Katakanlah dengan Meme, Genre Baru Komunikasi Politik

Era komunikasi politik sudah berubah. Meme menjadi sejenis “Makanan Cepat Saji,” yang murah, cepat, tapi laris, dalam politik era digital.

Sabtu, 21 September 2019 | 10:07 WIB
0
472
Katakanlah dengan Meme, Genre Baru Komunikasi Politik
Hillary Clinton (Foto: independent.co.uk)

Media Online Independent, 12 September 2016, menurunkan berita: “Meme, Bukan Kesehatannya, Yang Membuat Hillary Potensial Tidak Terpilih Sebagai Presiden Amerika Serikat (AS)”. Tulisan itu dipublikasi dua bulan sebelum hari pencoblosan pemilihan presiden AS. Di era itu, Hillary Clinton bahkan sedang unggul di aneka survei yang kredibel. 

Independent memberikan argumen. Era komunikasi politik sudah berubah. Meme menjadi sejenis “Makanan Cepat Saji,” yang murah, cepat, tapi laris, dalam politik era digital. Politisi yang mengabaikan peran meme akan terkena resikonya sendiri. 

Banyak contoh meme soal Hillary yang populer. Sebagian besar dipublikasi oleh tim pendukung Donald Trump. Pertama, meme yang langsung menyerang kemampuannya menjadi presiden akibat pernah sakit pneumonia. 

Saat itu Hillary juga mulai diserang dengan manuvernya soal email yang dianggap sebagai potensial pelanggaran berat. Ketika ia menjabat menteri luar negeri, ia menuliskan sebagian pesan resmi tidak dari server resmi, tapi servernya pribadi. Itu yang membuat jejak email-nya tak bisa dilacak karena sebagai email di server pribadi, Hillary menghapusnya. 

Dalam meme itu, terpampang wajah Hillary yang agak pucat (dikesankan sakit). Lalu teks besar berbunyi: “Tidakkah Kalian Mengerti. Problem Kesehatan Saya yang Mungkin Menjadi Penyebab Saya Tak Ingat Tindakan Kriminal Saya” (terjemahan bebas). 

Ada pula meme yang dibuat untuk mengurangi pesona Hillary di kalangan pemilih wanita. Di segmen pemilih ini Hillary awalnya unggul. Tak tanggung-tanggung, meme itu menggunakan foto suaminya: Bill Clinton. 

Judul memenya: “The Happy Bill” (Bill Clinton yang Berbahagia). Meme itu menggunakan foto Bill Clinton yang tersenyum lepas dan begitu riang. Teks besarnya tertulis: “Baru menyadari Jika Hillary Menang, Saya Bisa Mempekerjakan Kembali Seorang Intern (pemagang)”. 

Seketika memori publik teringat kasus Monica Lewinsky, seorang intern, pemagang, yang diisukan menjadi kekasih gelap Bill Clinton di Istana. Kasus ini membuat Bill Clinton hampir saja dipecat sebagai presiden. Itu yang membuat Bill Clinton di akhir jabatannya sangat tidak populer di kalangan pemilih wanita. 

Satu pernyataan populer Bill Clinton ketika isu itu diangkat, ia mengucapkan: “Saya tak memiliki hubungan sex dengan wanita itu: “I Did Not Have Sexual Relationship With That Woman”. Bill menyatakannya setelah media ramai memberitakan ditemukan sperma Bill Clinton di pakaian Monica Lewinsky. 

Pernyataan terkenal Bill Clinton itu diplesetkan dalam kasus Hillary dengan kasus kontroversi email-nya. Kini foto Hillary yang dipasang di meme. Teksnya berbunyi persis seperti pernyataan Bill Clinton namun diubah untuk kasus email: “I Didn’t Have Textual Relation With That Server.” 

**

Pemilu Presiden Amerika Serikat di tahun 2016 dicatat sebagai pemilu yang paling banyak diwarnai oleh beredarnya meme. Washington Post membuat tulisan berjudul: “The Most Memed Election in US History” : Pemilihan Umum yang paling banyak di-meme-kan dalam Sejarah Amerika Serikat. 

European Journal of American Studies juga mempublikasi makalah riset berjudul: “Meme-ing Electoral Participation”. Makalah ini penuh dengan catatan soal partisipasi publik luas dalam pemilu presiden Amerika Serikat yang dipotret dalam meme. 

Tak hanya kubu Hillary Clinton yang diserang meme. Donald Trump pun menjadi obyek lucu-lucuan dan dikritik dalam bentuk satire ataupun parodi. Trump dikenal militansinya membela warga utama Amerika Serikat: Kulit Putih dan Protestan. Ia dianggap rasis terhadap pendatang, terutama orang Mexico, Hispanic dan Muslim. 

Sebagai warga yang punya hak pilih, kaum minoritas etnis pendatang itu dapat digerakkan melawan Trump. Dibuatlah aneka meme. 

Isu yang dikampanyekan Trump untuk mengambil hati pemilih kulit putih yang tak suka imigran adalah membangun dinding besar pembatas. Dalam meme itu, digambarkan wajah Trump yang nampak melucu tapi terkesan pandir. Lalu di belakangnya gambar tembok besar Cina. Teks berbunyi: Cina Membangun Tembok. Dan Cina hampir tak punya imigran Mexico. 

Ada pula meme soal muslim. Foto Trump dengan pakaian jas dan berwibawa. Teksnya berbunyi: “Kebebasan dan Keadilan untuk Semua. Kecuali Jika Anda Muslim”. 

-**

Mengapa meme kini dianggap sebagai “lingua franca” dalam kampanye modern? Tiga hal utama menjadi penyebab. 

Pertama, ibu kandung dari meme politik itu adalah datangnya era digital. Era ini sudah mengubah pola komunikasi. Di era sebelumnya, era televisi, komunikasi politik berjalan searah. Pemilih dalam jumlah banyak hanya menjadi obyek untuk dipengaruhi. Subyeknya adalah program televisi (TV) yang dikendalikan segelintir editor: berita, talk show atau iklan. 

Dalam program TV, publik luas tak bisa secara langsung mengubah isi kampanye lewat TV itu. Paling jauh publik menjadi penonton aktif yang kemudian mendiskusikan atau menyebarkan apa yang ia tonton di TV. 

Media sosial mengubah pola komunikasi itu. Publik luas kini menjadi pelaku. Komunikasi tak lagi searah, tapi dua arah. Dengan handphone di tangan, siapa pun warga negara terhubung menjadi subyek kampanye. Apapun yang ia tulis dan publikasi, jika tepat isinya, segera menjadi viral dan mempengaruhi lingkungan. 

Inilah era yang menjadi ibu kandung meme: era digital. Era baru melahirkan genre komunikasi yang juga baru. Namun riset juga menunjukkan semata teks saja kurang diminati. Yang paling disukai adalah gambar dengan komentar. Meme adalah produk utama. 

Kedua, corak marketing juga sudah berubah. Tipe marketing satu produk untuk semua populasi tak lagi popular dan tak efisien. Iklan mobil mewah di televisi misalnya. Ketika iklan itu muncul di acara televisi, mungkin yang menonton lebih banyak populasi yang tak perlu mobil itu. 

Corak marketing di zaman ini adalah targeting dan personalisasi. Segmen pemilih yang dituju tak perlu massal, tapi populasi yang sesuai. Pesan yang disampaikan tak lagi tunggal, tapi bisa dikemas berbeda-beda sesuai dengan pribadi yang dituju. 

Meme menyediakan kebutuhan marketing corak baru. Setiap individu dan pelaku dapat membagikan meme apapun yang ia sukai. Namun ia dapat menambahkan komentar yang sesuai dengan hasratnya. 

Satu meme ia terima dari katakanlah facebook. Ia dapat share (membagikan) meme itu dengan komentar apapun yang menurutnya lebih sesuai. Segera meme itu ia posting kembali, dan beredar di lingkungan pertemanan yang sesuai. Penerima meme yang sudah dikomentari kurang lebih memiliki selera yang sama. 

Ketiga, datangnya era “Do it Your Self.” Dulu di era ketika agama menjadi terlalu ritualistik, lahir genre pemahaman agama baru yang disebut Teologi Pembebasan. Kini di era teknologi yang semakin canggih, lahir teknologi baru yang disebut: Teknologi Pembebasan. 

Inilah era teknologi yang memperkuat individu. Manusia biasa saja, yang awalnya bukan selebriti dunia, bukan pejabat pemerintahan, dengan handphone dan aneka perangkat teknologi pembebasan dapat mempunyai pengaruh luas. 

TIME Magazine di tahun 2015 memilih 30 tokoh yang paling berpengaruh di dunia internet saat itu. Jauh lebih banyak terpilih tokoh yang awalnya tak dikenal dunia. Di antara nama ‘beken’ seperti Barack Obama dan Presiden Argentina Christina, terdapat banyak individu tak dikenal. Tapi sentuhan karyanya di internet membuat karyanya berpengaruh. Saya (Denny JA) dipilih juga oleh Majalah TIME dalam daftar 30 tokoh berpengaruh di dunia internet tahun 2015. 

Membuat Meme menjadi hal yang sangat mudah. Tersedia banyak aplikasi untuk mengedit gambar dan teks. Kultur “Do it Yourself,” dapat diterapkan untuk membuat Meme. Tak perlu tangan seorang ahli grafis untuk membuat gambar. Tak perlu hati seorang penyair untuk membuat teksnya. 

Meme yang popular dan berpengaruh dalam pemilu presiden AS adalah meme dengan gambar dan teks yang simpel saja. Meme bukan karya seni. Ibarat menu makanan, meme adalah fast food: makanan cepat saji. 

Yang penting ia cepat terhidang, merespon isu aktual secara cepat agar tak kehilangan timing. Di era berita berjalan 24 jam dan ter-update setiap detik, timing menjadi kunci. 

Dalam waktu 5-10 menit, meme sudah bisa diproduksi, tanpa biaya, oleh setiap individu. Yang diperlukan hanyalah, tapi ini justru kuncinya: framing isu. Yaitu ketajaman untuk memframing berita. 

**

Bagaimana dengan meme politik dalam pilpres (pemilihan presiden) 2019 di Indonesia? 

Di akhir tahun 2018, dalam pertemuan terbatas para konsultan politik dan lembaga survei di lingkungan Lingkaran Survei Indonesia Denny JA (LSI Denny JA), saya mendapat kejutan. Saya diberikan plakat. Ketika dibuka, isi plakat tertulis: Denny JA, Bapak Meme Indonesia. Ketika saya tunjukkan plakat itu kepada peserta, semua tertawa dan tepuk tangan. 

Dalam diskusi dan debat di aneka grup WA/whatapps, facebook, twitter dan instagram, semakin banyak pula pihak yang mengomentari saya (Denny JA) sebagai pembuat meme politik, baik komentar yang positif ataupun negatif yang menghujat. 

Sejak kampanye pilpres dimulai, bulan September 2018, hampir setiap hari saya memproduksi meme. Kadang sehari dapat dipublikasi tiga meme. Saya memang rutin mempublikasi hasil survei, karena LSI Denny JA membuat survei baru setiap bulan dan konferensi pers hasil survei sebulan dua kali. Saya rutin pula membuat esai renungan soal isu aktual dalam pilpres. Di samping kadang saya membuat puisi esai mini yang mengangkat dan memfiksikan sisi batin isu pilpres yang sedang hot. Membuat meme dan menyebarkannya menjadi sarapan pagi. 

Kategori berdasarkan isi, terdapat tiga tipe meme. Pertama, meme yang meringkas dan memvisualkan temuan hasil survei. Poin penting temuan survei lebih mudah dipahami dan disebar jika ia diringkaskan dalam serial meme. 

Meme yang viral soal temuan survei misalnya, Jokowi menang di lima kantong suara, tapi kalah di segmen pemilih terpelajar. 

Kedua, meme yang informatif soal prinsip demokrasi dan perilaku pemilih. Merespon isu yang sedang hot, saya komentari dengan meme. Misalnya ketika dalam debat capres (calon presiden), seorang capres membuka kekayaan capres lainnya. Kubu yang mendukung capres yang diserang memprotes dan mengatakan itu serangan masalah pribadi. 

Saya merespon pemahaman itu dengan prinsip demokrasi. Bahwa publik berhak tahu dan diberi tahu soal kekayaan para capresnya. Informasi soal kekayaan capres, sejauh datanya benar, itu bagian yang justru diagungkan dalam prinsip demokrasi. Itu bukan serangan pribadi. 

Ketiga, meme yang memframing berita. Isi berita saya kutip dan saya komentari. Kadang dengan komentar yang penuh humor atau kritik yang satire. Memang itulah warna dasar dari umumnya meme politik. 

Misalnya, ketika Prabowo akan salat Jumat di mesjid di semarang. Bagi seorang muslim, Jumatan adalah hal yang rutin saja, yang dilakukan setiap Jumat. Tak ada hal yang istimewa bagi seorang muslim yang salat Jumat. 

Namun kali itu, salat Jumat Prabowo dikampanyekan. Tak hanya di media sosial, bahkan aktivis mesjid tempat Prabowo salat Jumat juga protes karena banyak pamflet ditempel untuk mengumumkan dan menghadiri sholat Jumat Prabowo. 

Saya membuat meme dengan nada humor. Dulu pamflet disebar untuk acara dangdutan. Kini di era pilpres, pamflet disebar untuk acara Jumatan. 

Mengapa saya memilih dengan sengaja mempopulerkan meme? Mengapa saya memproduksinya hampir setiap hari, satu bulan sekitar 90 meme? Jawabnya sederhana. Saya aktivis, sekaligus peneliti, sekaligus konsultan politik. 

Saya membaca dan menyetujui fenomena yang sudah terjadi di negara maju. Sudah ditulis tak hanya dalam media berita tapi juga jurnal akademis. Meme adalah genre baru komunikasi politik di era digital. Suka tak suka, meme ini terus tumbuh dan berevolusi. 

Sesuatu yang baru, selalu membawa respon, termasuk respon negatif. Saya teringat ketika membawa profesi konsultan politik ke Indonesia. Begitu banyak serangan. Saya dikatakan pelacur intelektual yang menggunakan ilmu untuk berpihak, partisan. 

Saya terus saja berjalan karena di semua negara demokrasi moderen, hadir profesi konsultan politik. Mereka yang dulu mengeritik saya, belakangan hari bahkan membuat konsultan politik yang sama, yang dulu ia kritik sendiri. 

Hal yang sama akan terjadi dengan meme politik, ataupun meme pada umumnya. Saya yang sudah terbiasa dengan pujian dan kritik sekeras apapun, karena meyakini apa yang saya lakukan, sudah ada riset mendalam soal itu sudah sampai pada apa yang dinasehatkan Jalaluddin Rumi. 

Ujar Rumi: “Berkicaulah dirimu seperti burung. Berkicaulah dari hati. Tak usah hirau pandangan sekeliling. Terimalah dengan gembira pujian dan kebencian sebagai tamu Tuhan. Mereka datang untuk memberimu panduan.” 

Karena itu pula saya terus membuat meme dan mempublikasikannya seperti burung yang berkicau. Riang dan gembira.*

*** 

Denny JA