Bajingan yang Tolol

Ia sering disebut filsuf, namun pengetahuan historiografinya lemah, apalagi dari sisi sosiologi dan antropologi.

Selasa, 1 Agustus 2023 | 10:51 WIB
0
123
Bajingan yang Tolol
Rocky Gerung (Foto: tribunnews.com)

Alhamdulillah wa syukurillah, ada lagi hinaan pada Jokowi. Saya tak ingin meninjaunya dari sisi politik. Karena kalau dari sisi itu, hanya akan memposisikan kita pada dua sisi yang bisa berbeda tajam. 

Di samping itu, tinjauan politik juga hanya lebih menguntungkan Jokowi. Pada sisi Rocky Gerung sama sekali tak ada untungnya.

Pertama: Kalau dikatakan keuntungannya, Rokcy akan menolak. Rocky sangat menikmati teori negasi seorang masochis. Sesungguhnya menerima, tetapi dengan gesture menolak. Para wartawan muda yang kopinya dicampur susu, mudah terbujuk dengan tipu-tipu merak jantan itu. 

Kedua: Hal itu tak menambah kuat posisi tawar Rocky, karena karakter politiknya sudah terbentuk sedemikian rupa. “Begitulah Rocky”, kata orang-orang yang mencoba mengenalinya. Dalam politik, pencapaian tertinggi adalah mentok. Rocky sudah sampai ke puncak karir, yakni stop di situ. Kecuali terjadi pergantian rezim yang merasa berhutang budi padanya.  

“Begitulah Rocky” itu, cap yang akan membuat para akademisi malu membela, atau takut untuk mencela. Atau gabungan keduanya. Malu membela karena takut dituduh tidak akademis. Takut mencela kalau malu jika dicela balik (oleh Rocky). 

Daripada ribet dan repot, mendingan diam tak bereaksi, tak berkomentar. Daripada malu-maluin atau dimalu-maluin. Bukankah akademisi harus netral? Diam adalah netral. Karena itu muncul kiasan silent is golden. Dan golden batangan sekarang naik harganya.

Karena dalam posisi itu, seperti para pemain kartu, king gambler hanya akan mengeluarkan kartu as di detik-detik terakhir. Semua mereka yang mentok, akan bertindak demikian. Seperti ketika para mahasiswa mau tak mau menyelesaikan tugas akhirnya. Daripada kena pinalti DO.

Dalam detik-detik terakhir masa jabatan Jokowi, adalah moment terbaik bagi siapapun yang hendak memanfaatkan kesempatan. Karena hanya terjadi lima tahun sekali. Kecuali ada peristiwa big-bang kayak kelongsoran Soeharto di 1998.

Apakah peristiwa 1998 dipicu oleh para jagoan, baik dari kampus atau jalanan? Rasanya tidak. Amien Rais yang cerdik menunggangi momen itu, gagal di finishingnya, dan masuk dalam ramalan Gus Dur sebagai gelandangan politik. 

Dalam setiap momen pergantian elite nasional, berbagai manuver berseliweran. Dalam politik elitis, demikianlah hukumnya. Rocky juga bukan pengecualian. Pada faktanya Rocky adalah calon menteri dalam Kabinet Prabowo, sekiranya Prabowo menang dalam Pilpres 2019. Tapi karena Prabowo kalah, dan Jokowi yang menang, emangnya mau Rocky menjadi menterinya Jokowi? 

Eh, ternyata mau. Setidaknya, setahun kemudian dari kekalahan Prabowo, Rocky menjawab mau jika ia diminta jadi menteri Jokowi. Setidaknya demikian jawabannya ketika ditanya host acara diskusi di sebuah kampus, pada tanggal 4 Juli 2020.

Fristian Griec, yang kini host di BTV milik Peter F. Gontha, bisa cerita ulang soal pertanyaannya pada Rocky saat itu; Apakah mau menjadi menteri Jokowi, karena nama itu masuk dalam bursa resuffle kabinet Jokowi.

Rocky tidak menolak. Asal mendapat hak istimewa, yang salah satunya adalah membubarkan kabinet (Media Indonesia, 4 Juli 2020). Serius? Keseriusan yang disampaikan secara slenge’an, adalah strategi komunikasi bias yang paling aman dimainkan. Itu ciri khas Rocky. Kalau jadi, ya, lumayan. Kalau ditolak nggak gitu memalukan. 

Toh di sisi lain, Rocky Gerung tak selalu menghina Jokowi. Rocky pernah mengatakan Jokowi jenius, menanggapi masuknya PAN dalam kabinet Jokowi (2023). Walaupun disambung dengan kalimat resultante khasnya: Dengan begitu Jokowi berhasil menutup peluang Anies Baswedan menjadi capres 2024.

Argumentnya? Menurut Rokcy, PAN yang hendak mendorong Anies Baswedan ke kepemimpinan nasional selanjutnya, jadi ambyar (detikom, 16 Juni 2022).

Itu sangat khas Rocky. Sekaligus dungunya. Karena ditanya sampai pojokan Monas, Zulkifli Hasan tidak akan pernah sekalipun mengiyakan pendapat Rocky bahwa PAN adalah inisiator pencapresan Anies Baswedan. 

Tidak penting jika fondasi argumennya ngawur sekalipun. Karena daripada melihat substansinya, dalam sebuah debat kusir, permainan diksi menjadi penting. Tidak banyak orang yang bisa menemukan kalimat quotable seperti “jalan tol makin panjang tapi jalan pikiran makin pendek”.

Sama seperti Rocky pada tahun 2009 yang memuji SBY adalah jenderal intelektual. Ia katakan hanya SBY yang ditemuinya sedang membaca buku. Kalimat itu menutupi transaksi di baliknya, karena Roky adalah konsultan politik SBY.

Tetapi di twitter ia bisa mengakui kritikannya pada SBY jauh lebih satire dibanding kepada Jokowi. Dengan logika Rocky seperti itu, kita bisa balik bertanya; Kalau Jokowi adalah bajingan tolol, SBY apa dong?

Sila cek semua jejak digital yang tak bisa dihapus oleh Rocky. Demikian juga ketika ia menjadi konsultan politik AHY dalam Pilgub DKI Jakarta 2016. Hasilnya, AHY terlempar pada putaran pertama. Perolehan suaranya bahkan jauh lebih sedikit dibanding suara Demokrat di DKI Jakarta dalam Pemilu 2014.

Contradictio in terminis adalah mainan Rocky. Tapi pasti itu lebih merupakan mainan politikus daripada seorang akademisi. Rocky juga sangat menikmati sebutan akademisi ini, padal ia menolak lembaga pendidikan formal bernama Universitas. Ia sendiri tidak lagi jadi dosen UI, karena lembaga itu mensyaratkan pengajar di situ setidaknya S2. Setidaknya artinya minimal.

Rocky sempat menjadi mahasiswa S2 di STF Drijarkara. Namun dengan mengatakan pengajarnya goblog, ia memilih keluar. Dengan pernyataan itu, ia aman dari pertanyaan apakah drop-out dari Drijarkara karena bodoh? Atau karena lebih pintar dari dosennya?

Itu ciri khas langkah taktis politikus daripada seorang ilmuwan atau akademisi yang harus tunduk pada aturan lembaga pendidikan formal. Juga mengakui bahwa ilmu pengetahuan murni bersifat netral, demokratis, fairness. Terbuka pada kritik dan bisa dikoreksi. 

Sementara pernyataan-pernyataan Rocky, bukan hanya insinuatif namun juga acap bersifat dogmatis. Ia menyampaikan informasi sumir, tanpa perlu diuji atau dipertanyakan, namun segera ia tutup dengan judgment. Persis teori 3-langkah dalam stand-up comedy, judgment adalah punchline dengan kalimat-kalimat yang tampak problematis tapi quotable. Kompor gas kata Indro Warkop.

Kita sudah membaca kelitan Rocky ketika ia dilaporkan ke Kepolisian oleh para relawan Jokowi. Saya kutip dari suaradotkom (1/8/23), media yang melulu hanya mengutip pendapat Rocky Gerung semata (tanpa pernah memberi perimbangan); 

Menurut Rocky yang dikutip media itu, Presiden Amerika sering didebat bilang ekonomi goblok. Istilah goblog menurutnya istilah biasa dalam perdebatan politik. Apakah ia sedang berdebat politik? Tidak. Dia sedang orasi, monolog politik. Belum masuk diskusi atau debat yang pasti berbeda situasinya.

Lebih lanjut Rocky menyebut kata bajingan di era Mataram memiliki arti yang posistif. "Bajingan itu bahkan dianggap dulu di jaman Mataram dulu ada orang yang riset ditulis di national geograpic bajingan artinya orang yang dicintai Tuhan."

Rujukannya riset national geographic. Masak-awoh. Argumentasi Rocky, karena bajingan itu sebutan sopir gerobak jaman Mataram, yang membawa berkah karena ngangkut bahan makanan. 

Pernyataan ngawur itu menyedihkan bagi dunia pengetahuan. Namun bagi yang gelap-mata memuja Rocky, dianggap sebagai kebenaran. Sering disebut filsuf, namun pengetahuan historiografinya lemah, apalagi dari sisi sosiologi dan antropologi. Untuk memblesetkan kata ‘bajingan’ dia menempuh jalan preman, bukan jalan seorang intelektual atau ilmuwan. Padal, apa makna frasa ‘bajingan tolol’ atau “bajingan pengecut”, pun jika kata bajingan adalah orang yang diberkati tuhan? Kelitan itu penanda dia manusia Indonesia biasa saja. 

Ini permainan politik yang juga biasa saja. Tidak perlu sewot. Jokowi, yang saya tahu dan bagi saya, tetap lebih baik daripada saya.

Dalam obrol-obrolan semalam dengan seorang bacaleg salah satu parpol, saya maklum kalau ada yang percaya Rocky Gerung adalah seorang profesor. Seperti sama yakinnya bahwa Amien Rais adalah seorang profesor (kalau yang ini memang pernah). Sementara temen-temen saya (yang sebaya) yang bener-bener profesor, sering tidak meyakinkan tampilannya sebagai profesor. 

Padal mereka menyimpan sertifikasi dari negara, dan sesuai 4 kriteria UU 20/2003 tentang sisdiknas dan Permen PAN-RB 46/2013 dan 17/2013. Bukan profesor abal-abal, kayak sebutan Gus yang banyak disematkan pada man-teman kita yang tampak kelicutan awalnya. Tapi menikmati pada akhirnya. Karena menjadi Gus itu sangat susah, bahkan tidak mungkin, bagi kaum perempuan. Kecuali diperistri oleh Gus. Setidaknya jadi nyonya Gus. 

Sunardian Wirodono