Pers yang Sangat Bebas dan Bablas

Pers tidak perlu harus menyerobot lahan buzzer, hanya demi eksistensi di tengah pandemi. Masih banyak cara yang lebih sehat untuk bertahan hidup. Pers dan buzzer hidup dilahan yang berbeda.

Jumat, 12 Februari 2021 | 08:03 WIB
0
350
Pers yang Sangat Bebas dan Bablas
Foto:Maxmonroe.com


"Kehadiran dari para pendengung (buzzer) itu menjadi membahayakan bagi kebebasan pers," ujar Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Arif Zulkifli, kepada detikcom, Selasa (9/2/2021).

Kebebasan Pers seperti apa yang kurang? Justeru pers itu sendiri perlu dikontrol, dikontrol saja pers masih kebablasan, apa lagi kalau tidak dikontrol.

Tidak benar apa yang dikatakan Arif Zulkifli, bahwa para buzzer tidak mengkritik berita yang disiarkan pers. Secara pribadi saya seringkali mengkritik isi pemberitaan pers, terlebih karena antara judul berita dan isi tidak nyambung.

Kebebasan pers tidak akan terancam dengan kehadiran buzzer, selama pers masih menyajikan imformasi yang berimbang. Sekarang, keberpihakan pers terhadap siapa yang ingin dibela sangat kentara.

Tentang hal ini, ada beberapa artikel saya menyorot kinerja pers, antara lain; "Media yang Menggali Kuburnya Sendiri, " dan beberapa artikel lainnya, yang mengkritisi kinerja pers. 

Saya mengamati, betapa sulitnya media bertahan hidup, dan harus ikut berpolitik agar dapur tetap ngebul. Kenapa hal seperti itu tidak menjadi titik perhatian Dewan Pers, kok malah menggubris ancaman buzzer terhadap kebebasan pers?

Kalau pers berada dijalur yang benar, saya rasa dengan sendirinya buzzer pun tidak akan mengusik kinerja pers. Pers harus kembali ke habitatnya, bukan menjadi buzzer bagi yang memiliki kepentingan. Pers harus netral dalam menyajikan berita.

Tidak perlu menutup mata, bahwa pers sendiri juga bekerja layaknya 'buzzer,' menyajikan berita seperti membela pihak yang bayar. Sudah menjadi rahasia umum ada media yang dikontrak bulanan oleh sebuah kekuasaan.

Inilah yang membuat pers tidak lagi berimbang, dan terkesan berat sebelah. Ini yang mestinya diawasi oleh Dewan Pers, bukan malah menyerang keberadaan buzzer. Benahi dulu penyajian dan independensi pers yang sudah kebablasan.

Tidak semua pendukung pemerintah itu buzzer, mereka yang reaktif atas pemberitaan pers, yang cenderung menyudutkan pemerintah, lebih tepat dikatakan simpatisan.

Memang ada buzzer dan influencer yang dibayar pemerintah, tapi tidak bisa di generalisir semua yang menyerang pers, atau pun tokoh publik adalah buzzer, atau buzzerRp.

Kalau pers sendiri tidak bisa melihat persoalan ini secara berimbang, bagaimana mungkin mau menyajikan berita secara berimbang. Jangan salah, pers sendiri punya andil besar terhadap terbelahnya masyarakat, karena penyajian berita yang tidak berimbang.

Baca Juga: Menuding Buzzer, tapi Dirinya Sendiri Buzzer Pula

Selama pers tidak bisa kembali ke 'Khitahnya,' maka buzzer akan terus mendengungkan kebobrokan pers. Jangan anggapan itu sebagai ancaman, jangan diputar-balikkan dengan mengkambing-hitamkan keberadaan buzzer.

Pers tidak perlu harus menyerobot lahan buzzer, hanya demi eksistensi di tengah pandemi. Masih banyak cara-cara yang lebih sehat untuk bertahan hidup. Pers dan buzzer itu hidup dilahan yang berbeda.

Pers tidak perlu layaknya buzzer, dalam kemasan sebagai pers, tapi pola hidupnya layaknya buzzer. Dewan pers jangan tutup mata, kalau ada jurnalis juga menjadi buzzer, yang kontrak pihak yang memiliki kepentingan, untuk menyerang pemerintah.

***