Menelaah Permintaan Maaf Prabowo-Sandi yang Terus Berulang

Kamis, 6 Desember 2018 | 06:44 WIB
0
586
Menelaah Permintaan Maaf Prabowo-Sandi yang Terus Berulang
Prabowo-Sandiaga (Foto: Detik.com)

Sejak dinyatakan sebagai Capres-Cawapres, Prabowo-Sandi kerap kepleset saat memainkan peran struktur wawanmuka (face to face informal) dengan publik. 

Tercatat, Prabowo pernah secara gegabah yang juga didampingi para pembisiknya melakukan jumpa pers (press conference) terkait pengakuan bohong Ratna Sarumpaet yang katanya dianiaya.

Tak lama berselang, nama Prabowo kembali mencuat akibat protes warga atas pidato "tampang boyolali" yang dianggap menyakiti hati warga Boyolali. Bahkan sempat bersitegang akibat isunya yang menggelinding bak bola liar juga terjadi lapor-melapor ke pihak kepolisian.

Tak hanya itu, ternyata sang cawapres pun nampak latah dan melakukan sejumlah kesalahan "dihadapan" publik. 

Kali ini, Sandi Uno melangkahi makam salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Bisri Syansuri saat melakukan ziarah ke makam para tokoh NU. Lawatan ke Jombang itu pun tak berakhir manis, lantaran viral protes di media sosial akibat ulah Sandi.

Malahan, jauh sebelumnya, Sandi pernah melontarkan pernyataan yang meminta para kepala daerah agar tidak ikut-ikutan mendukung salah satu capres-cawapres pada kontestasi pilpres 2019 mendatang. Rupanya, pernyatan itu disambut kritik pedas nan akurat dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

Buntut dari segelintir kasus di atas, tentu saja sudah bisa ditebak yaitu permintaan maaf secara terbuka. Jika ditelisik lebih dalam, apa yang dilakukan keduanya, hanya persoalan sederhana namun dapat berdampak pada penggerusan acceptability and electability mereka di masyarakat. 

Tak heran, usai diterpa protes publik yang viral di media sosial maupun lewat saluran komunikasi lainnya, Prabowo-Sandi langsung meminta maaf guna menetralisir keadaan.

Permintaan maaf Prabowo-Sandi, tidak bisa dibaca secara sederhana sebagai sebuah sikap kesatria nan gagah berani yang mengakui kesalahan dan siap meminta maaf saja. Lebih dari itu, semua peristiwa yang berbuntut permintaan maaf itu punya irisan politik yang menarik kalau ditelaah dari perpsektif komunikasi politik:

Pertama, permintaan maaf itu sendiri merupakan satu-satunya strategi mengikat kembali simpati publik. Kalau enggan meminta maaf, justru akan menyulitkan Prabowo-Sandi ke depannya dan kian terseok-seok di sisa perjuangan.

Namun, cara ini akan anti klimaks bahkan bakal dianggap basi jika keduanya terus melakukan "kesalahan" yang tak perlu. 

Publik akan merasa, Prabowo-Sandi sangat buruk dalam manajemen kampanye karena keduanya terlihat seolah dibiarkan mengurus dirinya sendiri saat hadir di hadapan publik. Bagaimana bisa mengurus negara? Begitu tanya orang awam.

Kedua, aspek psikopolitik yang memengaruhi sikap masyarakat akibat harus menahan malu, bahkan matikutu lantaran bingung mau membela dengan cara apa. 

Kesalahan keduanya kerap kali sepele namun tidak bisa dihindari hanya dengan bersilat lidah karena bukti yang dilihat publik amat terpampang nyata. Apalagi ditambah kasus hoax Ratna Sarumpaet yang mau tak mau Prabowo harus menanggung malu sekaligus kehilangan sedikit elektabilitas.

Ketiga, manajemen kesan yang kian sulit dikelola. Harus diakui, rasanya sulit menjual kesan super ketje Prabowo-Sandi karena mereka belum punya track record bagus dalam urusan pemerintahan sementereng lawannya Jokowi-Ma'ruf.

Terlebih lagi, Prabowo-Sandi nampak kurang cakap dalam urusan komunikasi politik. Kalau orasi, wah, memang jagonya Prabowo-Sandi, tapi tidak dengan komunikasi politiknya. Husnudzonnya, mungkin juga karena sang peracik komunikasi politik belum begitu jauh membisiki keduanya.

Sehingga, apabila Prabowo-Sandi tampil di hadapan publik, yang ikut was-was justru para pendukungnya. Bahkan kadang teman-teman saya gemes karena sering mendapati Prabowo-Sandi out of contextsaat berbincang dengan publik, salah satu contohnya, ya "tampang boyolali" itu.

Keempat, penafsiran publik yang cenderung peyoratif. Boleh jadi, Prabowo tidak sedang menyinggung warga Boyolali, tapi akibat perhitungan yang tidak matang saat berkomunikasi, alhasil apa yang dibincangkan menjadi backfire.

Makna dari kata-kata Prabowo maupun Sandi, lebih sering dimaknai polisemik atau berbeda dari maksud sang komunikator. 

Artinya, Prabowo-Sandi belum sepenuhnya menyadari pentingnya mengelola "pesan komunikasi" agar langsung dipahami komunikan, sehingga dapat dihindari kesalahan-kesalahan komunikasi yang selama ini dilakukan. Kalau kesalahan ini tak dapat diperbaiki, maka lambat-laun publik bisa saja jemu.

Bahkan boleh jadi, lebih terpikat pesona komunikasi Jokowi-Ma'ruf yang equalitarian alias mudah dipahami karena diksi atau simbol yang dipakai tidak sulit dimengerti dan cenderung menggunakan kosa kata yang jamak dipakai publik. Kalau sudah begini, good byePrabowo-Sandi.

***