Genderuwo, Sontoloyo dan Politikus Sakit Hati

Rabu, 14 November 2018 | 21:54 WIB
0
681
Genderuwo, Sontoloyo dan Politikus Sakit Hati
Politik Genderuwo (Foto: Tribunnews.com)

Ketika penulis masih tinggal di Magelang, kata "genderuwo", "sontoloyo" itu bisa terucap dan menjadi candaan biasa bersama teman.

“Awas, kalau macam–macam nanti digondol (ambil) genderuwo.”

Umumnya anak kecil, orang dewasa takut akan penampakan makhluk seram yang sering muncul di dekat pohon. Cerita tentang genderuwo sudah berkembang menjadi legenda yang susah dipisahkan dari perkembangan budaya Jawa yang masih percaya akan kehidupan lain selain manusia. Hantu-hantu yang diceritakan dari mulut ke mulut seperti wewe gombel, Peri, Cleret Gombel, Thuyul, Sundel Bolong, pocong, berakakak.

Genderuwo adalah makhluk iseng yang sering  menampakkan diri pada orang- orang yang melintas di pohon keramat. Kahluk besar, bertaring, dada berbulu, rambut awut-awutan dengan kumis dan jambang lebat. Mata melotot dengan kelopak berwarna merah.

Genderuwo pun seringkali berubah menjadi menjadi manusia untuk menyamar sebagai salah satu anggota keluarga. Bahkan berkembang cerita ada manusia yang menikah dan berhubungan badan dengan Genderuwo hingga akhirnya melahirkan anak.

Perilaku genderuwo cenderung digambarkan negatif.karena iseng dan suka menakut- nakuti orang. Ketika malam tiba banyak anak dan maupun orang dewasa enggan keluar gara- gara takut kepergok Hantu genderuwo.

Apakah Genderuwo benar-benar ada?

Ada  bagi orang yang percaya dan hanya sebuah mitos yang tidak harus dipercaya bila yang pernah benar- benar melihat dengan mata kepala sendiri. Hantu dan dunia astral, terhubung dengan metafisika sebetulnya hal biasa. Tetapi tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk melihat kehidupan dunia lain selain orang yang mempunyai kemampuan khusus bisa melihat keanehan-keanehan dunia.

Penulis termasuk orang yang tidak peka dan tidak mempunyai kemampuan untuk melihat hal- hal aneh di luar logika. Ada beberapa teman yang seringkali melihat kejadian-kejadian aneh atau penampakan makhluk astral. Mereka sebutlah indigo atau dalam istilah mempunyai kempampuan lantip Penggraitane.

Sebetulnya yang terucap dari mulut Presiden Jokowi itu bukan pernyataan kasar. Para pegiat media sosial dan politisi saja yang menggorengnya hingga menjadi pembicaraan seru dan berpotensi trending topik. Saling berbalas pantun antar politisi itu membuat negeri ini seakan akan diambang perpecahan.

Para elit mendadak menjadi penyair, lalu menuliskan judul misalnya Genderuwo Istana. Padahal tugas politisi sebetulnya adalah membangunkan optimisme masyarakat agar tekun berusaha dan bekerja semaksimal mungkin untuk meningkatkan taraf kehidupannya.

Politisi Genderuwo hanya metafora untuk menggambarkan banyaknya politisi hanya mengumbar cerita seram tentang suramnya masa depan bangsa, selalu mengulang-ulang kritikan bahwa kemiskinan telah membuat rakyat menderita, harga-harga melambung tinggi berimbas pada daya beli masyarakat menurun. Menebarkan rasa pesimis, apatis terhadap kemajuan bangsa itu tentu akan berefek kontraproduktif.

Seharusnya masyarakat yang beragam itu harus optimis untuk bekerja dan mengatasi persoalan kehidupan yang datang sepanjang hayat. Manusia tercipta dengan banyak masalah. Tetapi bagaimanapun manusia harus mampu mengatasi masalah satu persatu. Jika hanya merutuki kemiskinan dan mendramatisasi penderitaan kapan akan maju.

Presiden membuat sindiran bukan hanya pada lawan politiknya, tetapi juga pada diri sendiri pada politisi di lingkaran kekuasaannya yang cenderung hanya membela kepentingannya sendiri, idealisme ditanggalkan hanya untuk sebuah kursi di parlemen.

Metafora Presiden Jokowi jangan dijadikan senjata untuk membuli balik presiden. Malah seharusnya para politisi introspeksi diri apakah ia mempunyai sifat dan karakter mirim gendruwo yang bisanya hanya menakut- nakuti tetapi jarang membangun optimisme kepada konstituennya.

Para politisi harusnya sadar diri hanya karena hasrat kuasa mereka menyembunyikan kenyataan bahwa sedikit banyak ada kemajuan yang dicapai oleh Indonesia. Masalah dolar naik, rupiah melemah, daya beli masyarakat turun adalah masalah global yang dihadapi oleh negara akibat ekspansi Amerika serikat untuk merusak perekonomian dunia. Mau tidak mau Indonesia tentu terkena dampaknya.

Tetapi jika menghadapi inflasi, gonjang-ganjing dunia itu dihadapi dengan saling menyalahkan, saling melempar anggungjawab bagaimana negara bisa maju. Di saat negara lain saling berpelukan membangun optimisme di Indonesia, agama, moralitas, politik saling berbenturan hingga terkesan sesamawa warga negara saling berdebat untuk hal-hal yang substansial.

Ketika elit politik mengkritik yang terjadi adalah saling menjatuhkan, saling melemparkan kata- kata yang membangkitkan emosi. Lihat saja acara debat di televisi. Di mana etikanya ketika seorang bicara, belum selesai bicara harus dipotong utnu menggunakan hak bicaranya membantah dan membangga-banggakan partainya atau junjungannya.

Bagaimanapun Presiden, Calon Presiden itu manusia biasa, masih sering salah dan tidak sempurna. Janji- janji politik bertahun tahun lalu mungkin belum semuanya terealisasi. Banyak polisi kritis sekdar kritis, asal beda tidak disertai dengan data valid untuk membantah argumentasi, merek malah saling mengungkit kekurangan fisik, ideologi, keyakinan yang bisa menimbulkan efek domino berupa diintegrasi bangsa.

Sudahlah Genderuwo, sontoloyo itu hanya metafora agar para politisi tidak meniru tingkah laku genderuwo yang digambarkan sering menakut-nakuti. Untuk melangkah maju banyak tantangannya, banyak hambatannya tetapi bukan berarti harus pesimis dan percaya akan gagal. Sebuah usaha harus disertai optimis untuk sukses di masa depan tidak ragu dan takut akan berakibat gagal.

Ojo koyo genderuwo le, isane  mung medhen-medheni“ (jangan seperti genderuwo nak, bisanya hanya menakut- nakuti saja)

Ora ono sing ora bisa dilakoni yen kowe percaya.” (Tidak ada yang tidak bisa jika kamu percaya/yakin(optimis).

Jangan hanya sakit hati hanya dikatakan jelek oleh orang lain apalagi oleh orang yang sudah makan asam garam dunia. Sesekali perlu menengok diri sendiri apakah dalam setiap relasi dengan orang lain cenderung sering menjelek-jelekkan orang lain daripada meneliti diri sendiri.

Saya pikir politikus kita masih seperti pepatah Semut di seberang lautan nampak sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak. Genderuwo itu bukan hanya di istana, di parlemen tetapi jika dihati orang- orang yang dengki, iri dan sakit hati. Salam damai.

***