dengan tidak beretika membahas karakter perempuan dari bentuk kelaminnya. Menyaksikan video kelakuannya itu membuat saya sebagai muslimah jadi malu sendiri.

Belum tuntas penyidikan kasus tersebut, Bahar Smith kembali dilaporkan atas kasus penganiayaan dan penyekapan dua anak berusia 17 dan 18 tahun. Aksinya menyiksa dua anak dengan dalih menghukum mereka yang memakai identitasnya ini sampai dikecam oleh KPAI.

Tindakannya main hakim sendiri ini dinilai cukup brutal dan menjadi contoh negatif terhadap anak. Kapolda Jabar, Irjen Pol Agung Budi Maryoto mengatakan selain Habib Bahar bin Smith, pihaknya juga telah menetapkan lima orang lainnya yakni AG, BA, HA, HDI, dan SG sebagai tersangka.

Bahar diduga telah melanggar Pasal 28 ayat 2 Jo Pasal 45 A ayat 2 UU RI Nomor 19 Tahun 2018 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan Pasal 4 huruf b angka 2 Jo Pasal 16 UU RI Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan Pasal 207 KUHP dengan ancaman pidana lebih dari 5 tahun penjara.

Dalam masa penahanan pada kasus ujaran kebencian, Bahar Smith sempat sesumbar memilih membusuk di penjara daripada harus meminta maaf kepada presiden Jokowi. Sepertinya keinginannya terwujud dengan terjadinya pelaporan kasus keiminal berikutnya atas nama dirinya.

Politisasi agama dengan penerapan gelar sudah ada sejak dulu dengan adanya pengkastaan oleh raja seperti yang masih terjadi di India. Di zaman kegelapan di eropa, dimana dewan gereja menjadi acuan politik sebuah negeri, banyak keputusan gereja menjadi sebuah ketetapan politik.

Dalam sejarah Islam sendiri politik di tanah arab sering diimplementasikan. Dinasti muawiyah mengukuhkan dinastinya dengan menghancurkan lawan politiknya. Walaupun seiman dan kawan, demi kekuasaan tak ada musuh abadi dan lawan abadi. Semua orang pada pihak yang berlawanan mereka anggap layak untuk dihancurkan.

Pola pikir seperti ini yang cenderung melegalkan anarkisme dengan dalih nahi munkar. Perbuatan munkar yang dilakukan kubu sepihak seringkali dianggap mulia. Pemberian gelar pun makin lama makin tidak objektif  karena hanya atas dasar emosi keberpihakan sesaat.

Ironis jika manusia yang diberi gelar ulama beberapa kali justru jauh dari kata panutan. Gelar ulama yang digadang-gadang sebagai kekuatan keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden sekaligus jadi jaminan kebaikan justru berkasus. Moral mereka dipertanyakan.

Setingkat menunjukan etika baik saja mereka gagal. Lantas apakah gelar ulama itu diberikan sebagai syarat saja? Mengapa harus mereka byang berperilaku kriminal.yang ikut dijuluki ulama? Saya rasa masih banyak ulama sejati yang lebih pantas dijadikan jaminan perekomendasi.

Semoga gelar ulama tak hanya jadi bagian dari kamuflase politik karena bisa menggerus marwah ulama yang semestinya di mata umat...

***