Demo buruh yang digelar elemen buruh tidak mendapat simpati dari masyarakat. Selain mengganggu ketertiban, demonstrasi juga bisa menyebabkan potensi penularan baru kluster Covid-19, sehingga dapat memicu gelombang ketiga Covid-19.
Naiknya upah minimum provinsi membuat para buruh berdemo untuk memprotesnya. Tidak tanggung-tanggung, unjuk rasa berlangsung selama 3 hari, sejak tanggal 26 November 2021. Bahkan mereka juga berencana mengadakan demo tambahan pada bulan Desember depan. Semua dilakukan untuk memprotes naiknya upah tahun 2022 yang menurut mereka terlalu kecil.
Masyarakat tidak bersimpati kepada demo buruh, karena menganggap mereka tidak bersyukur. Untuk daerah sebesar Jakarta, seharusnya upah minimum 4.452.000 sudah sangat lebih dari cukup. Namun para buruh selalu merasa kurang.
Daripada sibuk minta kenaikan gaji, bukankah lebih baik memperbaiki manajemen finansial?
Bahkan dari demo buruh sebelumnya ada yang ketahuan membawa motor sport, yang tentu harganya di atas 50 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa buruh bukannya kurang gaji, melainkan kurang edukasi, karena menghabiskan uangnya untuk benda konsumtif yang terlalu mahal.
Masyarakat di Rembang menolak demo buruh yang anarkis. Menurut mereka, daripada berunjuk rasa, lebih baik melakukan komunikasi baik-baik. Dalam artian, seharusnya ada perwakilan dari serikat buruh yang beraudensi dengan Menteri Tenaga Kerja dan pejabat terkait, untuk membahas seluk-beluk kenaikan upah minimum provinsi 2022. Penyebabnya karena jika hanya berkoar-koar saat demo, malah diacuhkan.
Demo buruh juga tidak mendapat perhatian dari masyarakat karena dilakukan di jalan yang strategis, sehingga malah membuat kemacetan yang mengular. Alih-alih simpati, masyarakat malah mengeluh karena tidak bisa memiliki mobilitas yang cepat, akibat terhalang para pendemo. Mereka jadi terjebak macet dan akhirnya pasrah karena ternyata ada unjuk rasa.
Padahal kita tahu sendiri bahwa waktu adalah uang. Jika 1 orang terjebak macet selama 2 jam saja, berapa yang terbuang gara-gara demo? Ia bisa berpotensi dimarahi boss di kantor, padahal bukan salahnya untuk terjebak macet di saat demo. Anak sekolah juga akan terlambat masuk sekolah. Semua gara-gara pendemo.
Selain itu, demo buruh cenderung tidak membawa solusi apa-apa. Para buruh hanya berkutat pada masalah, yakni kenaikan gaji yang dirasa kurang. Mereka akhirnya memaki-maki pemerintah, padahal selama ini pemerintahlah yang sudah berbaik hati untuk memberi bantuan sosial dan bantuan lain saat pandemi. Rasanya air susu dibalas dengan air tuba.
Seharusnya jika ada masalah, maka yang dipentingkan adalah solusinya, bukannya memperpanjang problema. Bisa jadi buruh dapat solusi, kenaikan gaji masih mending daripada stagnan, bahkan dipotong. Kenaikan patut disyukuri karena ada tambahan walau sedikit. Jika dirasa kurang maka mereka bisa memotong pengeluaran tersier atau menambah pendapatan dengan kerja freelance di akhir minggu.
Sarkasme yang ada di dalam demo juga membuat masyarakat makin tidak simpatik. Mereka sudah lelah menghadapi pandemi yang mengerikan, masih ditambah lagi mendengar ucapan kasar dari para pendemo. Emosi boleh saja tetapi utamakan logika, dan sarkasme yang berujung ketidakmampuan untuk mengontrolnya, bisa memicu kericuhan dan membuat suasana jadi panas karena ada tawuran.
Jika ada tawuran maka masyarakat yang paling dirugikan. Pertama, fasilitas umum berpotensi dirusak oleh pendemo, sehingga tidak bisa digunakan. Kedua, saat ada kerusuhan takutnya ada penjarahan, sehingga rakyat kecil menangis. Ketiga, keselamatan nyawa masyarakat juga terancam.
Oleh karena itu hentikan saja rencana demo atau perpanjangannya. Tidak ada gunanya sama sekali, karena tak dapat simpati dari masyarakat. Pendemo hanya sekumpulan orang yang kecewa, tetapi takutnya ada provokator yang akan memicu kericuhan dan tawuran, yang membuat keselamatan masyarakat jadi dikhawatirkan.
Aulia Hawa, Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews