Tolak Rusuh!

"People Poewer" tidak bisa membatalkan keputusan. sebaliknya terlalu banyak yang dirugikan kalau ada people power.

Selasa, 14 Mei 2019 | 19:35 WIB
0
667
Tolak Rusuh!
Ilustrasi kerusuhan (Foto: Tribunnews.com)

Tolak kerusuhan, mari kita turut beraprtisipasi aktif menjaga keamanan dan kedamaian.  Jika didapati fakta kecurangan atau apapun yang berpotensi merugikan kubu manapun, ikuti mekanisme yang ada.

Usai hari pencoblosan 17 April 2019, saya kira akan  memasuki masa tenang.  Ternyata keliru besar.  Justru situasi kian memanas. Apalagi bagi mereka yang tidak mau menerima hasil hitung cepat. Narasi kecurangan terus dibangun, bahkan dikondisikan.

Kematian petugas KPPS yang dipolitisir, penolakan tanda tangan saksi/petugas di TPS. Menjadi tanda-tanda bakal ada aksi. Apalagi ajakan “People Power” oleh segelintir elit politikus turut mengipasi suasana yang mulai membara.

Saya salah satu masyarakat yang tidak ingin peristiwa Mei 1998 terulang. Harusnya dengan membangun iklim demokrasi, tradisi revolusi berdarah harus dihentikan.   Sudah terbukti selalu rakyat/masyarakat yang menjadi tumbal. Iklim demokrasi mengemukakan komunikasi sebagai alat berdiskusi.

Sejalan meningkatkan pendidikan, komunikasi harus bisa menjadi alat utama yang digunakan. Tapi komunikasi yang benar bukan komunikasi yang justru mengajak orang untuk bermusuhan.

22 Mei 2019 adalah jadwal KPU mengumumkan hasil rekapitulasi nasional dari pilpres dan pileg.  Sayangnya sejak 17 april 2019, makin banyak orang yang kesalnya kebabalasan. Sehingga dengan mudah dan “merasa’ bebas memakimaki, bahkan menyebarkan “teror” lewat ancaman di media sosial. Lebih heran lagi tanpa rasa takut, bahkan bangga disebarkan di media sosial.

Sebetulnya lewat tulisan ini, saya mau bilang, saya juga manusia biasa yang juga bisa punya rasa kesal, kecewa dan marah. Lihat banyak hambatan/gangguan kaum keristen beribadah, penolakan pembangunan rumah ibadah non mulim,  Sistem penerimaan siswa baru yang berubah-ubah.  Semua bikin marah, kesal dan menghabiskan energy.

Tapi itu tidak otomatis mengizinkan saya berkata kasar, memaki-maki, menyebarkan terror, sampai mengancam. Dan gilanya yang diancam Presiden Joko Widodo yang hingga nanti 20 Oktober masih berstatus kepala Negara RI, yang sah.

Kepala Negara, jangankan diancam mau dipenggal  lehernya, menghina kepala Negara ada Undang-undang yang mengatur hukumnya. Terkadang sulit buat saya memahami, mengapa dengan mudah orang memaki dan mengancan hanya karena kesal dan marah.

Saya seorang Ibu, saya tidak selalu memenuhi keinginan anak-anak. Dulu sempat ada rasa bersalah kalau nggak bisa memenuhi keinginan anak. Tapi lewat membaca dari banyak sumber informaasi parenting, anak harus diajar menerima rasa kecewa. Menerima situasi yang tidak sesuai keinginannya. Karena kelak berada di masyarakat luas, tidak semua keinginannya bisa diwujudkan.

Atas dasar ini membuat saya berpikir apakah Prabowo seumur hidupnya terpenuhi semua keinginannya. Begitu juga milenial pengikut Prabowo yang dengan mudah mengekspresikan kekecewaannya dengan memaki dan mengancam kepala Negara. Mengapa mereka memaksakan kehendak? Apa mereka  terlahir dari masyarakat yang memiliki semuanya?

Kenyataannya tidak. Sebagian besar dari masyarakat kelas ekonomi menengah bawah.  Bagi orang yang bersyukur, kemiskinan nggak terasa. Begitu juga situasi politik, itu pilihan. Visi dna misi mana yang selaras dengan pilihan, itu yang diikuti dengan segala resiko. Tapi nalar tetap digunakan.

Saya melihat masyarakat Indonesia dengan berbagai pengalaman mulai menggunakan #Akalsehat, mereka mulai bisa membaca situasi-situasi yang dikondisikan. Artinya masyarakat mulai tidak mudah terpancing poleh narasi-narasi yang mengajak melawan hukum. Salah satunya ajakan menandatangani petisi tidak memperpanjang izin organisasi FPI. Saya setuju, menurut saya FPI lebih banyak mudharatnya dari manfaatnya.

Baca Juga: Membubarkan FPI atau Membiarkan NKRI Bubar?

FPI mengatas namakan agama, seakan Indonesia nggak punya uu dan hukum.  FPI mengatasnamakan agama, melakukan kegiatan yang bukan porsinya. Seperti sweaping  hotel. Resto dan café, baik dimasa biasa maupun bulan puasa.

FPI seakan kelompok paling suci yang menghalakan semua cara untuk menghabisi yang berbeda paham dengan FPI. Kan serem banget. Sampai tokoh-tokoh FPi  mengatakan yang menginginkan FPI bubar adalah yang menyukai maksiat.  Itukan tuduhan yang menghina.

Ayolah kita kembalikan semua pada porsinya. TNI dan Kepolisian punya tugas mengamankan Negara, biarlah mereka yang lakukan. Sebagai masyarakat, kita bisa membantu dengan tidak ikut menyebarkan hoax, dan teror.

Yuk kita sama-sama bangun Persatuan Indonesia dengan berpartisipasi aktif menjaga keamanan dan kedamaian. Satu lagi "People Poewer" tidak bisa membatalkan keputusan. sebaliknya terlalu banyak yang dirugikan kalau ada people power

***