OJK Risma

Kalau tidak, ya harus kita terima: new reality. Penderita akan terus bertambah. Kita bisa menyusul India dan Brazil. Dan memang kelas kita setara dengan dua negara itu. Sama-sama miskin.

Minggu, 12 Juli 2020 | 05:54 WIB
0
319
OJK Risma
OJK Risma (Foto: disway.id)

Syukurlah isu pembubaran OJK reda. Dasar isu itu memang tidak kuat – kecuali sengaja ingin bikin jantung pegawai OJK berdebar-debar. Bahwa Presiden Jokowi sampai marah besar, mungkin karena info-memo yang masuk ke beliau sangat provokatif. 

Semua ahli ekonomi tidak ada yang mendukung pembubaran itu. Baik yang di Zoominar Institut Narasi, maupun yang menghadirkan Mantan Menkeu Chatib Basri dua hari lalu.

Bahkan Chatib memuji Otoritas Jasa Keuangan itu. Yang, katanya, dengan cepat merespons krisis ekonomi akibat pandemi. Yakni dengan relaksasi kredit. Pengusaha bisa menunda pembayaran utang sampai tahun 2021.

Maka isu penggabungan kembali OJK ke dalam Bank Indonesia memang harus diabaikan. Setidaknya sampai tiga tahun ke depan. Terlalu banyak pekerjaan lebih sulit yang harus dihadapi sampai tahun 2023. 

Dalam situasi sulit seperti ini tidak baik kalau kita hanya sibuk berheboh-heboh.

Tapi kan OJK lemah dalam melakukan pengawasan? Sampai timbul mega-skandal Jiwasraya? 

Ternyata OJK punya penjelasan khusus. Yang disampaikan oleh bagian Humas-nya. ”Soal Jiwasraya itu sudah terjadi sejak 2004,” katanya.

Seharusnya, dulu, kasus itu diselesaikan dengan cara penambahan modal. Tapi yang dilakukan adalah meningkatkan penjualan. Termasuk melalui bancassurance.

Yakni produk baru saat itu, penjualan asuransi dikaitkan dengan program bank. Itulah yang telah menjadi bom waktu. Yang baru meledak di tahun 2019.

Sebagian ahli menilai bancassurance itu memang mirip produsen bom waktu. Ia bukan bank dan bukan pula asuransi – alias bukan-bukan.

Yang penting kita lupakan dulu heboh-heboh OJK. Terlalu banyak pekerjaan yang harus dihadapi: apalagi angka penderita Covid-19 terus naik. Rabu kemarin, sehari saja naiknya 1.800 orang. Tertinggi dalam sejarah kita –meski kita mulai terbiasa dengan penambahan angka yang besar itu.

Sampai-sampai wali kota Surabaya, yang selalu menarik perhatian itu, Tri Rismaharini, naik sepeda motor. Dia masuk ke kampung-kampung. Ke gang-gang sempit. Sepeda motornyi hanya bisa berjalan pelan. Penduduk di situ sangat padat.

Lewat pengeras suaranyi, Risma terus menyerukan pentingnya memakai masker.

Mungkin Risma punya teori sendiri. Popularitasnyi yang amat tinggi, disangkanyi bisa membuat seruannyi ditaati.

Itu dia anggap sangat penting.

Lebih penting dari penemuan ilmiah seperti Dokter Andani. Sekali lagi saya malu kepada pembaca DI’s Way. Harus menyebut nama itu lagi.

Saya heran, pun Melinial Nakal seperti Alghozi juga dianggap tidak penting. Tiga hari lamanya ia di Surabaya. Hasilnya: tidak berhasil bertemu beliau.

Apa yang akan terjadi kalau angka Covid-19 itu naik terus?

Anda pun sudah tahu: secara ekonomi akan kian sulit. Kembali ke PSBB? Juga sulit. Masyarakat sudah lelah dengan PSPB yang lalu. Daya tahan masyarakat sudah sangat terbatas. Terutama masyarakat golongan menengah ke bawah. Mereka tidak mungkin tidak keluar rumah: cari penghasilan.

Itu berbeda dengan golongan menengah ke atas: yang tetap bisa makan meski tidak bekerja.

Satu-satunya cara --agar mereka mau tinggal di rumah-- adalah bantuan sosial. Yang nilai dan tanggalnya pasti.

Itu berarti harus menggunakan dana negara. Rakyat miskin harus digaji. Untuk apa? Agar mau tinggal di rumah. Tidak keluyuran yang bisa tertular Covid-19. Atau menularkan.

Mungkin jumlah mereka sampai 40 juta rumah tangga. Kalau satu kepala rumah tangga diberi Rp 1 juta/bulan, berarti Rp 40 triliun sebulan. Katakanlah tiga bulan. Hanya Rp 120 triliun.

Uang itu tidak hilang. Nilai itu akan berputar di roda perekonomian nasional.

Ketika program itu dijalankan, program kesehatan harus juga dijalankan. Orang seperti dokter Andani dan Alghozi harus dimanfaatkan. Atau jangan ia dan ia. Siapa pun yang punya kemampuan seperti mereka.

Dalam tiga bulan, mestinya, Covid-19 terkendali.

Kalau tidak, ya harus kita terima: new reality. Penderita akan terus bertambah. Kita bisa menyusul India dan Brazil. Dan memang kelas kita setara dengan dua negara itu. Sama-sama miskin. Sama-sama berpenduduk besar. Sama-sama tidak punya jaminan sosial. Sama-sama kurang disiplin. 

Kelas kita, sebenarnya, juga sama dengan Vietnam. Yang bisa hebat.

Dahlan Iskan