Bisnis mesin selain punya sisi bisnis, tentu juga punya sisi politik: bagaimana Amerika dan Rusia terus berupaya mempertahankan dan memperluas "sphere of influence" mereka di dunia.
Hanya selang seminggu sejak mendaratnya 4 pesawat tempur Rusia TU-95MS dan II-76 di Biak, Papua, munculah 4 pesawat Amerika F-16 Fighting Falcon mendarat di Lanud Iswahjudi, Jatim.
Heboh?
Tak perlu heboh dan berspekulasi terlalu jauh. Ini hal biasa saja dalam praktik bisnis jual-beli persenjataan militer antar negara.
Tapi ini juga sekaligus bagian dari upaya mempertahankan atau memperluas "sphere of influence" yang dilakukan AS dan Rusia, dua negara adidaya (dulu) sejak akhir Perang Dunia (PD)-2.
Hal ini juga hanyalah satu contoh nyata dari fenomena lama: "Military-Industrial Complex" (MIC).
Ketika istilah ini --MIC-- pertama kali diperkenalkan Presiden Dwight Eisenhower pada pidato masa akhir jabatannya di Gedung Putih, 17 Januari 1961, sebenarnya dia tengah membayangkan terwujudnya suatu "Pax Americana", sebagaimana Julius Caesar atau Kaisar Agustus membayangkan suatu Pax Romana!
Persaingan antar AS dan Rusia (dulu USSR) dalam Perang Dingin pasca PD-2 telah menyeret banyak negara --termasuk negara-negara baru pascakolonial-- terlibat dalam konflik bahkan perang terbuka di berbagai belahan dunia.
Dan perang modern membutuhkan teknologi serta persenjataan modern. Biayanya? Jutaan bahkan milyar dollar !
Pada titik inilah fenomena MIC muncul. Di bawah naungan politik negara, industri-industri yang menghasilkan aneka mesin perang di AS meraup keuntungan fantastis sekaligus sebagai penopang keuangan negara.
Kalau tidak ada perang? Ciptakanlah konflik, perang baru segera menyusul! Maka roda industri mesin perang terus berputar.
Timur Tengah sejak era 1960-an (bahkan hingga kini), Afrika, Amerika Latin, Asia Selatan (konflik India-Pakistan; konflik Afganistan), dan Asia Tenggara, hanyalah sebagian dari wilayah-wilayah di mana rekayasa konflik berujung perang.
Pembelian mesin perang paling dramatis mungkin di Timur Tengah. Konflik abadi negara-negara Arab dengan Israel telah menyedot milyaran dollar. Demikian pula dengan konflik Korsel-Korut, konflik Cina-Taiwan yang melariskan penjualan aneka mesin perang, mulai dari helikopter Black Hawk, pesawat F-16, hingga missil Patriot.
Di Asia Tenggara pasca Perang Vietnam dihembuskanlah isu "teori efek domino." Maka semua negara ASEAN ber-lomba-lomba memperbesar anggaran militer, membuat senyum para penasehat militer di Gedung Putih semakin melebar.
Masih ingat baru-baru ini ketika Trump berang dan menuduh Qatar membiayai aksi-aksi teroris? Dan menyebabkan hubungan Qatar - Saudi Arabia memanas? Pada saat yang sama diam-diam Amerika dan Qatar menandatangani kontrak penjualan senjata senilai Rp160 Trilyun!
Konflik, kekerasan, dan perang adalah bagian dari komoditas bisnis yang amat berharga dalam suatu pasar bernama "market of violence"! Dan sekaligus bagian dari konspirasi internasional yang masih berlangsung hingga kini.
Kalau anda penggemar bioskop, nontonlah film "Lord of War" yang dibintangi Nicolas Cage, pemeran tokoh Yuri Orlov, sang pedagang senjata!
Bisnis mesin perang sebagai bagian dari fenomena MIC selain punya sisi bisnis, tentu juga punya sisi politik: bagaimana Amerika dan Rusia terus berupaya mempertahankan dan memperluas "sphere of influence" mereka di dunia.
PD-2 sudah lama berlalu, Perang Dingin yang didominasi Amerika dan Uni Soviet juga sudah berakhir sejak akhir 1990-an.
Tetapi konsep-konsep lama ala Hans Morgenthau seperti "balance of power" dan "sphere of influence" yang dulu populer pasca PD-2, seakan kembali relevan saat ini, ketika Trump maupun Putin merasa diri mereka sebagai penjelmaan Julius Caesar.
Tentu harus disadari juga kini ada pesaing-pesaing baru. Telah muncul sejumlah negara sebagai middle-range power dan telah mengubah struktur dunia yang tadinya bipolar menjadi multipolar.
Pusing?
Nontonlah film "LORD of WAR"!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews