Malaysia dan TKI dan Kita: Baperan yang Tak Pernah Usai

Presiden Jokowi yang saya pikir akan membereskan persoalan norak ini. Bahwa kebijakan penghentian pengiriman PMI ke Malaysia hanya bersifat temporer dan sesaat saja.

Jumat, 22 Juli 2022 | 18:40 WIB
0
147
Malaysia dan TKI dan Kita: Baperan yang Tak Pernah Usai
Ida Fauziyah (Foto: pojoksatu.id)

Resiko dari sebuah kabinet koalisi adalah campur aduk antara kepentingan partai yang selalu berbenturan dengan kepentingan nasional. Kementrian teknis terlalu sering membuat kebijakan yang aneh dan tak masuk akal, bahkan cenderung mengada-ada.

Sebenarnya ada Menko untuk menjadi jembatan tersebut, namun sekali lagi karena berasal dari partai yang pelangi. Maka efektifitasnya menjadi sangat rendah, bahkan tak jarang publik bingung mempertanyakan apa manfaat Menteri Koordinator itu?

Demikianlah kepentingan partai selalu menjadi lebih menonjol dan tentu saja bikin jengah. Bila tidak ingin disebut justru membuat senewen masyarakat...

Salah satu contoh kementrian yang paling cocok menggambarkan situasi dan kondisi tersebut adalah Kementrian Ketenagakerjaan.

Sebuah kementrian yang dari namanya saja sudah cukup membingungkan. Apa beda "tenaga kerja" (istilah dulu saat masih bersanding dengan transmigrasi) dan sekarang "ketenagakerjaan" (saat program transmigrasi justru dimasukkan ke dalam Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi). 

Apa bedanya misalnya dengan istilah yang lebih lugas "buruh" yang konotasinya bisa jadi perburuhan. Kenapa istilah buruh dianggap "turun harga" atau "terlalu ideologis" atau malah "merendahkan". Apa salahnya istilah buruh, yang lalu membedakan dengan pegawai atau karyawan atau malah yang lebih lugas pekerja. Terlalu banyak istilah itulah barangkali yang akhirnya menyebabkan semuanya dirangkum jadi satu menjadi "ketenagakerjaan". Huh!

Sejak era reformasi, atau minimal setelah SBY berkuasa. Dan tentu saja sejak Muhaimin Iskandar "mencuri" Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari pamannya Gus Dur. Sebuah konflik keluarga, yang dendamnya tak kunjung berakhir sampai hari ini. Konon Gus Dur hingga sakratul mautnya, telah ikhlas memaafkan semua orang yang "menyalahi"-nya kecuali satu orang: Gus Imin.

PKB Gus Imin inilah yang secara ajeg kadernya ditunjuk sebagai penggede di kementrian ini. Gus Imin sendiri yang pertama, lalu Hanif Dhakiri, dan sekarang Ida Fauziah. 

Penunjukan kader PKB ini, mungkin dipahami secara teralu gampang. Karena NU sebagai "ibu kandung"-nya memiliki jumlah massa pengikut terbesar dan berada pada tingkat grass root. Dalam konteks pekerja migran dulu populer dengan TKW (tapi dianggap terlalu bias gender), bahkan penggantinya istilah TKI sekalipun untuk lebih menyembuhkannya. Masih dianggap masih memiliki konotasi merendahkan "harga diri". Menunjukkan bahwa persoalan ketenagakerjaan di Indonesia itu memang carut marut sejak dari rahimnya, bahkan dari cara penyebutannya. 

Walau kemudian menjadi masuk akal bila kementrian ini akhirnya seolah "abadi" di bawah PKB. Coba saja tengok logo terbaru kementrian ini, yang tampak simpel tapi sebenarnaya ruwet dan belibet.

Tak heran bila sejak Muhaimin Iskandar jadi mentrinya, bau "tak sedap" KKN dan kebijakan kontroversial menjadi hal biasa, bahkan sangat kuat menyeruak dari kementrian ini. Dari dulu hingga hari ini...

Yang terakhir, tak kurang kebijakan Ida Fauziah untuk menunda pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) pada usia 56 tahun. Tampak bijaksana, tapi bukankah karakter buruh sama sekali berbeda dengan pegawai. Buruh tidak terikat dengan masa kerja sepanjang ASN atau karyawan swasta yang berbatas waktu itu.

Kebijakan ini, sedemikian absurdnya, hingga ia dijuluki sebagai "Menteri Terburuk" dalam Kabinet Jokowi. Jokowi sendiri yang akhirnya turun tangan mengatasi persoalan ini, dengan membatalkan kebijakan super aneh dan mengada-ada ini. 

Dan bukannya hal tersebut menjadi pelajaran. Tapi kasus lain berulang dengan konteks hubungan internasional yang tak kalah memalukannya. Tanpa angin, tak ada badai: tiba-tiba kementrian ini secara sepihak memutuskan pengiriman pekerja migran ke Malaysia. Yah ke Malaysia....

Alasannya tak kalah lucu, Malaysia dianggap melanggar MoU tentang Penempatan dan Pelindungan PMI (pekerja migran Indonesia) Sektor Domestik di Malaysia yang ditandatangani tanggal 1 April 2022. Artinya baru 2 bulan lalu!

Penandatanganan MoU yang turut disaksikan oleh Joko Widodo dan PM Malaysia, Dato’ Sri Ismail Sabri Yakob. Inti MOU tersebut tak kalah lucu yaitu digunakannya sistem satu kanal (one channel system), dan menjadi satu-satunya mekanisme resmi untuk merekrut dan menempatkan PMI sektor domestik di Malaysia. 

Hari gini arus migran diatur oleh pemerintah? Hanya seolah atas nama ketertiban dan perlindungan pekerja? 

Malaysia yang kebetulan selama Pandemi memperlakukan kebijakan ketat untuk menghentikan sementara seluruh aktivitas publik. Dan memberlakukan (sejenis) PPKM yang jauh lebih ketat dan jangka waktu lebih lama. Tentu saja butuh melakukan recovery yang cepat terhadap kondisi perekonomian dalam negeri-nya.

Ia kemudian memperlakukan perekrutan secara on-line yang jauh lebih cepat, dan tentunya dilakukan secara mandiri oleh banyak pihak yang berkepntingan mensegerakan para pekerjanya kembali bekerja, agar ekonomi negara itu kembali menggeliat...

Malaysia mendapat tekanan dan ancaman sedemikian rupa dari pihak Kemenaker alih-alih jeri, mereka bersikap tegas. Mereka tak keberatan dan seolah balik menantang, bahwa masih ada 15 negara lain yang mau mengirimkan pekerja migran-nya ke Malaysia.

Tentu saja hal ini sebuah preseden yang sangat buruk. Suka tidak suka, Malaysia tetaplah tujuan favorit bagi pekerja migran kita untuk merantau. Di luar jaraknya yang relatif dekat, faktor bahasa dan budaya yang nyaris sama memudahkan kita saling berinteraksi dengan baik. 

Pun dibanding negara destinasi pekerja migran lain, bukankah Malaysia masih bisa dianggap paling manusiawi. Kalau pun terjadi banyak kasus, bukankah memang demikianlah watak alamiah hubungan perburuhan. Dan bukankah daripadanya sudah sangat banyak kemajuan untuk membuat hubungan perburuhan saat ini jauh lebih egaliter dan berkeadilan....

Dari kejadian tersebut, dapat dipetik beberapa isyarat dan pelajaran.

Pertama, Kementrian Ketanagakerjaan RI terlalu ingin memposisikan dirinya sebagai "centre of attention", pusat perhatian. Ia secara salah ingin menjadi satu-satunya traffict light yang mengatur. Di sini "mengatur" bisa dipahami secara dua muka, melindungi tapi di sisi lain terlalu ikut campur. "Ikut campur" yang dalam pemahaman baik oleh para pekerja maupun pengguna pekerja dianggap sebagai "tukang palak". 

Sesuatu yang bukan rahasia lagi, bahwa justru di tanah air sendiri walau di atas kertas para pekerja migran selalu dianggap sebagai penyumbang devisa. Namun, sejak mereka berangkat hingga kelak pulang. Sejak di pintu bandara, hingga pengambilan counter barang bawaan mereka adalah "sapi perah" bagi banyak pihak. Dalam konteks inilah, kenapa "sistem online" yang diterapkan oleh para stake holder pengguna pekerja migran bertujuan menyederhanakan segala sesuatunya jauh lebih efektif dan efisien. 

Kedua, pertanyaan kenapa hanya kepada Malaysia? Saudara serumpun yang selama puluhan tahun memilihi hubungan "benci tapi rindu" antara keduanya. Kenyataan bahwa di hari ini menunjukkan Indeks Kebahagiaan Laporan dikeluarkan oleh Sustainable Development Solutions Network untuk PBB, menjelang Hari Kebahagiaan Sedunia yang diperingati setiap 20 Maret. Malaysia memang peringkatnya berada jauh di atas Indonesia. Kemajuan yang dicapai negara tetangga itu nyaris merata di atas Indonesia baik di bidang pendidikan, teknologi, industri dst dstnya. 

Sementara Indonesia, masih terus menghibur diri bahwa pada masa awal Orde Baru. Negara ini pernah mengirimkan mahasiswanya untuk belajar sini. Dulu jalan2 di daerah pelosok mereka, hanya layak dilewati kerbau. Tata cara pengelolaan sawit mereka sebenarnya diktatnya diperoleh dari negeri ini. Sebuah deret panjang kebaperan kita, sikap inferior kita menghadapi kenyataan bahwa kita memang telah ketinggalan jauh. Dan sialnya, kita menariknya sebagai persoalan "harga diri bangsa".  

Kita tutup mata bahwa Malaysia adalah salah satu tujuan banyak warga negara Indonesia menghabiskan masa tua di sana. Sebuah fasilitas program yang memang lumrah dalam jaringan "comenwealth" atau "persemakmuran" yang terbuka bagi siapa saja. Walau tentu saja mereka yang layak, berkecukupan, dan mampu membayar

Ketiga, pada akhirnya yang harus menjadi "tukang cuci" adalah Jokowi. Sebagai seorang pebisnis lintas negara, dia tentu jauh lebih paham tinimbang para politikus yang selalu bekerja dengan landasan "atas nama". Jokowi yang saya pikir akan membereskan persoalan norak ini. Bahwa kebijakan penghentian pengiriman PMI ke Malaysia hanya bersifat temporer dan sesaat saja. Sikap tegas Malaysia yang harus jadi landasan. Di luar mereka tak gentar, mereka justru menantang balik. Siapa yang bakal dirugikan? Ya jelas warga negara kita sendiri.

Persoalan ini harus dipahami melulu "persoalan sosial" yang bila tidak ditangani secara cermat akan menjadi patologi sosial. Yang bila tak cepat ditangani, justru tak lebih pengulangan kasus penutupan "lokalisasi". Yang justru membuat para pekerjanya makin liar dan tersebar tanpa terantisipasi dampaknya. Secara pribadi, saya pernah punya pengalaman mengikuti alur dan jalur keluar masuk TKI ke Malysia melalui "jalur tikus". Yang sial harus saya katakan "jalur tikus" resmi dan tak resmi. Sesuatu yang tak terbayangkan banal, gila dan kejinya.

Dimana pada akhirnya semua orang adalah "oknum". Berbaju resmi dan tak resmi. Sesuatu yang sekali lagi justru setengah diharapkan (dan dirindukan) semua pihak. Ketika aturan diperketat, maka setiap aturan adalah pemasukan buat yang memiliki kewenangan. Itukah yang diharapkan Kementrian Ketenagakerjaan di bawah Ida Fauziah? Sebuah cara redistribusi penuh koruptif dari para pekerja migran yang kita sanjung, tapi sesungguhnya kita adalah para pemerasnya....

Saya hanya melihat satu isyarat nyata: seorang kader dari partai curian. Cara mikirnya tak lebih dari seorang pencuri lainnya....

NB: Malaysia beberapa waktu yang lalu mengalami suatu krisis kepemimpinan di bawah Najib Razak yang terlibat mega skandal dalam perusahaan 1MDB. Hingga membuat politisi senior "merlokne", Mahathir Mohammad yang berusia 93 tahun memaksakan diri turun gunung untuk mengatasinya. Bukan persoalan mudah, karena untuk mengatasi kasus tersebut, pemerintah Malaysia terjerat "hutang yang tidak perlu". Dan mereka harus membayar mahal dengan menjual aset negara.

Dalam kasus penghentian PMI, mestinya Pemerintah RI di bawah Jokowi memahami bahwa pesroalan tersebut sesungguhnya berada di dalam ranah diplomasi Kementrian Luar Negeri. Kementrian Ketanagakerjaan tak lebih pencatat dan dokumentator data. Atau bila memungkinkan adalah yang mempersiapkan "potensi" PMI yang siap di-komuter-kan. Bukannya malah, menjadi seolah2 pengampu satu2nya kebijakan pengiriman PMI.  

Malaysia sudah bagus dan bijak menyediakan dirinya untuk "ditempati", tapi tentu saja ia tak mau "dipermalukan" seperti ini. Lagi2 hal ini menunjukkan etika dan tata krama hubungan luar negeri yang tak cukup sabar, cermat, dan mendalam dipahami oleh pejabat tinggi di negeri ini.

***