Mewaspadai Gerakan Ormas Radikal Terlarang

Euforia atau luapan kegembiraan yang berlebihan atas kemenangan Taliban tetap perlu diwaspadai. Peristiwa ini akan menjadi inspirasi dan menumbuhkan motivasi baru membentuk negara Islam.

Kamis, 16 September 2021 | 00:12 WIB
0
190
Mewaspadai Gerakan Ormas Radikal Terlarang
Taliban (Foto: tribunnews.com)

Masyarakat diminta untuk mewaspadai gerakan Ormas radikal terlarang. Selain berpotensi mengancam ideologi Pancasila, keberadaan Ormas radikal terlarang dapat menimbulkan konflik horizontal.

Sebelumnya keberhasilan Taliban dalam menguasai ibu kota Afganistan, Kabul dan hampir seluruh wilayah Afganistan, rupanya memantik reaksi dari mantan narapidana terorisme dan simpatisan ideologi radikal di Indonesia.

Pengamat terorisme menuturkan, bahwa euforia atau luapan kegembiraan yang berlebihan atas kemenangan Taliban tetap perlu diwaspadai.

Pengamat Intelijen dan Terorisme dari UI (Universitas Indonesia), Ridlwan Habib, mengatakan bahwa yang perlu lebih dicermati dari kemenangan Taliban adalah peristiwa ini akan menjadi inspirasi dan menumbuhkan motivasi baru untuk membentuk negara Islam, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain.

Ridlwan menuturkan, bahwa euforia atas kemenangan Taliban masih sebatas ide dan gagasan, sehingga pihak berwenanga tidak dapat bertindak atau menangkap orang-orang yang terjangkit euforia tersebut. Sementara itu, di Solo Jawa Tengah, mantan Anggota Jamaah Islamiyah (JI) Sofyan Tsauri melihat bahwa kemungkinan penguasaan kembali Afganistan

Cendekiawan muslim Alwi Shihab menyebutkan, bahwa kelompok radikal di dalam negeri lebih suka dengan ulama dari Timur Tengah atau jazirah Arab untuk dijadikan panutan.

Mereka menganggap remeh ulama ulama asli Indonesia. Asumsi Alwi tersebut disebabkan karena ia menganggap bahwa penyuluhan atau ceramah dari ulama Indonesia kurang diminati oleh kelompok radikal. Ia Mengatakan bahwa tokoh-tokoh Islam radikal di Indonesia kerap memprovokasi masyarakat.

Misalnya dengan menyebut bahwa Pancasila merupakan ideologi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Berkaca dari fenomena tersebut, Alwi menilai jika ulama dari Timur Tengah dilibatkan dalam pencegahan bahaya radikalisme di tanah air.

Menurutnya, hal itu dapat menjadi langkah mujarab untuk mengantisipasi pertumbuhan paham Islam radikal di Indonesia. Apalagi sebelumnya kita kerap mendengar bahwa sasaran teroris tidak hanya tempat ibadah, tetapi juga aparat kepolisian yang tengah bertugas.

Pakar terorisme Sidney Jones mengatakan bahwa polisi masih dianggap sebagai musuh utama kelompok teroris di Indonesia. Motif balas dendam merupakan motif yang sangat kuat dalam melatari sejumlah aksi penyerangan terhadap polisi.

Sidney juga menuturkan, dengan menghabisi polisi maka kemudian mereka bisa merebut senjatanya. Itu bisa menjadi nilai tambah dan modal bagi kelompok teroris untuk digunakan dalam penyerangan di kemudian hari.

Mantan Kapolri Jenderal Tito Karnavian pernah mengatakan, polisi yang menjadi sasaran teror karena dianggap mendukung sistem di luar hukum Islam. Oleh karena itu kaum radikal dan pelaku terorisme kerap menganggap aparat kepolisian sebagai orang kafir yang harus dibasmi.

Serangan kepada aparat kepolisian seakan bukan berita baru, tahun 2016 lalu, terjadi penyerangan terhadap 3 polisi di Jalan perintis kemerdekaan, Cikokol, Tangerang Selatan. Pelaku berinisial SA diduga tergabung dalam kelompok Daulah Islamiah di Ciamis Jawa Barat.

Lalu bagaimana bisa seseorang memiliki keberanian untuk menyerang aparat kepolisian?

Mari kita flashback pada Agustus 2019 lalu ketika anggota Polsek Wonokromo Surabaya mendapatkan serangan. Densus 88 kala itu memberikan informasi kepada Kapolri bahwa pelaku terpapar radikalisme dari media internet, hal ini tergolong sebagai self radikalism atau radikalisasi diri sendiri.

Tito Karnavian mengatakan, bahwa pelaku memiliki pemahaman jihad versi dirinya sendiri kemudian mendatangi Polsek Wonokromo dan menyerang petugas piket yang berjaga saat itu.

Dari wawancara yang didapatkan, pelaku penyerangan teror tersebut mengatakan bahwa Polisi dianggap sebagai thagut, selain itu mereka juga menganggap aparat kepolisian sebagai kafir harbi atau kelompok kafir yang wajib diperangi karena kerap melakukan penegakan hukum kepada mereka. Sehingga bagi pelaku yang melakukan penyerangan terhadap aparat kepolisian, maka pelaku akan mendapatkan pahala.

Sebelumnya, Ketua Umum Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) KH Said Aqil Siroj meminta supaya pemerintah dapat lebih tegas dalam menindak kelompok-kelompok radikal. Radikalisme berbaju agama memiliki potensi akan terjadinya adu domba yang kemudian dapat merusak rasa persatuan dan kesatuan antar sesama warga negara Indonesia.

Ormas Radikal semakin lihai dalam menyebarkan paham radikalnya, mereka merekrut anggotanya dengan cara yang sangat halus, termasuk melalui lingkungan pendidikan. Sehingga kita patut waspada terhadap gerakan-gerakan ormas atau kelompok masyarakat yang tidak mengindahkan simbol negara dan tidak menjunjung dasar negara yaitu Pancasila. (Tri Laksmi Utami)

***