Kasus Meikarta Diharapkan Menaikkan Citra Presiden Jokowi

Kamis, 18 Oktober 2018 | 21:38 WIB
0
379
Kasus Meikarta Diharapkan Menaikkan Citra Presiden Jokowi

Kesan yang bisa dipetik dari rangkaian penangkapan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin terkait kasus dugaan suap izin proyek pembangunan hunian Meikarta milik bos Lippo Group James Riady, bisa menaikkan citra Presiden Joko Widodo.

Terlebih lagi, pada Kamis (18/10/2018) tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah memeriksa rumah James Riady untuk mencari berkas dan bukti penyuapan yang telah dilakukan oleh anak buahnya kepada pejabat Pemkab Bekasi. 

Pada Senin malam (15/10/2018), penyidik KPK menangkap Neneng Hasanah. Kader Partai Golkar itu ditangkap di rumahnya Jalan Raya Citarik, Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, setelah dia ditetapkan sebagai tersangka. 

Neneng Hasanah ditangkap KPK terkait kasus dugaan suap izin proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi. Setelah diperiksa hampir 20 jam, pada Selasa (16/10/2018) malam, Neneng Hasanah ditahan di Rutan Cabang KPK di K4.

Bupati Neneng bukanlah satu-satunya kepada daerah yang terjerat kasus korupsi. Sepanjang 2018, tercatat sudah 20 kepala daerah yang ditangkap oleh KPK terkait kasus rasuah. Mereka adalah Bupati Kabupaten Hulu Sungai Tengah H Abdul Latif;

Begitu juga, Bupati Jombang Nyono Suharli, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Subang Imas Aryuminingsih, Bupati Lampung Tengah Mustafa, Walikota Kendari Adriatma Dwi Putra, dan Bupati Bandung Barat Abu Bakar.

Juga, Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud, Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat, Bupati Purbalingga Tasdi, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, Walikota Blitar Muhammad Samnhudi Anwar, dan Bupati Kabupaten Bener Meriah Ahmadi.

Lalu ada pula Gubernur Provinsi Aceh Irwandi Yusuf, Gubernur Jambi Zumi Zola, Bupati Kabupaten Labuhanbatu Pangonal Harahap, Bupati Kabupaten Lampung Selatan Zainudin Hasan, Walikota Pasuruan Setiyono, dan Bupati Malang Rendra Kresna.

Dan, kali ini, Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang memastikan, lembaganya tidak akan berhenti menangkap para kepala daerah yang terbukti korupsi, meskipun sudah mulai memasuki tahapan Pemilu 2019.

Termasuk terhadap pemerintah dan pejabat daerah. “Kita akan tetap menjaga daerah lewat sembilan prioritas rencana aksi. Penindakkan akan ditingkatkan dua kali dari yang sekarang menjadi 200 kasus per tahun,” ujar Saut kepada Liputan6.com, Selasa (16/10/2018).

Menurutnya, pada umumnya para kepala daerah tersandung korupsi karena faktor lingkungan politik, masyarakat, dan bisnis. “Sehingga integritasnya terganggu. Itu sebabnya KPK selalu berupaya agar mereka berani jujur dengan beberapa program pendampingan,” jelasnya.

Saut juga menyinggung soal ongkos politik yang sering dituding sebagai salah satu penyebab kepala daerah melakukan korupsi. Menurut Saut, pembiayaan parpol oleh pemerintah dan auditnya memang perlu didiskusikan lagi.

Kasus suap izin proyek pembangunan Meikarta tak hanya melibatkan Bupati Neneng semata. Tercatat ada delapan orang lainnya yang dijerat dalam kasus ini.

Mereka adalah Kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi Jamaludi, Kepala Dinas Damkar Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahar, Kepala Dinas DPMPTSP Pemkab Bekasi Dewi Tisnawati, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Pemkab Bekasi Neneng Rahmi.

Dari pihak swasta, ada Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, Taryudi dan Fitra Djajaja Purnama selaku konsultan Lippo Group, serta Henry Jasmen pegawai Lippo Group.

Neneng Hasanah, kelahiran Karawang, Jawa Barat, 23 Juli 1980 itu bersama anak buahnya itu diduga menerima hadiah atau janji Rp 13 miliar sebagai imbal jasa untuk pengurusan izin lahan seluas 84,6 ha.

Tapi dari jumlah itu, diduga yang terealisasi baru sekitar Rp 7 miliar melalui beberapa Kepala Dinas. Dalam kasus ini, ia dan kaki tangannya berusaha mengelabui petugas penegak hukum dengan menggunakan sandi-sandi dalam transaksi suap.

Salah satu kata sandi yang digunakan yaitu 'Tina Toon'. “Untuk kode Tina Toon, sudah teridentifikasi orang yang dimaksud, yaitu pejabat setingkat Kasi atau Kabid di Pemkab Bekasi,” ungkap Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (16/10/2018).

Selain Tina Toon, ada juga kode seperti 'melvin', 'windu' dan 'penyanyi'. Menurut Febri, ada beberapa kode yang digunakan, yang sudah dipecahkan meski tentu belum bisa disampaikan secara rinci saat ini.

“Intinya nama-nama pejabat di Pemkab yang berinteraksi terkair perizinan dan suap ini, diganti dengan kode-kode tertentu. Kami duga ini bagian dari upaya menyamarkan,” jelas Febri.

Neneng Hasanahtelah memimpin Kabupaten Bekasi sejak 2012. Pada Pikada Serentak 2017, dengan diusung Partai Nasdem, PAN, Golkar, Hanura, dan PPP, dia kembali memenangkan pilkada dan memimpin Kabupaten Bekasi untuk periode kedua mulai 2017-2022.    

Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Neneng yang dilaporkan pada 5 Juli 2018, harta kekayaannya tercatat sekitar Rp 73,4 miliar. Siapa  yang bakal menyusul Neneng Hasanah setelah ditangkap KPK?

Sumber Pepnews.com menyebut, KPK akan merangsek ke wilayah Jawa Timur pada akhir 2018 untuk menangkap seorang bupati lagi setelah Bupati Malang Rendra Kresna. “Diduga dia terlibat kasus-kasus korupsi di wilayahnya,” ungkapnya.

Tutupi Buku Merah

Kasus Meikarta seolah membetot perhatian masyarakat dari mencuatnya perkara kasus impor daging yang menyeret pengusaha Basuki Hariman di bawah penanganan KPK, terutama KPK yang didesak agar mengusut kasus “perobekan” Buku Merah.

Dalam catatan buku keuangan berwarna merah (yang selanjutnya disebut Buku Merah) itu, nama Tito Karnavian diduga menerima aliran dana dari Basuki sebagaimana tercatat dalam buku yang berisi pengeluaran keuangan PT Panorama Indah Sejati itu.

Nama Kapolri itu masuk dalam catatan yang dibuat staf bagian keuangan, Kumala Dewi Sumartono. Dalam buku keuangan itu tercatat nama Tito menerima uang dalam periode Januari sampai Juli 2016. Jumlahnya bervariasi antara Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar.

Dugaan suap Basuki ke Tito tersebut pernah ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Metro Jaya. Namun, Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Deriyan menyatakan, Basuki mengaku tidak pernah memberi uang kepada Tito.

“Sumbernya dari mana? Pak Basuki. Kami tanya langsung ke Pak Basuki, apakah dia benar pernah memberikan apa yang tercatat dalam buku merah. Jawaban Pak Basuki apa? Tidak pernah. Thats it. Selesai. Kalau sumbernya saja bilang tidak pernah, masa’ kita harus bilang ada,” jelas Ade kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Senin (8/10/2018).

Melansir RMOL.com, Ade menjelaskan, buku merah yang diduga dirusak oleh dua mantan penyidik KPK dari Kepolisian, AKBP Roland Ronaldy dan Kompol Harun, telah dijadikan barang bukti di Pengadilan.

“Begini loh, sekarang buku merah merah itu dijadikan barang bukti di Pengadilan. Dijadiin barang bukti di pengadilan. Enggak ada apa-apa kan? Berjalan lancar saja pengadilan itu. Benar enggak?” ucapnya.

Namun demikian, sambung Ade, perkara ini masih terus didalami. Ia mengklaim, kepolisian tetap menanyakan hal itu ke Basuki sebagai sumber informasi terkait catatan di dalam buku merah.

Nama Tito terungkap dari dokumen internal KPK pada 9 Maret 2017 yang mencatat Kumala Dewi ditanya oleh penyidik KPK mengenai nama-nama penerima aliran dana. Setidaknya ada 68 pejabat negara yang tertulis di catatan ini dan diduga mendapat aliran dana.

Kasus ini kembali ramai bermula dari laporan serentak sejumlah media yang mengangkat investigasi lanjutan mengenai upaya perusakan barang bukti yang dilakukan dua mantan penyidik KPK dari Polri (Roland Ronaldy dan Harun).

Harun dan Roland dikembalikan KPK ke kepolisian pada 2017, lebih cepat dari batas masa tugas. Pengembalian ini diduga sebagai sanksi karena mereka terbukti merusak barang bukti untuk kasus suap oleh pengusaha Basuki Hariman.

Laporan media berasal dari salinan berita acara pemeriksaan anak buah Basuki Hariman, Kumala Dewi Sumartono, pada 9 Maret 2017, yang bocor ke media. Kumala Dewi ditanya oleh penyidik KPK mengenai nama-nama penerima aliran dana.

Dalam buku merah, ada 68 nama pejabat negara yang disebut menerima aliran dana dari perusahaan milik Basuki itu. Salah satu nama yang tercatat sering menerima adalah Tito Karnavian yang kala itu masih menjabat Kapolda Metro Jaya.

Adakah munculnya kasus Meikarta ini untuk menutupi desakan pengusutan catatan Buku Merah tersebut? Yang jelas, penanganan kasus Meikarta telah menaikkan citra Presiden Jokowi yang maju sebagai capres petahana pada Pilpres 2019.

Dalam penegakan hukum, Presiden Jokowi tidak pernah pandang bulu, siapapun disikat jika memang korupsi. Termasuk perusahaan milik James Riady yang selama ini identik dengan salah satu penyokong dana kampanye Jokowi selama ini.  

***