"People Poewer" tidak bisa membatalkan keputusan. sebaliknya terlalu banyak yang dirugikan kalau ada people power.
Tolak kerusuhan, mari kita turut beraprtisipasi aktif menjaga keamanan dan kedamaian. Jika didapati fakta kecurangan atau apapun yang berpotensi merugikan kubu manapun, ikuti mekanisme yang ada.
Usai hari pencoblosan 17 April 2019, saya kira akan memasuki masa tenang. Ternyata keliru besar. Justru situasi kian memanas. Apalagi bagi mereka yang tidak mau menerima hasil hitung cepat. Narasi kecurangan terus dibangun, bahkan dikondisikan.
Kematian petugas KPPS yang dipolitisir, penolakan tanda tangan saksi/petugas di TPS. Menjadi tanda-tanda bakal ada aksi. Apalagi ajakan “People Power” oleh segelintir elit politikus turut mengipasi suasana yang mulai membara.
Saya salah satu masyarakat yang tidak ingin peristiwa Mei 1998 terulang. Harusnya dengan membangun iklim demokrasi, tradisi revolusi berdarah harus dihentikan. Sudah terbukti selalu rakyat/masyarakat yang menjadi tumbal. Iklim demokrasi mengemukakan komunikasi sebagai alat berdiskusi.
Sejalan meningkatkan pendidikan, komunikasi harus bisa menjadi alat utama yang digunakan. Tapi komunikasi yang benar bukan komunikasi yang justru mengajak orang untuk bermusuhan.
22 Mei 2019 adalah jadwal KPU mengumumkan hasil rekapitulasi nasional dari pilpres dan pileg. Sayangnya sejak 17 april 2019, makin banyak orang yang kesalnya kebabalasan. Sehingga dengan mudah dan “merasa’ bebas memakimaki, bahkan menyebarkan “teror” lewat ancaman di media sosial. Lebih heran lagi tanpa rasa takut, bahkan bangga disebarkan di media sosial.
Sebetulnya lewat tulisan ini, saya mau bilang, saya juga manusia biasa yang juga bisa punya rasa kesal, kecewa dan marah. Lihat banyak hambatan/gangguan kaum keristen beribadah, penolakan pembangunan rumah ibadah non mulim, Sistem penerimaan siswa baru yang berubah-ubah. Semua bikin marah, kesal dan menghabiskan energy.
Tapi itu tidak otomatis mengizinkan saya berkata kasar, memaki-maki, menyebarkan terror, sampai mengancam. Dan gilanya yang diancam Presiden Joko Widodo yang hingga nanti 20 Oktober masih berstatus kepala Negara RI, yang sah.
Kepala Negara, jangankan diancam mau dipenggal lehernya, menghina kepala Negara ada Undang-undang yang mengatur hukumnya. Terkadang sulit buat saya memahami, mengapa dengan mudah orang memaki dan mengancan hanya karena kesal dan marah.
Saya seorang Ibu, saya tidak selalu memenuhi keinginan anak-anak. Dulu sempat ada rasa bersalah kalau nggak bisa memenuhi keinginan anak. Tapi lewat membaca dari banyak sumber informaasi parenting, anak harus diajar menerima rasa kecewa. Menerima situasi yang tidak sesuai keinginannya. Karena kelak berada di masyarakat luas, tidak semua keinginannya bisa diwujudkan.
Atas dasar ini membuat saya berpikir apakah Prabowo seumur hidupnya terpenuhi semua keinginannya. Begitu juga milenial pengikut Prabowo yang dengan mudah mengekspresikan kekecewaannya dengan memaki dan mengancam kepala Negara. Mengapa mereka memaksakan kehendak? Apa mereka terlahir dari masyarakat yang memiliki semuanya?Kenyataannya tidak. Sebagian besar dari masyarakat kelas ekonomi menengah bawah. Bagi orang yang bersyukur, kemiskinan nggak terasa. Begitu juga situasi politik, itu pilihan. Visi dna misi mana yang selaras dengan pilihan, itu yang diikuti dengan segala resiko. Tapi nalar tetap digunakan.
Saya melihat masyarakat Indonesia dengan berbagai pengalaman mulai menggunakan #Akalsehat, mereka mulai bisa membaca situasi-situasi yang dikondisikan. Artinya masyarakat mulai tidak mudah terpancing poleh narasi-narasi yang mengajak melawan hukum. Salah satunya ajakan menandatangani petisi tidak memperpanjang izin organisasi FPI. Saya setuju, menurut saya FPI lebih banyak mudharatnya dari manfaatnya.
Baca Juga: Membubarkan FPI atau Membiarkan NKRI Bubar?
FPI mengatas namakan agama, seakan Indonesia nggak punya uu dan hukum. FPI mengatasnamakan agama, melakukan kegiatan yang bukan porsinya. Seperti sweaping hotel. Resto dan café, baik dimasa biasa maupun bulan puasa.
FPI seakan kelompok paling suci yang menghalakan semua cara untuk menghabisi yang berbeda paham dengan FPI. Kan serem banget. Sampai tokoh-tokoh FPi mengatakan yang menginginkan FPI bubar adalah yang menyukai maksiat. Itukan tuduhan yang menghina.
Ayolah kita kembalikan semua pada porsinya. TNI dan Kepolisian punya tugas mengamankan Negara, biarlah mereka yang lakukan. Sebagai masyarakat, kita bisa membantu dengan tidak ikut menyebarkan hoax, dan teror.
Yuk kita sama-sama bangun Persatuan Indonesia dengan berpartisipasi aktif menjaga keamanan dan kedamaian. Satu lagi "People Poewer" tidak bisa membatalkan keputusan. sebaliknya terlalu banyak yang dirugikan kalau ada people power.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews