Mengapa Putin Gundul, Pak Ganjar?

Untungnya sebagai orang Indonesia, masih mending ada Jokowi. Masiya utang tapi beberapa jadi jembatan, waduk, jalan toll, bandara, destinasi wisata dunia, daripada utang ditilep hanya untuk diri-sendiri dan kelompoknya!

Selasa, 8 Maret 2022 | 08:28 WIB
0
264
Mengapa Putin Gundul, Pak Ganjar?
Ganjar Pranowo plontos (Foto: detik.com)

Jadi setelah Reformasi 1998 itu apa yang terjadi? Kekonyolan demi kekonyolan.

Tapi mau apa, ini negeri yang mempercayai bahwa demokrasi adalah kebebasan. Sehingga yang paling konyol, mendirikan shalat di tengah jalan, bisa dilakukan secara demonstratif dan ada yang membelanya. Meski tidak dalam situasi darurat, karena masjid dan mushalla tersedia banyak dan magrong-magrong.

Aturan mengenai tata-suara masjid dari Menteri Agama yang berlatar NU dan bekas Komandan Banser NU saja, justeru di masjid-masjid yang penguasa loudspeakernya dari NU juga, mendapat perlawanan balik. Disuruh menurunkan potentio volume kurang dari 100 desibel, justeru dinaikkan dengan sengaja dan ekstrim. Ekspresi marah sebagai majoritas kok ditegur.

Apa hubungannya reformasi dan ekspresi beragama? Hubungannya dengan kejumudan. Ketika identitas dibagai sebagai sesuatu yang penting untuk dipamerkan, bukannya diimplementasikan dalam cinta-kasih sesama, dengan saling menghargai kehormatan masing-masing.

Hingga membela agama kemudian lebih menunjukkan kehilangan akal sehat dan mulia. Hanya karena doktrin beragama tak baik dicampuri logika, nanti jadinya sekuler. Terus bangga menjadi bodoh karena agama. Lebih penting naik sorga daripada naik kelas. Ehm.

Makanya ketika Presiden Jokowi, sebagai Panglima Perang Tertinggi Republik Indonesia memberitahu anak-buahnya, jajaran TNI dan Polri, soal jangan mengundang penceramah (agama, yang berpaham) radikal, langsung saja muncul nyap-nyap. Ruwet, apa-apa diurusi dan diatur Jokowi. Dari politikus, agamakus, kadrunkus, langsung samber kayak mata elang ngeliat anak ayam kampus tanpa busana.

Semenjak Jokowi jadi Presiden (2014), neh-aneh saja kejadiannya. Apalagi ketika periode presiden dari Solo ini akan berakhir. Presiden digencet kesana-kemari, dipaksa ngomong sesuai keinginan yang mendesakkannya. Partai Demokrat yang kesulitan dapat panggung untuk Pilpres 2024, pun memaksa Presiden untuk ngomong sesuatu yang jadi kehendak partai itu. Lempar batu sembunyi tangan. Maling teriak copet, dan copet teriak asu.

Pai-sampai soal Rusia-Ukraina pun dikomentari, padal relevan juga tidak, kecuali Indonesia sadar dalam persoalan geo-politik internasional itu. Meski pun tak ada yang sedahsyat Sukarno, yang bisa menggertak PBB dan menyeimbangkan dunia. Bener-bener NATO, not action talk only!

Padal salah siapa semua ini? Paling gampang menuding salah liyan. Hanya karena keyakinan tak setiap 100 tahun lahir orang kayak Sukarno atau kayak Jokowi, jalan keluarnya tunda Pilpres, Perpanjang Pelimu, eh, Pemilu ding. NU yang ngomongnya nggak mau berpolitik praktis, tergoda juga ngajakin dialog. Alesannya pandemi. Tapi disodori Vaksin Nusantara, ditolak. Islam Nusantara? Jadi perdebatan. IKN Nusantara? Rame juga.

Padal, kalau Salim Grup cum suis menyembunyikan minyak goreng, emang rakyat Indonesia bakal mati tanpa tempe mendoan? Ketika rakyat India digencet Inggris, Gandhi menyerukan lawan dengan nuranimu. 10 orang maju, tanpa senjata, ditembak mati. 10 orang lagi, maju, tanpa senjata, di tembak mati. Dan Inggris akhirnya bertekuk lutut. Nyerah. Kalah melawan imajinasi kemerdekaan.

Semuanya lebih karena kita tak punya garis imajiner. Mimpi sebagai bangsa besar. Para pembantu Presiden pun, kini, sudah blingsatan untuk lebih ngurusin urusan sing-masing. Karena mimpi para elite itu cuma dari rambut kaki hingga rambut kepala doang. Ada yang mampir bentar, karena punya rambut di bawah dengkul, pangkal paha, dada, ketek, dagu. Tapi tak pernah mimpi yang panjang, sampai rambut memutih. Meski cuma ke Indonesia 2045 misalnya. Mau Puan atau mau Ganjar, emang penting, tanpa harus kita lihat bukti rekaman musiknya? Lagu apa yang dibawakannya? Ndhang-ndhut? Atau Ndhut-ndhang?

Untungnya sebagai orang Indonesia, masih mending ada Jokowi. Masiya utang tapi beberapa jadi jembatan, waduk, jalan toll, bandara, destinasi wisata dunia. Daripada utang ditilep hanya untuk diri-sendiri dan kelompoknya?

Selalu ada untung dalam buntung. Bayangkan di jaman SBY, utang juga tapi bukan hanya proyek mangkrak, melainkan digerogoti elite partainya sendiri. Angelina Sondakh, yang mestinya harus ngembaliin duit denda Rp4 milyaran, cukup ditebus masa tahanan 4 bulan sahaja!

Jadi apa persoalan kita sebenarnya? Putin yang jahat karena menjadi pemicu perang? Lebih memilih gundul daripada rambut ubanan kayak Pak Ganjar? Atau kita yang heboh karena kayak anak kecil dapat mainan game-watch? Terus teriak-teriak dengan TOA di mulut?

***