Kelompok-kelompok khilafah ini memang sengaja membangun basis di lokasi yang masyarakatnya didominasi non-muslim.
Tetiba ceramah Somad merangsek ruang sosial kita. Pembicaraan soal salib yang menyebalkan itu, bergaung dimana-mana. Resikonya ada gesekan bernuansa agama.
Belum lagi soal Somad reda, di Polsek Wonokromo seorang lonewolf menyerang polisi dengan parang. Lelaki penjual macaroni ini kerasukan jin ISIS. Ia jadi gahar. Polisi cepat melumpuhkannya.
Tetiba ada gerakan aneh menyambut HUT Kemerdekaan RI. Mahasiswa-mahasiswa Papua di berbagai kota di Jawa menggelar demonstrasi. Di Surabaya, asrama mahasiswa Papua diserang FPI. Entah siapa yang membakar bendera merah putih di sana.
Mahasiswa Papua di Surabaya sendiri tidak merasa melakukan pembakaran bendera.
Video seorang aparat melecehkan mahasiswa Papua juga beredar. Ikut memercikkan api. Suasana itu disambut oleh gerakan di Manokwari. Masyarakat menyerang DPRD Manokwari, membakar sebuah gedung kosong bekas kantor parlemen.
Hari ini kabarnya masyarakat Papua menggelar demo di Jayapura. Jumlahnya ribuan. Di Sorong, kerusuhan kecil meledak di Bandara.
Bisa dikatakan, seluruh Papua sedang panas.
Ada dua dasar bergeraknya masyarakat Papua. Pertama mereka memang digerakkan oleh semangat sparatisme Papua yang sejak dulu masih menjadi duri dalam daging. Ketidakadilan Soeharto yang mengeruk habis harta bumi Papua, menjadikan mereka antipati pada pemerintahan di Jawa.
Sebelum kejadian ini, di Papua sempat terjadi penembakan aparat. Seorang polisi gugur.
Kedua, kemarahan masyarakat Papua juga dipicu pelecehan Somad terhadap simbol salib. Kita tahu, agama kristen paling banyak dianut masyarakat disana. Ketika Somad melecehkan simbol-simbol agama, isu itu ditangkap rakyat Papua, diikat oleh prasangka rasial Jawa-Non Jawa, yang telah lama ada di benak publik disana. Maka lengkaplah semuanya untuk meledakkan suasana.
Tapi harus diingat, Papua adalah wilayah yang pertumbuhan pengikut HTI paling besar. Pada acara pertemuan khilafah dunia beberapa tahun lalu, utusan dari Indonesia yang hadir adalah anggota HTI dari Papua. Kelompok-kelompok khilafah ini memang sengaja membangun basis di lokasi yang masyarakatnya didominasi non-muslim.
Ingat kan, ketika kampanye Prabowo kemarin, justru bendera HTI berkibar di Manado. Wilayah yang juga mayoritas penduduknya beragama kristen. Lihat juga di Sulteng, HTI mengakar kuat disana. Kita juga ingat ketika seorang bigot di Palu menggerek bendera HTI pada tiang bendera DPRD Palu.
Kenapa HTI begitu memprioritaskan membangun basis di wilayah non-muslim? Begini. Konflik akan terjadi apabila ada dua kekuatan seimbang. Jika HTI kuat di Jabar, peluang terjadi gesekan keras sangat kecil. Sebab wilayah Jabar mayoritas muslim.
Lain halnya jika HTI punya gerombolan yang signifikan di Papua atau Manado. Pasti pertentangan masyarakat akan lebih keras. Isu konflik agama akan digoreng habis-habisan. Sentimen keimanan akan dijadikan bahan baku untuk membakar Indonesia.
Kita masih ingat kerusuhan Ambon dan Poso yang memilukan itu.
Kejadian-kejadian ini bukan hal terpisah. Bila kita jeli membacanya, semua ini ada dalam skenario besar untuk melumpuhkan bangsa ini.
Papua sejak lama memang ditinggalkan oleh pemerintahan di Jawa. Perhatian pada bumi paling Timur Indonesia ini memang paling minimal. Karena itu, Presiden Jokowi berusaha sekuat tenaga untuk membangun Papua. Ia ingin menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jokowi seperti ini membayar hutang pemerimtah sebelumnya kepada rakyat Papua. Perhatiannya pada Papua melebihi wilayah lainnya.
Tapi efek pembangunan butuh waktu. Infrastruktur dasar yang dengan keras telah dibangun Jokowi butuh jarak lama agar masyarakat bisa merasakan hasilnya. Sementara kekecewaan masyarakat Papua pada ketidakadilan telah tertanam sejak lama. Apalagi ditambah dengan ketersinggungan ketika simbol agamanya dilecehkan.
Ada banyak kepentingan yang mencoba mengeruk keuntungan dari situasi ini. Konflik horisontal biar bagaimanapun akan melemahkan negara. Termasuk melemahkan posisi Presiden.
Apalagi tanah Papua yang kaya dengan mineral. Pasti jadi incaran berbagai kepentingan dunia untuk memguasainya.
Aneh kan? Papua yang saat ini begitu dimanjakan Jokowi justru meledak. Ini adalah usaha mendelegitimasi semua usaha Presiden untuk memberikan kemakmuran pada rakyat Papua. Ini juga usaha serius melemahkan Indonesia.
Ada teori tentang hubungan negara dan rakyat. Jika negara kuat, rakyat lemah. Yang terjadi adalah tirani.
Jika rakyat kuat, negara lemah, yang terjadi adalah anarki.
Jika negara lemah, rakyatnya juga lemah, yang terjadi adalah intervensi asing. Saya melihat konflik-konflik ini sengaja disulut untuk memudahkan kekuatan asing masuk. Entah itu kekuatan kapitalisme dunia. Atau kekuatan ideologi yang diimpor dari Timur Tengah.
Saat ini demokrasi di Indonesia telah memberikan legitimasi kuat pada negara dan pengelolanya. Sekaligus menandakan bargaining rakyat yang juga kuat menentukan jalannya politik di Indonesia. Idealnya memang demikian. Dalam suasana itu, kita tinggal memastikan bahwa hukum harus menjadi panglima.
Bisa dikatakan, saat ini Indonesia sedang memasuki tahap penting perkembangannya. Jika kita berhasil melewatinya, kita akan mampu berdiri lebih kokoh di tengah bangsa-babgsa di dunia. Jika kita gagal melalui fase ini, bangsa besar ini hanya akan tinggal puing-puing.
Ingatlah satu hal. Sebuah isu atau kejadian besar bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Di belakangnya ada serentetan kepentingan yang menyertainya. Bacalah semua situasi ini dengan kepala yang dingin.
"Kamu lagi ngapain Kum?"
"Merendam kepala, mas. Biar dingin..."
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews