Kurang dari 2 bulan lagi, negara kita, Indonesia, akan menyelenggarakan hajatan super besar. Hajatan yang begitu ditunggu-tunggu pelaksanaannya. Hajatan yang hanya hadir setiap 5 tahun. Pesta demokrasi yang meriah dan menyenangkan.
Menyenangkan?
Yap. Sejatinya, pesta demokrasi yang hanya 5 tahun sekali ini, disambut dengan gegap gempita, penuh semangat, dan kegembiraan. Layaknya menyambut pesta ulang tahun anak, atau pesta pernikahan saudara.
Tapi, benar kah masyarakat menyambutnya dengan gembira?
Alih-alih gembira atau berbahagia, beberapa teman di timeline media sosial saya justru mengeluh
"Andai waktu bisa dimajukan 3 bulan"
Teman lain berseru
"Coba ga usah pakai kampanye-kampanye, langsung pemilu aja"
Sementara teman lain menulis
"Udah lah, pemilunya langsung sekarang aja, ga usah nunggu 2 bulan lagi"
Entah ini fenomena apa. Entah harus bergembira atau malah bersedih. Terus terang saya pun lelah dengan periode kampanye yang cukup panjang ini. Atmosfir yang terasa justru bukan pemilihan presiden. Kalau menelusuri jagad medsos, fanpage presiden, komentar-komentar yang ada justru lebih mirip perang umpatan.
Perang?
Ya begitu lah. Jagad twitter, facebook, instagram, hingga Youtube pun jadi semacam ajang perang. Kedua kubu calon presiden, baik kubu nomor urut 01, Joko Widodo - Ma`ruf Amin, maupun kubu 02, Prabowo Subianto- Sandiaga Salahudin Uno, bagai pasukan perang yang saling menyerang.
Hasus menghasut, ejek-mengejek, hina- menghina. Tak jarang, bahasa kebun binatang dan berbagai ucapan tak pantas pun keluar. Dunia media sosial tampak begitu gaduh. Fanpage maupun instagram presiden pun tak luput dari ucapan yang penuh kebencian dan menyerang. Astaghfirullah hal 'Azim. Fanpage dan instagram resmi kepala negara lho itu yang mereka "kotori" dengan umpatan kasar. Apa ga malu ya negara kita jadi dipandang buruk dimata dunia?
Saya sampai merenung. Benar kah ini Indonesia? Benarkah ini budaya kita yang sebenarnya? Benarkah kita ini negeri yang cinta damai? Benar kah ini wajah asli Indonesia? Ke mana kah perginya Indonesia yang santun itu? Ke mana kah perginya Indonesia yang selalu bahu membahu, bergotong royong, cinta damai, dan mengedepankan kesatuan? Ke mana kah perginya rasa cinta tanah air dan ibu pertiwi? Masih kah kita cinta negeri ini dengan utuh?
Sekarang ini kita sudah merdeka guys. Tak ada lagi agenda perang seperti jaman kolonial. Pun kita juga tak ingin lagi merasakan situasi perang seperti jaman dulu kan? Hidup penuh ketakutan. Hidup penuh ancaman. Hidup penuh intimidasi. Kita sudah merdeka, lepas dari belenggu penjajah. Tak ingin lagi kan merasakan hidup penuh ketakutan dan ancaman?
Sadar ga sih, kondisi seperti ini, akan dengan mudah dimanfaatkan orang luar. Mereka masuk dan memanfaatkan situasi dan kondisi masyarakat kita yang dulunya punya riwayat begitu mudah dihasut.
350 tahun Belanda berhasil menjajah Indonesia. Karena apa? Mereka menjalankan politik adu domba. Mereka manfaatkan kelemahan kita yang begitu mudah dihasut dan disulut kemarahannya. Mereka tahu betul, kekuatan masyarakat Indonesia ini begitu besar kala bersatu. Tapi, akan lemah dan mudah dilemahkan ketika terpisah. Dan itu lah yang sedang terjadi pada bangsa kita belakangan ini. Masyarakat seolah terpecah menjadi dua kubu yang saling menyerang. Dua kubu yang begitu mudah disulut dan dibakar!
Siapa yang akan rugi?
Ingat lah, masa depan kita, orang dewasa, terbatas waktunya. Tapi, anak cucu kita masih akan hidup 20 hingga 100 tahun yang akan datang. Akan kah kita warisi mereka dengan kehancuran? Akan kah kita warisi mereka perilaku mencaci? Akan kah kita warisi mereka contoh perilaku yang mudah membenci? Apakah ini yang akan kita contohkan dan ajarkan pada anak-anak?
Guys, damai itu indah. Percaya?
Damai itu menentrakam
Damai itu menenangkan
So, jika kalian cinta Indonesia, cinta anak cucu kalian, yuk kita ciptakan Indonesia yang damai, pemilu yang damai dan tentram.
Demi terwujudnya Pemilu yang aman dan damai, sekitar 30 penulis melakukan deklarasi Pemilu Damai pada 17 Februari 2019 lalu, tepat di hari yang sama diselenggarakannya debat capres 2019 kedua. Deklarasi damai ini diikrarkan di hotel Santika, Slipi.
Tekad untuk mewujudkan pemilu damai, begitu kuat terpatri di dada para penulis-penulis ini. Penulis-penulis yang begitu ingin Pemilu yang damai, jujur, dan adil. Pemilu yang bebas intervensi, bebas intimidasi dan aman dari ketakutan. Pemilu yang mengedepankan persatuan dan kesatuan. Pemilu yang berbudaya. Pemilu asli Indonesia yang cinta damai.
Mampu kah kita mewujudkannya?
Yuk, teman-teman. Pemilu damai adalah warisan berharga yang akan kita bagikan kepada anak cucu kelak. Catatan sejarah indah yang manis untuk dikenang, indah untuk diceritakan!
Itu tugas saya, tugas anda sebagai orang tua, tugas anda sebagai calon penerus bangsa, dan tugas kita sebagai warga negara yang menginginkan Indonesia Maju dan jadi negara adidaya.
Yuk, mari bersama wujudkan Indonesia yang damai. Indonesia yang penuh berkah. Indonesia yang disegani dan terpandang di mata dunia. Indonesia ini besar. Indonesia ini kaya. Ini lah harta berharga yang harus kita jaga. Jangan pernah lepas. Mari bersatu wujudkan Indonesia damai, Pemilu Damai!
Jangan hanya pasrah dan berdiam diri, bergerak lah mewujudkannya. Kondisi aman tenteram itu bukan sesuatu yang instan, ada prosesnya. Kita perlu bergerak mewujudkannya. Jika ada yang hendak melakukan kerusuhan, cegah! Jika ada yang hendak menghasut dan ingin memecah belah bangsa, tenggelam kan!
Mari wujud kan Indonesia damai, melalui pemilu yang damai. Demi anak cucu kita kelak!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews