Lucunya Surya Paloh

Surya Paloh saja yang tak bisa menempatkan diri. Maunya tetap jadi anggota koalisi Pemerintah, tapi dia membentuk koalisi baru dengan partai oposisi, tanpa melepas posisinya di koalisi Pemerintah.

Sabtu, 6 Mei 2023 | 08:01 WIB
0
173
Lucunya Surya Paloh
Surya Paloh dan Luhur B. Panjaitan (Foto: detik.com)

Lama tak muncul dalam dunia persilatan ‘copras-capres’, Luhut Binsar Panjaitan bertemu dengan Surya Paloh. 

Tidak jelas apa kapasitas mereka dalam pertemuan itu, dan untuk apa. Palingan mereka menyebut sebagai sesama anak bangsa, tanpa "t". Artinya, mengakui posisi ambivalen mereka. Ingin nempel Jokowi terus, namun senyampang itu takut kehilangan momen perubahan paska Jokowi. Itu watak politikus biasa saja. Tidak luar biasa. Tidak istimewa. Artinya, jika pun pakai telor mungkin telor busuk. 

Dalam copras-capres, ada begitu banyak orang merendahkan diri. Siapapun. Entah itu elitikus yang ngaku cendekiawan atau budayawan. Atau yang diem saja dipanggil ‘prof’ padal bukan. Bahkan belum lama lalu, ada yang menulis beberapa kyai atau ulama ngimpi bareng. Ngimpi mereka, Anies terbang ke langit tinggi. Tafsirnya, Anies bakal jadi presiden. Karena diposting di medsos, alangkah syahdunya mimpi para kyai itu ketika ditanggapi netijen, “Terbang ke langit, artinya nggak balik-balik lagi ya, Ya’i?” 

Terhadap gerak-gerik nggak mutu, berkait copras-capres, bagi rakyat jelantah anggep saja hiburan. Meski kadang menyebalkan.

Kalau dibilang politik itu suci, toh praktiknya banyak yang mengotori. Kita rakyat jelantah ini, tak punya pilihan lain, selain yang disediakan partai politik sebagai peserta Pemilu. Karena begitulah undang-undang kepolitikan kita. Yang paling berhak soal copras-capres itu partai politik. Mereka tidak mau nerusin kalimatnya, bahwa partai politik didirikan untuk mendapatkan legalitas rakyat.

Tapi watak korup yang akut, memang membuat elitikus korup sejak dalam pikirannya. 

Setelah curhat pada Luhut Binsar Panjaitan, Surya Paloh meminta agar Jokowi tidak mengendars-endors siapa capres yang didukung. Emang sudah ada capres (dan cawapres) definitif?

Sebagai politisi ulung, Jokowi pasti tahu konstitusi. Sayangnya, Surya Paloh ini emang baperan. Jokowi pernah menyatakan ke media, barulah ketika KPU menetapkan siapa capres dan cawapres untuk Pilpres 2024, dirinya akan berhenti berkomentar. Presiden adalah jabatan politik, maka semua langkahnya berimplikasi politik. Dan sebagai insan politik, apalagi sedang berkuasa dan ini adalah masa jabatan terakhir, tak ada yang salah dia meng-intertain situasi kepolitikan itu. Ia juga butuh tahu dan mengkondisikan lapangan. 

Yang dilakukan Jokowi adalah desakralisasi ‘jabatan’ Presiden. Presiden adalah petugas negara dan bangsa. Siapa saja pantas mencalonkan diri. Bahkan Yusril Ihza Mahendra, yang partainya belum terwakili di parlemen, didorong oleh Jokowi; Jika PBB masuk parlemen, Jokowi mengatakan, dia dorong Yusril untuk maju capres.

Kebanyakan orang tidak melihat sisi entertaint itu. Alih-alih malah sibuk ngributin istilah ‘petugas partai’. Jangankan kata ‘petugas’, Jokowi pakai kostum ‘item-putih’ pun sudah diejek-ejek seperti room-boy atau sales. Aneh saja, bukan anggota PDIP tapi ngributin aturan internal partai itu. Suka-suka mereka tentu mau nyebut kadernya sebagai petugas. Lagian, yang menolak kata petugas, biasanya mendaku sebagai ningrat. Cirinya tidak punya etos kerja, tapi maunya dapat jatah preman. 

Surya Paloh saja yang tak bisa menempatkan diri. Maunya tetap jadi anggota koalisi Pemerintah, tapi dia membentuk koalisi baru dengan partai oposisi, tanpa melepas posisinya di koalisi Pemerintah. Jadi kalau Jokowi tidak mengendors Anies Baswedan, bacapres yang juga didukung PKS dan Demokrat, darimana pintu Jokowi sebagai kepala pemerintahan, yang praktis adalah pucuk acuan partai koalisi pemerintah? Itu persis ketika Surya Paloh dulu ngomong soal restorasi Indonesia. Namun tak mampu menguraikan apa maknanya. Lucunya Surya Paloh.

Sebelum didaftarkan formal ke KPU, maka yang ada barulah bacapres, bukan capres. Termasuk Ganjar yang sudah dinyatakan capres oleh Ketum PDIP. Secara politik dan secara konstitusional antara bacapres dan capres beda jauh. Itu berkait tingkat pola ungkap bahasa kita. Bahasa Indonesia, adalah bahasa percakapan, bahasa dagang. Kosakata masih terbatas. Dan bukan bahasa ilmu-pengetahuan. 

Memang, bagi para oportunis politik, terpisah dari kekuasaan itu menyakitkan. Bikin seseg. Dan kita akan terus disodori komidi politik itu kelak. Setidaknya sampai Oktober tahun ini. Kemudian setelahnya, masuk ke komidi politik berikut usai pendaftaran bacapres menjadi capres. Ingat kelakuan politikus kita dalam Pilpres 2019? Setengah jam menjelang pendaftaran, nama kandidat bisa berubah. Surat penetapan, bisa diubah. 

Bayangkan, ketua umum partai bisa dipesan untuk tak lupa membawa stempel lembaganya. Di situ Mahfud MD dan Romahurmuzy bisa saling berbagi cerita, apa yang terjadi waktu itu.

Sunardian Wirodono