Korupsi Dana Desa, “Lawan Tersembunyi” Pencapaian Strategi Presiden Membangun Desa

Presiden dapat memerintahkan KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI termasuk Ombudsman Republik Indonesia dan akademisi agar meningkatkan upaya dan narasi pencegahan korupsi.

Jumat, 8 Oktober 2021 | 19:12 WIB
0
157
Korupsi Dana Desa, “Lawan Tersembunyi” Pencapaian Strategi Presiden Membangun Desa
Dana desa (Foto: floresa.co)

Pada Semester I tahun 2021, aparat pemerintah desa merupakan pelaku korupsi terbesar dana desa setelah pemerintahan kota dan pemerintahan kabupaten. Data dari berbagai sumber menyebutkan pada Semester I tahun 2021, aparat pemerintah desa telah menjadi aktor utama pelaku korupsi dana desa, total terdapat 129 kasus korupsi hanya dalam waktu 6 bulan dengan perincian 62 kasus dilakukan aparat pemerintah desa, 60 kasus dilakukan aparatur pemerintah kabupaten dan 17 kasus oleh aparatur pemerintah kota.

Berdasarkan motif dan modus korupsi, proyek fiktif yang paling banyak mendominasi berjumlah 53 (lima tiga) kasus, penggelapan dana desa (41 kasus), penyalahgunaan anggaran (30 kasus) dan penggelembungan anggaran (mark up) nominal proyek (22 kasus).

Beberapa kasus yang mengemuka pada Semester I tahun 2021 diantaranya korupsi yang dilakukan oleh perangkat desa Mojokerto (871 juta), Muarapayang (699 juta), Simeulue (537 juta), Sanggau (400 juta), Muba (413 juta), Klaten (347 juta), Cianjur (362 juta), Batu (338 juta), Batang (246 juta), Pesawaran (202 juta) dan lain-lain.

Kasus korupsi yang menjerat ASN terkait dana desa pada periode Semester-I tahun 2021, sejumlah 162 (seratus enam dua) orang, kepala desa sejumlah 61 (enam satu) orang dan direktur utama dan pegawai BUMD sebanyak 30 (tiga puluh) orang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), peningkatan kasus korupsi dana desa sejalan dengan tingkat kemiskinan desa yang mencapai 12,82% atau 15,26 juta orang per-Maret 2020.

Data Kemenkeu menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah memiliki berbagai masalah dalam mengelola keuangan desa/daerah terutama terkait integritas, kompetensi dan transparansi. Sejak 2004-2021 berdasarkan data Kementerian Keuagan terdapat 127 (seratus dua puluh tujuh) kepala daerah menjadi terpidana kasus korupsi.

Penanganan tindak pidana korupsi merupakan bagian integral dari pelaksanaan revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, kondisi tersebut harus menjadi bagian utama dalam penegakan hukum dan keadilan di tengah masyarakat terutama dalam usaha Pemerintah menangani pandemi melalui berbagai peraturan yang telah ditetapkan untuk mewujudkan rasa keadilan.

Peningkatan kasus korupsi dana desa setiap tahun terjadi dikarenakan kurangnya kompetensi dan integritas perangkat desa dalam mengelola keuangan desa, kondisi tersebut perlu diperkuat dengan meningkatkan partisipasi aktif pengawasan oleh masyarakat dan lembaga terkait pengeloaan keuangan.

Pencegahan korupsi dana desa dapat dilakukan dengan berbagai cara dengan melibatkan banyak pihak dan warga masyarakat desa, diantaranya pembuatan perjanjian oleh masyarakat dan perangkat desa untuk komitmen membangun desa, pembentukan tim pengawas independen yang awasi jalannya pengelolaan dana desa, pembentukan pengawas desa yang berada di bawah Inspektorat Provinsi untuk mendeteksi dini potensi penyalahgunaan dana desa, perlunya regulasi atau kesepakatan mengenai kewajiban partisipasi masyarakat desa dalam mengawasi pembagunan desa, dan sanksi yang tegas pelaku penyalahgunaan dana desa.

Terdapat 2 (dua) tahapan yang berpotensi terjadinya korupsi dana desa yaitu pada tahap perencanaan dan tahap implementasi anggaran.

Pada tahap perencanaan sepatutnya melibatkan seluruh masyarakat dalam berpartisipasi untuk membahas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDes) melalui musyawarah desa (Musdes), namun yang terjadi hanya diikuti beberapa orang terdekat Kepala Desa, dan perangkat desa. Sehingga program RAPBDes yang disusun dan direncanakan, semata-mata keinginan kepala desa yang memegang kendali keuntungan. Sedangkan pada tahap implementasi dilakukan dengan memanfaatkan kolusi dengan pihak ketiga (rekanan) untuk menaikan harga barang dalam laporan, dan menurunkan kualitasnya.

Terkait masalah ini, maka Presiden dapat memerintahkan KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI dan institusi penegak hukum lainnya termasuk Ombudsman Republik Indonesia dan akademisi agar meningkatkan upaya dan narasi pencegahan korupsi sehingga selaras dengan arahan dan program Presiden. (Jelita Chantiqa)

***