Quick Count Bengkulu: Kebenaran Ilmiah vs Kebenaran Politik

Tuduhan Prabowo bahwa lembaga survei tukang bohong mendapatkan angin segar dan para ulama yang menyerukan untuk tidak percaya quick count semakin terlegitimasi.

Selasa, 30 April 2019 | 05:40 WIB
0
1836
Quick Count Bengkulu: Kebenaran Ilmiah vs Kebenaran Politik
Hidayat Nur Wahid (Foto: Men Obsesseion)

Ketika saya menerbitkan tulisan “Quick Count: Ketika Politisi, Ilmuwan dan Ulama Berkolaborasi Membunuh Sains” [1], banyak yang berkomentar mempertanyakan hasil Quick Count di Provinsi Bengkulu di mana ada perbedaan hasil di antara beberapa lembaga survei (sebagian memenangkan Jokowi dan sebagian memenangkan Prabowo), sebagai berikut:

No.         Nama Lembaga                 Jokowi  Prabowo
1              Charta Politika                   47,28%  52,72% [2]
2              Indikator Politik                 52,61%  47,39% [3]
3              Indo Barometer                51,40%  48,60% [4]
4              Poltracking                          58,78%  41,22% [4]
5              SMRC                                    47,03%  52,97% [2]

Perhitungan suara di web KPU sudah selesai 100%, dimana Joko Widodo mendapatkan suara 582.572 (49.87%) dan Prabowo 585.689 (50.13%), selisih hanya 3.117 suara (0,27%) [5].      

Kemenangan super tipis Prabowo atas Jokowi di Bengkulu ini kemudian dijadikan alat bukti oleh para pendukung Prabowo-Sandi bahwa perhitungan Quick Count ternyata meleset. Tuduhan Prabowo bahwa lembaga survei adalah tukang bohong mendapatkan angin segar dan para ulama yang menyerukan untuk tidak percaya quick count semakin terlegitimasi. Hasil Quick Count di Bengkulu ini juga kemudian ditweet oleh Hidayat Nur Wahid, wakil ketua MPR RI yang juga Wakil Ketua Majelis Syura PKS,

“Kemenangan Prabowo-Sandi versi Real Count KPU di Bengkulu. Capres 02: 50,12%, dan capres 01: 49.88%. Itu Berbeda Prinsip & Angka Yang Jauh dengan Perolehan Quick Count oleh Lembaga-Lembaga Survei: Capres 01 menang dengan 58,78%, capres 02 hanya diberi: 41,22%. Jadi?” cuit Hidayat Nur Wahid [6].

Cuitan ini mendapat 4,1K retweets dan 9,1K likes. Para pendukung Prabowo hanyut dalam euphoria. Masyarakat semakin yakin bahwa lembaga survei berbohong. Kecaman-kecaman terhadap lembaga suveri pun terus mengalir. Sebutan pembohong, penipu, pelacur intelektual, dan seabreg cacian dan makian, dihamburkan netizen kepada lembaga survei.

Saya teramat kecewa dengan Hidayat Nur Wahid. Perilakunya tidak mencerminkan seseorang yang bergelar doktor dan ulama. Bagaimana mungkin kita membaca hasil survei tanpa mengikutsertakan Margin of Error, apalagi perbedaannya super tipis, hanya 0,26%, satu persen pun tak sampai. Ilmuwan dan ulama itu punya tanggung jawab memberikan pencerahan kepada masyarakat, bukan menyesatkan.

1.       Margin of Error (toleransi kesalahan)

Karena sampling mendasarkan prediksinya (estimasi) berdasarkan sampel, maka hasilnya tidak bisa 100% tepat. Jika kita ingin mendapatkan hasil 100% tepat, maka perhitungan yang dilakukan harus melibatkan seluruh data (sensus) bukan sebagian data (sampling). Dalam Pilpres 2019 ini analoginya adalah real count = sensus (seluruh data) dan quick count = sampling (sebagian data).

Karenanya sampling tidak mungkin memprediksi 100% akurat, maka ada Margin of Error (MoE) atau toleransi kesalahan. MoE sebesar +/- 1%, artinya hasil sebenarnya bisa meleset 1% di bawah nilai prediksi atau 1 % di atas nilai prediksi. 

Contoh:

Poltracking memprediksi pasangan Jokowi-Amin memenangkan Pilpres dengan angka 54,98%. MoE yang digunakan oleh Poltracking adalah +/- 1%. Artinya hasil sebenarnya (Real Count) diprediksi akan berada di antara 53,98% - 55,98%. Berapa pastinya? Kita akan tahu dari real count, namun ilmu statistika menjamin hasilnya akan berada dalam rentang di atas. Semeleset-melesetnya prediksi, suara Jokowi tidak akan lebih rendah dari 53,98%, karenanya quick count menyimpulkan bahwa Jokowi akan memenangkan Pilpres 2019.

2.       Nasional vs Provinsi

Secara umum lembaga survei mendesain quick count dengan Margin of Error +/- 1% untuk memprediksi hasil Pilpres secara nasional. Oleh karenanya, hasil Quick Count hanya valid untuk level nasional.

Ketika dibreak-down ke level provinsi, MoE-nya tidak lagi 1%, karena sampelnya lebih sedikit. Berapa nilai MoE di tiap-tiap provinsi tergantung dari jumlah sampel yang diambil oleh tiap-tiap lembaga survei.

Saya mendapatkan data break down propinsi yang lengkap untuk Indikator Politik Indonesia (Indikator) [7] dan Poltracking [8]. Untuk Quick Count secara nasional, Indikator menggunakan 2.975 TPS sebagai sampelnya yang tersebar di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Jumlah pemilih (DPT) di Bengkulu hanya 1,38 juta orang atau hanya 0,72% dari total seluruh pemilih se-Indonesia (191 juta). Jumlah TPS di Bengkulu hanya 6.165 TPS atau hanya 0,76% dari total TPS se-Indonesia (813 ribu TPS). Karenanya dari 2.975 TPS, Bengkulu hanya mendapatkan alokasi sebesar 23 TPS atau 0,77% (23/2.975 = 0,77%).

Jumlah seluruh TPS di Bengkulu ada 6.165 TPS. Memprediksi hasil 6.165 TPS dengan hanya menggunakan 23 TPS sebagai sampel, akan menghasilkan Margin of Error yang besar. Karenanya, MoE yang digunakan Indikator untuk Bengkulu adalah 7,32%. Hasil Quick Count untuk Bengkulu adalah Jokowi unggul 52,61% atas Prabowo 47,39% dengan MoE +/- 7,32%. Maka,

Jokowi-Amin
Batas bawah = 52,16% - 7,32% = 45,29%
Batas atas      = 52,16% + 7,32% = 59,93%

Prabowo-Sandi
Batas bawah = 47,39% - 7,32% = 40,07%
Batas atas      = 47,39% + 7,32% = 54,71%.

Artinya hasil Real Count untuk Jokowi diprediksi akan berada di kisaran antara 45,29% - 59,93% dan Prabowo di kisaran 40,07% - 54,71%.

Karena selisih suara antara Jokowi dan Prabowo hanya sebesar 5,22% sedangkan MoE berada di angka 7,32%, maka hasil Quick Count di Bengkulu tidak dapat menyimpulkan siapa yang akan menang di Bengkulu. Jika mengambil batas atas Jokowi, maka Jokowi menang dengan prosentase 59,93%, namun jika batas atas Prabowo yang diambil, maka Prabowo menang dengan prosentase 54,71%.

Mengapa tidak menggunakan Margin of Error 1% agar jelas siapa pemenangnya?

Bisa saja, menggunakan MoE 1%, namun konsekuensinya jumlah sampel yang diambil harus banyak.

Kenapa tidak diambil sampel yang banyak?

Semakin banyak sampel, maka dana dan logistik yang dibutuhkan akan lebih besar. Indikator bertujuan memprediksi hasil Pilpres untuk nasional, bukan provinsi. Karena jumlah TPS di Bengkulu hanya 6.165 TPS (0,76% dari total TPS se-Indoneisa), maka jumlah sampel yang diperlukan hanya 23 TPS (0,77% dari jumlah total sampel TPS). Untuk memprediksi Pilpres secara nasional jumlah ini cukup untuk menghasilkan MoE +/- 1%.

Jika ingin membuat Quick Count khusus untuk provinsi Bengkulu, maka desain sampling-nya akan berbeda. Jumlah sampel akan membesar untuk mencapai MoE 1%. Dana dan logistik yang dimiliki oleh lembaga survei tidak diperuntukkan untuk memprediksi peroleh suara di tiap provinsi dengan keakuratan tinggi, MoE 1%.

Angka Lembaga Survei yang dikutip oleh Hidayat Nur Wahid adalah hasil Quick Count dari Poltracking, Jokowi 58,78% dan Prabowo 41,22%. MoE Bengkulu dari Poltracking adalah 9,65%. Sehingga diprediksi hasil Real Count Jokowi akan berada di rentang 49,13% - 68,43%, adapun Prabowo di rentang 31,57% - 50,87%.

Dan benar hasil Real Count KPU menunjukkan Jokowi meraih 49.87% dan Prabowo 50.13%. Hasil tersebut berada dalam rentang yang diprediksi oleh Poltracking. Artinya Poltracking memprediksi hasil real count dengan benar dalam Margin of Error 9,65%.

3.       Signifikansi

Di level nasional, perbedaan suara Jokowi dan Prabowo cukup besar. Semua 12 lembaga survei yang saya kutip di tulisan sebelumnya [1], memberikan kemenangan kepada Jokowi dengan selisih di kisaran 9-10%. Dengan MoE +/- 1% yang diterapkan oleh lembaga survei, secara statistika suara Jokowi tidak mungkin disalip oleh Prabowo lagi. Dalam bahasa statistika, hal ini disebut signifikan. Dalam bahasa awam, bisa diartikan bahwa Jokowi menang secara signifikan atas Prabowo dan kemungkinan adanya perubahan posisi antara Jokowi dan Prabowo amatlah kecil.

Ketika hasil Quick Count dibreak-down ke level provinsi, maka MoE berubah dan signifikansi pun berubah.

Dari kasus di provinsi Bengkulu, kita mendapatkan bahwa hasil Poltracking memberikan selisih Jokowi dan Prabowo sebesar 58,78% - 41,22% = 17,56%. Dengan MoE +/- 9,65%, maka kemenangan Jokowi tidak signifikan. Artinya, kedua pasangan bisa saja berubah posisi pada hasil Real Count.

Ingat, batas bawah Jokowi adalah 58,78% - 9,65% = 49,13%. Dan batas atas Prabowo adalah 41,22% + 9,65% = 50,87%. Keduanya punya peluang untuk menang.

Dalam kasus ini, lembaga survei tidak memiliki cukup data untuk menentukan siapa pemenangnya.

Bagaimana dengan provinsi lainnya? Apakah ada hasil yang tidak signifikan juga?

Menurut Poltracking ada 10 provinsi yang hasilnya tidak signifikan, yaitu:

No          Provinsi                Jokowi  Prabw   MoE
1              Kep. Riau             57,86%  42,14%  12,29%
2              Bengkulu             58,78%  41,22%  9,65%
3              DKI Jakarta          50,07%  49,93%  5,81%
4              Sul-Bar                  56,28%  43,72%  5,39%
5              Sul-Tengah         52,51%  47,49%  8,75%
6              Sul-Tenggara      46,08%  53,92%  8,56%
7              Gorontalo           46,96%  53,04%  8,51%
8              Maluku                 46,88%  53,12%  21,81%
9              Maluku Utara     43,24%  56,76%  19,19%
10           Papua Barat        57,39%  42,61%  16,63%

Jadi, jika nanti hasil Real Count di sepuluh provinsi itu posisinya berubah antara Jokowi dan Prabowo, maka kita semua sudah paham karena memang selisih prosentasenya tidak cukup signifikan dalam rentang error yang diberikan.

Jangan digoreng ke sana-sini, apalagi sampai menggelari lembaga survei pembohong, penipu dan pelacur intelektual.

Jika ingin mendapatkan hasil yang lebih akurat dengan MoE +/- 1% di tiap provinsi, silahkan cari dana sendiri, kumpulkan logistik yang cukup, kemudian lakukan sampling di provinsi yang Anda inginkan. Perlu diingat, pemenang Pilpres ditentukan oleh suara secara nasional, karenanya lembaga survei mendesain samplingnya untuk hasil nasional, bukan provinsi.

4.       Kesimpulan

Dua belas lembaga survei memperoleh hasil yang sama dan menyimpulkan bahwa Jokowi akan memenangkan Pilpres 2019 di kisaran angka 54-55% [1]. Dengan Margin of Error 1%, maka posisi ini hampir pasti tidak akan berubah. Kedua belas lembaga survei ini telah diverifikasi KPU dan memiliki rekam jejak yang sangat baik (tidak pernah meleset baik di Pilkada maupun di Pilpres sebelumnya).

Delapan Lembaga survei anggota Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia) sudah membuka datanya ke publik [9], demikian pula dengan TKN sudah membuka datanya ke publik [10]. Real count di web KPU telah memproses 49,2% (400 ribu TPS), dan menunjukkan Jokowi unggul di angka 56.21% [5]. Satu-satunya hasil yang berbeda adalah hasil real count internal BPN yang memenangkan Prabowo di angka 62%. Dan satu-satunya data yang belum dibuka ke publik adalah data BPN Prabowo-Sandi.

Quick Count sejatinya adalah alat pendeteksi kecurangan. Ia bisa menjadi instrumen pembanding akan hasil real count KPU. Ketika Prabowo mengumumkan kemenangan 62%, maka kecurigaan akan adanya kebohongan sangat beralasan karena bertolak-belakang dengan hasil ilmiah dari 12 lembaga survei, dan juga hasil Real Count sementara TKN dan KPU. Ketika BPN menolak membuka data darimana angka 62% diperoleh, maka indikasi kebohongan semakin menguat.

Hidayat Nur Wahid (HNW) sebagai seorang ilmuwan bergelar doktor pasti tahu bahwa Quick Count adalah metode ilmiah. Ia juga tahu bahwa angka BPN 62% sulit dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Ia juga tahu bahwa Prabowo telah kalah. Namun mengapa ia menutup mata terhadap semua ini?

Inilah jahatnya politik. Kalau kita tidak punya integritas, maka sebuah kebenaran bukan lagi dinilai secara obyektif, tapi dinilai dari posisi dimana partai kita berada. HNW adalah wakil ketua majelis Syuro PKS, dan PKS berada di koalisi pendukung Prabowo-Sandi. Maka apapun keputusan yang diambil oleh koalisi Prabowo-Sandi akan dianggap sebagai sebuah kebenaran, tidak peduli apakah itu jujur atau bohong, adil atau curang, haq atau bathil. Apapun yang diputuskan partai akan dipandang sebagai sebuah kebenaran, dan sebagai kader, ia akan berjuang mati-matian untuk membelanya walaupun itu bertentangan dengan nalar, sains, ataupun kompas kejujuran.

Sebagai ilmuwan dan ulama, seharusnya HNW menjelaskan kepada Prabowo bahwa ia telah kalah, dan memintanya untuk legowo. Demikian Islam mengajarkan, kita harus bersikap jujur dan fair terhadap hasil kontestasi.

Bagaimana mungkin seorang HNW membela kebohongan?

HNW adalah manusia biasa yang tak luput dari salah. Kecuali Rasul SAW, semua manusia tidak ada yang steril dari kesalahan. Oleh karenanya, jangan pernah mengkultuskan seseorang. Sayangnya, dalam tradisi PKS, pemimpin dan partai sangat dikultuskan. Apapun yang diputuskan oleh partai dan para pemimpinnya dianggap sebagai suatu kebenaran. Para kader dan simpatisan PKS akan membela mati-matian apapun yang dititahkan partai dan pemimpinnya walaupun itu harus bertentangan dengan nalar, sains dan prinsip-prinsip kejujuran dalam Islam.   

Sama halnya dengan hasil Pilpres ini. Semua pemimpin, kader dan para simpatisan PKS akan membela mati-matian kemenangan Prabowo. Mereka tidak peduli dengan kebenaran dan kejujuran lagi. Inilah yang disebut dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan.

Sejarah mencatat, tahun 2014 PKS mengelabui Prabowo dan seluruh rakyat Indonesia dengan Real Count internal PKS [11] yang hasilnya bertolak belakang dengan hasil Real Count KPU [12]. Lima tahun berselang, seharusnya PKS bertobat dan belajar dari kesalahan. Apa lacur, PKS terjerumus ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya, ia kembali bersekutu dalam koalisi Prabowo, mempertahankan kebohongan.

Ilmuwan dan ulama sejatinya memberikan pencerahan kepada masyarakat, menjadi lentera penerang bagi kegelapan, memerangi kebodohan, bukan membodohi masyarakat.

Namun ketika politik dan kepentingan partai sudah campur tangan, maka lentera penerang itu hilang. Benar salah menjadi relatif tergantung kepentingan partai. Benar-salahnya sebuah ilmu bukan diukur secara ilmiah lewat sains, namun dengan keputusan politik. Mereka bisa bersilat lidah memutar-balikkan kebohongan dalam ilmu sosial, namun tidak untuk matematika dimana statistika berada di dalamnya.

Yang repot adalah kami-kami di bawah ini, yang harus pontang-panting ke sana kemari meluruskan komentar-komentar menyesatkan yang dilontarkan oleh para ilmuwan dan ulama yang berada di pusaran politik.

HNW hanya perlu melontarkan satu cuitan untuk merusak kepercayaan masyarakat kepada metode Quick Count dan lembaga survei.

Dan kami-kami di sini yang menerima imbasnya, harus membuat tulisan berlembar-lembar seperti ini, meluruskan cuitan yang menyesatkan, menjelaskan kepada masyarakat kebenaran ilmiah yang sebenarnya.

Kami bukanlah anggota sebuah partai, kami tidak punya kepentingan politk, nalar kami bebas berkeliaran mencari kebenaran obyektif yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ketika ilmu pengetahuan dikriminalisasi dan masyarakat terus-menerus dibodohi, kami tidak bisa berdiam diri lagi.

Dan Anda semua bisa merasakan bagaima frustrasinya kami untuk menjelaskan semua teori ini kepada para netizen terhormat yang hanya membaca judul, kemudian berkomentar, “Ga usah nulis panjang2! Rakyat sudah pintar, ga bisa ditipu!”

Jadi sebetulnya musuh utama bangsa ini bukanlah hoax ataupun fanatisme buta, tapi kebodohan.

Wallahu’alam.

REFERENSI

[1] Quick Count: Ketika Politisi, Ilmuwan dan Ulama Berkolaborasi Membunuh Sains (Facebook, 27 Apr 2019)
https://www.facebook.com/maulana.syuhada/posts/10161638355250243

[2] Respons Saiful Mujani Saat Dibilang Ngeles Jelaskan Beda Hasil Quick Count vs Real Count di Bengkulu (Tribunnews, 27 Apr 2019)
http://www.tribunnews.com/pilpres-2019/2019/04/27/respons-saiful-mujani-saat-dibilang-ngeles-jelaskan-beda-hasil-quick-count-vs-real-count-di-bengkulu?page=all

[3] Real Count Prabowo Menang di Bengkulu, Quick Count Meleset (CNN Indonesia, 27 Apr 2019)
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190427153208-32-390135/real-count-prabowo-menang-di-bengkulu-quick-count-meleset

[4] Penjelasan Indo Barometer dan Poltracking soal Quick Count Bengkulu (26 Apr 2019)
https://kumparan.com/@kumparannews/penjelasan-indo-barometer-dan-poltracking-soal-quick-count-bengkulu-1qxqXWc85VS

[5] Web Resmi KPU
https://pemilu2019.kpu.go.id

[6] Twitter Hidayat Nur Wahid
https://twitter.com/hnurwahid/status/1121753359034142721

[7] Laporan Quick Count Pilpres dan Pileg DPR RI 2019 (Indikator Politik Indonesia, 17 Apr 2019)
http://indikator.co.id/agenda/details/65/Rilis-Laporan-Quick-Count-Pemilu-2019

[8] Perkiraan Peta Perolehan Suara Pasangan Capres-Cawapres (Poltracking Indonesia)
https://poltracking.com/category/publikasi

[9] Dituduh Bohong Menangkan Jokowi-Ma'ruf, 8 Lembaga Survei Buka Data Quick Count (Merdeka, 20 Apr 2019)
https://www.merdeka.com/peristiwa/dituduh-bohong-menangkan-jokowi-maruf-8-lembaga-survei-buka-data-quick-count.html

[10] TKN Jokowi-Ma'ruf Buka-Bukaan Data Real Count Internal Pilpres 2019 (IDN TIMES, 21 Apr 2019)
https://www.idntimes.com/news/indonesia/indianamalia/tkn-buka-bukaan-data-real-count-internal-pilpres/full

[11] Real Count PKS diduga palsu (Republika, 11 Jul 2014)
https://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/07/11/n8jed6-real-count-pks-diduga-palsu

[12] Ini Hasil Resmi Rekapitulasi Suara Pilpres 2014 (Kompas, 22 Jul 2014)
https://nasional.kompas.com/read/2014/07/22/20574751/Ini.Hasil.Resmi.Rekapitulasi.Suara.Pilpres.2014