Pemimpin dan Calon Pemimpin

Dalam demokrasi yang sehat, untuk menentukan siapa Capres dan Cawapres yang akan diusung satu parpol pun, pemegang otoritasnya adalah rakyat. Bukan elit parpol.

Senin, 31 Mei 2021 | 19:02 WIB
0
219
Pemimpin dan Calon Pemimpin
Pemimpin (Foto: finansialku.com)

Sebagai mahluk sosial, di era awal peradaban, setiap kelompok manusia dipimpin oleh orang yang paling kuat secara fisik. Biasanya laki-laki paling besar. Ini benar-benar sama dengan binatang, berlaku hukum rimba. Pemimpin kelompok manusia pada fase ini, selain memimpin aktivitas kelompok, juga menguasai. Kelompok manusia yang dipimpinnya adalah entitas taklukan.   

Tahap berikutnya, kelompok manusia dipimpin oleh orang yang kuat fisiknya dan paling terampil bertarung. Pada fase ini akal mulai berperan. Selanjutnya, figur pemimpin kelompok manusia adalah yang kuat fisiknya, terampil bertarung, dan mampu memimpin kelompoknya untuk berperang dengan kelompok lain. 

Kemudian pemimpin mulai membentuk organisasi (ada masyarakat, wilayah, penguasa, peraturan) berupa kerajaan. Jadilah pemimpin kelompok manusia pada fase ini disebut raja. Raja, bukan hanya memiliki keterampilan bertarung, kekuatan (punya pasukan), tapi juga memiliki kemampuan manajemen dalam memerintah. 

Pada periode awal peradaban manusia bernegara (kerajaan), segala aktivitas, manajemen, strategi yang diterapkan dan melibatkan masyarakat (rakyat), berorientasi pada kepentingan raja dan keluarganya. Untuk menjaga dan mempertahankan kekuasaan raja. Karenanya dikenal istilah upeti dan sejenisnya. 

Pada tahap ini, baik-buruk pemerintahan sangat ditentukan oleh karakter dan sifat sang raja. Bisa bijaksana. Bisa juga semena-mena, bahkan terhadap keluarganya sendiri. Contohnya, permaisuri tak berdaya terhadap suaminya (raja) yang untuk memenuhi nafsu seksnya raja punya puluhan atau ratusan selir. Karena tidak ada kekuatan atau hukum yang membatasi kekuasaan raja. 

Seiring dengan perkembangan peradaban dan kemadanian umat manusia, orientasi dan tujuan hidup bernegara mulai bergeser, dari yang asalnya semua untuk kepentingan raja dan keluarganya, menjadi untuk raja dan kesejahteraan rakyatnya. Dalam catatan sejarah, di berbagai belahan dunia proses pergeseran orientasi ini, umumnya diwarnai dengan pergolakan, pemberontakan, dan pertumpahan darah.         

Hasil dari proses ‘perubahan’ itu adalah negara monarki parlementer, yang mempertahankan sistem kerajaan. Atau, bentuk negaranya berubah menjadi negara demokrasi, dipimpin oleh Presiden atau Perdana Menteri. Raja dan kerajaan dihapus sama sekali.   

Di era modern state, fungsi pemerintahan di negara kerajaan tidak lagi dijalankan oleh raja, kecuali di Arab Saudi, Jordania, Marroko, Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Brunei Darussalam. Pemerintahan dijalankan oleh ‘profesional’. Pemerintah (presiden atau perdana menteri) bisa dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih oleh parlemen. 

Tentu saja banyak orang atau kelompok yang ingin menjadi kelompok penguasa (ruling party). Maka berhimpunlah orang-orang yang ingin duduk di pemerintahan (dan parlemen) untuk membentuk partai politik, sesuai haluannya masing-masing. 

Pada bagian ini jelas, pemimpin negara ditentukan oleh rakyat, karena tujuan dari dibentuknya negara adalah untuk mensejahterakan rakyat. Sehingga, yang menentukan siapa yang jadi pemimpin dan kelompok (partai politik) mana yang berkuasa, ditentukan oleh rakyat.   

Bisa disimpulkan, tujuan dari dibentuknya partai politik adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, melalui pemerintahan (jika menang pemilu). Bukan semata untuk mengakomodasi kepentingan politik para petinggi partai. Bahkan, partai politik itu didirikan, dimiliki oleh semua anggota dan simpatisannya. 

Pemimpinnya bisa (dan begitulah lumrahnya) berganti kapan saja. Teorinya, partai politik yang sehat tidak dimiliki atau dikuasai oleh seseorang atau satu keluarga, klan. Partai politik bukan fans club. 

Menjadi besar atau kecil, bersinar atau redupnya satu partai politik, ditentukan oleh program dan kebijakan yang ditawarkannya. Adapun tokoh yang bisa menjadi magnet penarik simpati rakyat, karena tokoh itu dinilai memiliki kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, berintegritas tinggi, serta pandai. 

Untuk membuktikan seorang calon pemimpin nasional itu ‘pandai’ ya digelar forum tanya jawab, semacam uji publik. Biarkan dia duduk SENDIRI di panggung, mempresentasikan segala yang akan dia lakukan jika terpilih menjadi presiden. Tanpa didampingi siapapun, tidak membawa gadget. 

Dia harus menjawab berbagai pertanyaan dari lawan politiknya, akademisi, pakar, profesional, pelaku bisnis, mahasiswa dan wartawan. Pertanyaannya bebas, tanpa settingan. Orang yang pantas jadi pemimpin nasional niscaya akan mampu menjawab semuanya dengan baik. Minimal, jawabannya nyambung dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Calon pemimpin yang layak tidak bakalan terdiam atau celingukan. Forum itu harus bisa disaksikan oleh seluruh rakyat, disiarkan secara langsung oleh televisi ke seluruh negeri.    

Di Indonesia, peran tokoh partai relatif masih signifikan dalam menarik simpati rakyat. Misalnya, Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP. Tapi, mohon dicatat faktor terbesar yang menjadikan PDIP sebagai parpol besar, bukan Megawati. Tapi rakyat. Buktinya, pada Pileg 2004 PDIP meraih 18,53% suara, tertinggi kedua setelah Partai Golkar, 21,58%.

Tapi, pada Pilpres langsung Megawati kalah dari SBY, tokoh Partai Demokrat yang hanya meraup suara 7,45%. Begitupun pada Pileg 2014, Partai Demokrat di bawah SBY yang menjadi Presiden RI selama dua periode (10 tahun) hanya meraih 10,19% suara, hanya setengah dari perolehan suara Pileg 2009, 20,85%. Ini membuktikan bahwa, penilaian rakyat terhadap figur tokoh partai pun sifatnya dinamis. Di Pileg tahun 2014 rakyat meninggalkan SBY.  

Tokoh parpol dicintai dan didukung rakyat, hanya selama dia berpihak pada rakyat dan berkinerja baik. Jika tidak, ya ditinggalkan. Sekali lagi, yang menentukan siapa yang pantas dan akan dipilih menjadi pemimpin itu bukan calon pemimpin itu sendiri, tapi rakyat. Paham ya?

Di negara-negara maju, setiap posisi penting di pemerintahan diisi oleh orang-orang terbaik di bidangnya. Seperti satu tim sepakbola. Selama belum ada yang lebih baik dari Ronaldo, ujung tombak Timnas Portugal tidak akan ditempati pemain lain. Tidak ada yang protes atau komplen. Karena begitulah harusnya. Mereka menerapkan merit system atau sistem prestasi di segala bidang. 

Merit system menuntut kesadaran dan kedewasaan dari lingkungan internal organisasi dan para stakeholder. Tujuannya jelas, untuk meningkatkan produktivitas. Seseorang menempati satu jabatan dipilih atas dasar kapabilitas, kompetensi, dan prestasinya. Bukan karena pertimbangan lain. 

Konsep ini efektif mereduksi distorsi dalam organisasi dan birokrasi. Praktik nepotisme atau primordialisme dalam rekrutmen pejabat publik menjadi aib yang terlihat dan memalukan. 

Meritokrasi merupakan antitesis atas spoils system, yang juga dikenal dengan sistem patronase atau sistem rampasan. Spoils system pertama kali dipopulerkan pada tahun 1812 dan diterapkan dalam pemerintahan Andrew Jackson, Presiden ke-7 Amerika Serikat pada tahun 1829. 

Baru pada tahun 1883, di masa pemerintahan Presiden Chester Alan Arthur, Kongres meluncurkan Undang-Undang Dinas Sipil Federal Pendleton tahun 1883. Undang-undang ini memberikan dasar awal untuk penerapan sistem prestasi (merit system) dalam perekrutan pejabat federal. 

Memasuki abad ke-20 sistem prestasi sudah sepenuhnya diterapkan, menggantikan sistem rampasan. Indonesia, pasca jatuhnya Soeharto di tahun 1998, kita sudah sepakat memilih demokrasi sebagai jalan politik. 

Demokrasi dipilih untuk meningkatkan kualitas hidup Bangsa Indonesia, mencapai masyarakat adil dan makmur. Dipahami sepenuhnya atau tidak, kita sudah memilih demokrasi, dengan segala konsekuensi, kelebihan, dan kekurangannya. 

Pemimpin dipilih secara demokratis. Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan anggota parlemen dipilih langsung oleh rakyat. Rakyatlah penentunya, bukan para calon pemimpin atau partai politik. Salah satu manifestasi dari demokrasi adalah Calon Presiden hanya bisa diajukan oleh partai politik atau koalisi partai politik yang mempunyai jumlah kursi tertentu di parlemen (presidential threshold).

Untuk bisa memenangi pilpres dan menghasilkan pemimpin baik, seyogyanya partai-partai politik memiliki mekanisme yang kredibel dan empirik, untuk menentukan siapa tokoh terbaik (bisa dari internal partai atau dari luar) yang akan ditawarkan kepada rakyat sebagai calon pemimpin nasional. 

Di Amerika Serikat, dua partai besar (Demokrat dan Republik) untuk menentukan siapa sosok yang akan didorong menjadi Calon Presiden dan Wapres, mereka melakukan ‘Pemilu Partai’ di seluruh negara bagian, termasuk menggelar debat. Pemenangnya menjadi Capres dan Cawapres partai masing-masing. 

Dalam demokrasi yang sehat, untuk menentukan siapa Capres dan Cawapres yang akan diusung satu parpol pun, pemegang otoritasnya adalah rakyat. Bukan elit parpol. Dengan begitu semuanya menjadi fair dan akuntabel. Kalau kemudian di Pilpres kalah, ya terima dengan ksatria, karena pemenang Pilpres hanya satu pasang calon.

***