Kedipan Asabri

Banyak yang berharap Menteri BUMN Erick Thohir mengedipkan mata. Tapi,mata Erick Thohir tidak cukup lebar untuk bisa mengedip --yang sampai bisa membuat uang Jiwasraya kembali.

Minggu, 19 Januari 2020 | 13:38 WIB
0
393
Kedipan Asabri
Benny Tjokro (Foto: Disway.id)

Uang Asabri mungkin lebih bisa diselamatkan. Daripada uang Jiwasraya.

Asabri punya punggung yang kuat. Tidak perlu sampai ada pistol ditodongkan ke kening. Juga tidak perlu sampai bentak-membentak. 

Dengan sedikit kerdipan mata saja seharusnya siapa pun takut.

Apalagi mereka sudah ditahan Kejaksaan Agung: Bentjok dan HaHa itu.

Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat itu.

Mereka itu --khususnya Bentjok-- punya aset yang bisa dilirik. Memang bentuknya bukan uang kontan tapi bisa jadi uang --kapan-kapan.

Saya dengar dua orang itu sudah menandatangani surat pernyataan: sanggup mengatasi dana yang hilang di Asabri.

Meskipun sebenarnya bisa saja keduanya merasa tidak bersalah.

Tapi mereka tentu tidak mau kerdipan itu meningkat menjadi pelototan, atau yang lebih wow dari itu.

Transaksi yang mereka lakukan dengan asuransi milik TNI-Polri itu bisa saja memang legal. Lewat mekanisme yang terbuka pula: pasar modal.

Tapi ada korban di situ. Yakni Asabri. Yang menanggung masa depan dan hari tua semua anggota TNI dan Polri. Yang gaji mereka dipotong tiap bulan. Sebesar 4,75 persen untuk cadangan pensiun dan 3,25 persen untuk tunjangan hari tua.

Bisa saja direksi Asabri juga mengaku tidak bersalah --secara hukum.

Direksi Asabri memang perlu memutar uang --untuk memperoleh bunga yang lebih tinggi.

Untuk itu mereka menunjuk lembaga profesional untuk melaksanakan pemutaran uang tersebut.

Direksi tidak hanya menunjuk satu lembaga. Melainkan sampai 17 perusahaan.

Mereka itu adalah perusahaan manajemen investasi. Yang pekerjaannya menjalankan uang orang lain --secara profesional.

Mereka ini seharusnya bekerja untuk Asabri --yang mengontraknya. Tapi kok jadinya Asabri yang justru kehilangan 10 triliun rupiah.

Maka perlu diteliti siapa mereka itu. Meski resminya independent tapi mereka itu bisa dibaca: terkait dengan siapa.

Nah, dari 17 lembaga manajemen investasi itu ternyata hanya empat yang tidak terkait dengan Bentjok dan HaHa.

Sebagian besar lainnya ternyata terafiliasi dengan kedua nama konglomerat itu.

Di Jiwasraya lebih parah lagi. Dari 15 perusahaan manajemen investasi hanya satu yang tidak terkait dengan Bentjok dan HaHa.

Mereka memang ahli dalam goreng-menggoreng saham. Yang di pasar modal hal itu legal --sepanjang tidak ada yang dilanggar.

Salah satu hobi mereka memang adalah ini: mencari lubang --di mana saja kelemahan peraturan di pasar modal.

Dan mereka bisa menemukan lubang itu --berarti mereka memang jago dalam mencari lubang yang empuk.

Mereka pun tahu: pasti ada pihak yang hangus dalam proses penggorengan itu.

Itu pun salah yang hangus itu sendiri --mengapa masuk wajan penggorengan.

Hanya kali ini yang hangus itu Asabri --yang punya kemampuan mengedipkan mata.

Maka mau tidak mau bubur itu harus bisa dijadikan nasi lagi.

Mungkin uang Asabri itu sudah menjadi tanah --menjadi aset perusahaan Bentjok atau HaHa.

Saya dengar mereka takut juga dengan kerdipan itu. Mereka pun sudah menyanggupi untuk menyelesaikannya.

Salah satunya dengan cara menyerahkan tanah di Serpong --tepatnya di Maja.

Kali ini Bentjok dan HaHa benar-benar kena batunya.

Kalau itu yang terjadi, memang, Asabri terselamatkan. Memang belum akan segera mendapat uang. Tapi setidaknya tidak jadi hangus.

Apalagi kalau negonya bisa ketat --kalau perlu tidak cukup pakai kedipan.

Misalnya saja Asabri telah kehilangan Rp 10 triliun --tepatnya saya tidak tahu. Lalu Bentjok menyerahkan tanah senilai Rp 10 triliun.

Kelihatannya beres.

Pertanyaannya: Rp 10 triliun itu setara dengan berapa meter persegi?

Berarti berapa harga tanah permeter yang ia pasang?

Kalau harga tanah itu menggunakan harga pasar masa depan berarti Bentjok masih sangat untung.

Kalau harga tanah itu didasarkan pada harga pasar sekarang berarti Bentjok juga masih untung.

Berarti sama dengan Asabri telah membantunya menjualkan tanahnya.

Dalam jumlah besar.

Sekaligus pula laku.

Asabri mestinya berhak mendapat komisi marketing yang besar.

Bentjok dan HaHa benar-benar sial sekali ini.

Padahal sudah dua kali Bentjok melanggar. Tapi selalu lolos. Ia memang jago membuat skenario bisnis di pasar modal (Lihat DI's Way:Nasib Benny).

Maka anggota TNI dan Polri memang tidak perlu khawatir. Tinggal tanah itu nanti akan diapakan. Dijual? Dikerjasama kan? Ditabung?

Itu tantangan sekaligus peluang --peluang untuk ngobyek juga.

Anggota TNI dan Polri hanya perlu ikut memperbanyak doa. Setiap kali gaji mereka dipotong setiap itu pula harus ditambahkan doa.

Sebaliknya Jiwasraya.

Yang tidak punya tulang punggung yang bisa mengedipkan mata.

Secara hukum sebenarnya salah nasabah sendiri --mengapa mau membeli produk yang diterbitkan Jiwasraya.

Banyak yang berharap Menteri BUMN Erick Thohir juga mengedipkan mata.

Tapi, rasanya, mata Erick Thohir tidak cukup lebar untuk bisa mengedip --yang sampai bisa membuat uang Jiwasraya kembali.

Sebenarnya saya ingin menulis mengapa salah nasabah Jiwasraya sendiri. Tapi novelis Tere Liye sudah menuliskannya secara gamblang.

Entah di mana dia menulis --saya hanya mendapatkan kiriman dari teman.

Bentjok dan HaHa mungkin memang akan kehilangan banyak aset. Kali ini. Untuk menembus nasib jeleknya.

Tapi itu lebih baik --terutama kalau Bentjok dan HaHa bisa tidak masuk penjara.

Toh begitu bisa bebas ia bisa mencari aset yang lain lagi --dengan cepat pula.

Wajannya masih ada. Dapurnya masih ada. Dan lubang-lubangnya mungkin juga masih ada.

Dahlan Iskan

***