Bangsa Penggoreng, Bukan Bangsa Penggodog!

Jokowi masih berada pada tahap transisi, karenanya harus mengampu Ma’ruf Amien dan Prabowo. Karena proses perubahan tak bisa hanya dengan menggoreng belaka. Harus berkompromi.

Senin, 14 Maret 2022 | 07:25 WIB
0
113
Bangsa Penggoreng, Bukan Bangsa Penggodog!
Ilustrasi menggoreng isu (Foto: pinterpolitik.com)

Kesukaan menggoreng, daripada menggodog, menunjukkan citarasa bangsa Indonesia.

Kelangkaan minyak goreng, seolah sebuah akhir jaman atau kiamat. Makanya diombang-ambingkan permainan kartel minyak goreng pun, lebih dibelain antri untuk mendapatkan minyak goreng. Padal, konsumen yang berkarakter dan bermartabat, bisa melawan dengan puasa tak membeli. Tapi apa mampu? Apa mau?

Mana sudi. Sekalipun dari sisi kesehatan, kebanyakan nyamul gorengan juga tak begitu sehat. Lha wong dengan kekayaan rempah dan herbalnya, kita lebih suka fast-food daripada slow-food. Karena menggoreng lebih dirasa sangkil dan mangkus. Cepat, ringkas, efektif, efisien.

Lagian, katanya, karena menggoreng lebih nikmat daripada menggodog, merebus, atau mengukus.

Menggodog atau merebus, lebih membutuhkan waktu. Lebih membutuhkan sentuhan cinta, karena mesti mengukur sampai di mana tingkat kematangan yang maknyus. Kalau menggoreng, sedikit ketuaan atau terlalu matang, sudah ketahuan bentuk dan baunya. Beda dengan menggodog, yang jika disambi-sambi lainnya, tahu-tahu bahkan pancinya bolong karena kematengan.

Dalam pola komunikasi kita, juga kebijaksanaan politik, jualan agama, dan sejenisnya; Kita lebih suka menggoreng daripada menggodog.

Untuk eksis dalam perbincangan, orang-orang Partai Demokrat dan PKS, akan lebih suka menggoreng masalah daripada merebusnya. Bukan hanya dua partai itu ding. Partai lain juga, bahkan yang di pemerintahan macam PKB dan Golkar, yang mewacanakan penundaan Pemilu 2024. Hal itu diamini PAN, agar gorengannya memuluskan jalan menuju koalisi.

Orang jualan agama juga lebih suka gorengan. Dengan mengatakan agamaku paling benar, agama kalian tidak benar. Mereka tidak sabar, bagaimana menggodog atau memasak atau memproses pemahaman liyan dalam syiar yang dhaif. Maunya senggol bacok. Kalau nggak setuju, atau nggak nurut, bisa digebugin atau rumahnya dibakar.

Kalau kita ngomong orang agama, yang suka jualan agama, betapa mereka juga lebih suka gorengan. Menggoreng isu ini dan itu. Sampai perlu shalat di tengah jalan, di atas mobil, dengan teknik lipsync segala. Pakai TOA tentu.
Karena dari sisi management by product, menggoreng itu lebih jelas, cepat, dan mungkin kemrenyes, kriuk-kriuk. Soal sehat dan tidak, urusan belakang, bukan urusan lidah.

Sementara menggodog, atau merebus dan juga mengukus, seperti ritual. Lebih njelimet persiapannya, juga proses memasaknya. Mesti presisi, juga lebih lama, kadang mesti ditunggui. Dan kita, tidak terbiasa dengan management by process seperti itu. Maunya serba cepat. Serba instant.

Mangkanya di negeri penghasil kopi dan rempah yang enak untuk teh-tehan, minuman sachetan lebih dinikmati. Karena dirasa lebih murah tapi tetap enak di lidah. Untuk pewarungnya, minuman sachetan memberi margin keuntungan sangat lebar.

Itu makanya jangan menghina pemilik warmindo. Nanti bisa kayak Rizal Ramli. Nuding darimana Gibran dan Kaesang, bayi kemarin sore, bisa kaya raya dengan jualan martabak dan pisang? Meskipun itu juga suara khas tukang goreng isu.

Begitu banyak proyek pembangunan instan, karena dirasa paling menguntungkan. Kayak misal untuk membangun lap balapan Formula E. Dari kontrak awal sekian puluh milyar, dalam pelaksanaannya melonjak 10M. Itu pun setelah sebelumnya melenyapkan pepohonan di silang Monas.

Atau Proyek Bendungan Bener yang bisa ambyar karena Wadas. Siapa yang bermain? Persoalan proyeksi bendungan untuk ketahanan pangan, jadi terasa ngayawara dibanding penderitaan warga Wadas karena isu kehilangan sumber mata-air. Padal antara Bendungan Bener dan kasus Wadas, adalah dua hal berbeda. Permainan di bawah menjadikan permasalahan bisa ambyar karena peristiwa. Karena nilai setitik, rusak susu sebelah kanan.

Itu semua menunjukkan, bagaimana pragmatisme warisan Orde Soeharto Baru, tak ada matinya. Persis NKRI harga mati. Yang harga tawar, nggak disuka karena nggak pakek gula. Kejahatan ekonomi Soeharto, masih bisa diatasi meski butuh waktu. Tetapi kejahatan kemanusiaannya, memfrozen cara berfikir satu generasi, adalah hutang peradaban yang mesti dibayar supermahal dan superlama.

Jokowi masih berada pada tahap transisi, karenanya harus mengampu Ma’ruf Amien dan Prabowo. Karena proses perubahan tak bisa hanya dengan menggoreng belaka. Harus berkompromi.

Tapi harap hati-hati, jangan mudah sakit hati, kalau kita menganjurkan untuk menggodog atau merebus daripada menggoreng. Karena bisa-bisa kita dituding melakukan pelanggaran hukum dan HAM pada penjual gorengan. Mereka kehilangan mata-pencarian gara-gara kita menyerukan ‘tinggalkan gorengan, mari godogan’. Bisa-bisa pean dihajar para SJW (Social Joker Warrior) dengan tuduhan pembunuhan sistematis, character assassination, pada keluarga penggoreng dan anak-turunnya.

Repot ‘kan? Kan! Karena kita memang bangsa penggoreng. Bukan bangsa penggodog.

***