Perbedaan dan Persamaan Transisi Periode Ke-2 antara SBY dan Jokowi

Terlalu banyak domba yang minta dikasihani, terlalu banyak serigala yang siap menerkam. Lalu apakah ia akan mampu bertahan?

Kamis, 12 September 2019 | 19:34 WIB
0
552
Perbedaan dan Persamaan Transisi Periode Ke-2 antara SBY dan Jokowi
Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono (Foto: Detik.com)

Saya jujur hingga detik ini masih menganggap bahwa 10 tahun NKRI di bawah SBY adalah seburuk-buruknya masa pemerintahan Presidential di Indonesia. Apakah pada masa sebelumnya Indonesia tidak pernah mengalami era yang lebih buruk? Tentu saja pernah, sangat buruk malah!

Setiap transisi dalam sejarah Indonesia adalah periode terburuk. Apakah dari masa koloni Belanda ke Jepang, yang justru makin buruk saat transisi ke periode kemerdekaan. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang bagi saya, bukanlah "tinta emas", ia tetaplah suatu sejarah yang dipaksakan terjadi dengan sangat.

Mungkin beda dengan orang lain, saya menganggap akibat "pemaksaan" tersebut dendam sejarah seolah tak berkesudahan sampai hari ini. Dendam yang dianak-turunkan dalam berbagai bentuknya, yang menyebabkan negara ini tak pernah betul-betul bisa mandiri dan jadi dirinya sendiri.

Beberapa waktu yang lalu, di Negeri Belanda ditemukan realita bahwa satu-satunya Tritunggal Pendiri Bangsa, ternyata hanya Hatta dan Sjahrir yang sudah dijadikan nama jalan di sana. Soekarno bahkan diabaikan, kalah dibanding Tan Malaka yang jauh lebih dihormati di negeri itu.

Apa sebab? Yaitu tadi! Soekarno tetap saja dianggap sebagai orang yang selalu memaksakan kehendak, bersikap terlalu keras terhadap Negeri Belanda. Ia dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap "diskontinyu", ketidaknyambungan antara masa pra dan pasca kemerdekaan. Belanda benar-benar ingin dihapus dalam sejarah bangsa ini! Menghapus masa lalu seolah jadi trade-mark buruk negeri ini...

Tak heran, Pasca Orde Lama, Soekarno menemukan nasibnya sama dengan pemerintah kolonial Belanda yang dihinakan sedemikian rupa oleh rejim Orde Baru. Dan nasib yang sama kemudian juga terjadi pada era-era sesudahnya, di mana tak pernah ada "ketulusan dan kelapangan dada" saat terjadi transisi antar pemerintahan.

Soeharto dengan Orde Baru-nya mengalami takdir yang sama tragisnya. Beda proses, beda dosa, tapi bernasib sama: dihina-dinakan! Karena itu, tak aneh juga jika setelah era Reformasi sesungguhnya situasinya tak jauh beda.

Habibie memang cuma "selingan waktu", tapi orang akan tetap mengenangnya bersalah sebagai penyebab lepasnya Timor Timur daripada telah membebaskan "beban" negara.

Pun demikian Gus Dur yang dinaikkan dan diturunkan oleh kongsi jahat yang sama, yang kemudian menaikkan Megawati hanya sekedar pengisi kekosongan jabatan!

Nah, barulah setelah itu muncul harapan baru pada sosok SBY yang sesungguhnya juga tak bagus-bagus amat. Ia hanya seorang "playing victims" yang mampu memanfaatkan kesempatan dengan dana berlimpah dari Amerika. Suatu rejim "Orde Baru Gaya Baru" yang super pragmatis. Apa-apa boleh, semua diakomodasi. Di tengah sandiwara semua ditangani, tapi juga semua dibiarkan. Semua kontradiksi dan anomali terjadi.

Pada era 10 tahun inilah, KPK bekerja dengan prestasi paling spektakuler, tetapi sekaligus korupsi tumbuh subur tak mengenal unsur. Radikalisme dan politisasi agama, merasuk tanpa malu. Warisan tak termaafkan, yang entah bisa disembuhkan atau tidak. Semua itu dimungkinkan karena dua hal: berkah pertumbuhan ekonomi akibat tambang batubara dan perkebunan sawit. Semuanya dibolehkan agar ia menjadi satu-satunya presiden yang bisa genap berkuasa tanpa pernah bisa dijatuhkan!

Kemuakan rakyat pada periode kedua SBY, barangkali dibayar dengan berbagai cara untuk "menyenangkan rakyat" entah itu dengan subsidi BBM, bantuan tunai, atau banyak hal bersifat "fasilitas" yang sejatinya adalah hanya untuk membeli waktu. Sialnya semuanya dibiayai dengan hutang luar negeri.

Dan terbukti, ketika ia mencapai garis finish, SBY, Demokrat, dan keluarganya adalah sesuatu yang ingin segera dihapus. Suara partainya merosot, popularitas keluarga ini jatuh, dan sialnya ia tetap merasa paling hebat dan berjasa.

Dalam masa keterpurukan dan kekacauan sistem kenegaraan itulah Jokowi hadir juga dengan anomali situasi.

Dijunjung tinggi oleh harapan rakyat, tapi direndahkan oleh partai pengusungnya sendiri. Dianggap satrio piningit oleh rakyat yang putus asa, tapi hanya dianggap sekedar "petugas partai" oleh emaknya sendiri.

Tapi dia jalan terus, dengan berbagai kontroversi dan tekanannya. Satu persatu masalah didudukkan lalu diselesaikan. Hingga pada Pilpres lalu, nyaris suatu kemustahilan bila ia harus kalah.

Lalu apa persamaan dan perbedaan antara transisi periode kedua antara SBY dan Jokowi. Persamaannya, tentu saja keduanya sudah menang sebelum bertanding. Itu saja! Perbedaannya banyak: memasuki periode kedua SBY, sudah terlihat tanda-tanda melesunya kondisi ekonomi dunia. Harga batubara dan sawit semakin turun. Bahkan dapat dianggap akhirnya jatuh.

Permasalahannya, SBY dianggap gagal memanfaatkan momentum tingginya harga kedua komoditi tersebut untuk membangun infrastruktur perekonomian yang baik. Yang terjadi justru sebalikya, banyak megaproyek mangkrak. Korupsi dan radikalisme merajelala.

Nah, pada sisi lain selama 5 tahun Jokowi berkuasa, situasi perekonomian dunia tak kunjung membaik. Bila tidak dapat dikatakan semakin memburuk. Perang dagang China dan AS, tak ada tanda-tanda akan berakhir. Sementara tuntutan di dalam negeri justru semakin banyak.

Memasuki periode kedua, justru Papua yang susah payah dibangun justru muncul gejolak serius. Bila dulu para pemberontak cuma bergerilya di hutan terpencil, sekarang kerusuhan nyata di tengah kota.

Radikalisme bukan saja mulai tersebar merata di nyaris semua lembaga. Jangankan di lembaga tinggi, namun justru di banyak lebaga independen negara. Berbagai Komisi-komisi yangsesungguhnya ad hoc itu sudah terlalu jauh menyimpang dari semangat awal didirikan.

KPK yang diagungkan sebagai pemberantas korupsi, justru menjadi "keleompok kepentingan" yang bisa melindungi seseorang, namun sekaligus menjatuhkan kelompok yang tak disukai.

KPAI lebih norak lagi, justru jadi pemain silat lidah dan perpanjangan tangan anyak kepentingan yang ujung-ujungnya persaingan bisnis. Kasus PB Djarum suka tidak suka beraroma tengik seperti itu!

Lalu KPU, tak beda jauh! Kalau saja bukan Jokowi sebagai petahana, mungkin ia sudah melenggang lewat jauh hari. Kecurangan pihak penantang yang kronis justru diputarbalikkan, dituduhkan sebaliknya sebagai justru yang diangga sistemtis, masif dan terstruktur oleh pihak petahana.

Hanya di negeri ini maling boleh berteriak sekeras-kerasnya menuduh lawannya sebagai maling. Dalam situasi sebut saja satu lembaga dan komisi negara yang waras, tra-ada!

Di tengah kegawat-daruratan itulah, Jokowi akan memasuki periode kedua jabatannya. Nasibnya dipastikan tak akan banyak berubah. Ia akan terus dinyinyiri, karena jangankan menyelesaikan masalah yang ada. Ia sedang bermimpi besar memindahkan ibukota, belum lagi akan membangun Istana negara baru di Papua. Ia dianggap mendayung dengan tongkat bambu, di tengah arung jeram deras yang didalamnya banyak ikan piranha!

Di pundak Jokowi itu tersandar terlalu banyak harapan. Ria Irawan sakit saja nuntut perhatian untuk ditengok. Habieb Rizieq gak bisa pulang terus menyalahkan dirinya, sambil berharap dibelikan tiket. KPK yang bobrok dan nyaris bangkrut tiba-tiba minta bantuan, walau dimana-mana ia mendaku lembaga independen dan superbody.

Semua orang yang gelisah mengadu pada Jokowi, sambil (mungkin) menyiapkan sangkur di balik punggungnya sebagai Brutus. Terlalu banyak domba yang minta dikasihani, terlalu banyak serigala yang siap menerkam. Lalu apakah ia akan mampu bertahan?

Bagi saya kalau SBY yang "super-brengsek" saja bisa, masak Jokowi tidak!

***