Pemimpin "Sing Solutip"

Pemimpin memang dilahirkan oleh rakyat. Jika rakyat berubah baik, semoga melahirkan pemimpin yang lebih baik lagi. Pemimpin yang tidak baperan.

Kamis, 8 Juli 2021 | 16:11 WIB
0
150
Pemimpin "Sing Solutip"
Ilustrasi pemimpin (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Ketika masyarakat Jepang tergila pada segala jenis fast-food, serapan produksi beras mereka macet. Itu memunculkan problem. Pemerintah sebagai pemegang regulasi, mengambil keputusan (sesuai posisi secara politik sebagai eksekutif, yakni mengeksekusi), membuat aturan anak-anak sekolah wajib sarapan nasi.

Dengan tingkat kedisiplinan masyarakat (bukan hanya faktor keterdidikan melainkan juga aturan hukum yang dijalankan secara persisten oleh Pemerintah), para orangtua Jepang yang mempunayi anak sekolah, mau tak mau menyiapkan sarapan anaknya dengan nasi. Sebagai warga negara dengan kultur hemat (sederhana dan apa perlunya), orangtua pun ‘mau tak mau’ ikut sarapan nasi (yang mereka olah sendiri). Hasilnya, serapan beras nasional kembali normal.

Seorang sosiolog Jepang pernah berkata; Kedisiplinan masyarakat bisa dilihat bagaimana mereka ketika berada di jalan umum. Dari sana kita melihat, orang Jepang berkendara atau berlalu-lintas di jalan raya. Dalam time-lapse film dokumenter Baraka, kita bisa melihat semacam permainan puzzle antara penyeberang jalan dan laju kendaraan. Mekanis. Meski ramai, tetapi tidak terjadi kemacetan atau kekacauan.

Orang Jepang, naik escalator atau tangga berjalan, selalu berdiri di sisi kiri. Membiarkan ruang kosong di sebelah kanannya. Jika berombongan, semuanya akan berada di posisi kiri secara berurutan. Tidak bergerombol memenuhi area. Ruangan kosong di kanan, untuk memberi jalan bagi yang tak sabar atau karna diburu waktu.

Tak ada yang makbedunduk. Semuanya by process. Dari sejak kanak-kanak. Di sekolah mereka diajari praksis berkendaraan dengan aturan-aturan lalu-lintas. Budaya shitsuke (disiplin) adalah pelajaran wajib. Untuk menumbuhkan kreativitas dan produktivitas, dimunculkan karakter kartun seperti Dora Emon dengan kantong ajaibnya. Siap melayani apapun permintaan kita. Tidak ada jawaban, “Wah, lagi kosong je. Ndak ada barangnya. Situ telat sih, tadi ada.”

Singapura sekarang, aturan bersama menjadi agama sosial (social religion). Juga tidak mak-bedunduk. Lee Kuan Yew awalnya juga menghadapi resistensi masyarakatnya. Tetapi ia persisten dengan doktrinnya, “Saya yang memimpin, saya yang mengatur’. Hingga agama hanya ada di ruang private.

Negara bisa memenjarakan sesiapa yang jualan agama di ruang publik. Masyarakatnya patuh, karena pemerintah tegas menegakkan aturan. Tak ada kompromi, apalagi karena tekanan majoritas, atau mban cindhe mban siladan. Diskriminasi karena nganu tertentu.

Namun itu hanya bisa tumbuh dari kepemimpinan yang bukan berdasar pathos belaka (yang menjadi pilihan kebanyakan politikus kita hari ini). Membayangkan diri punya kapasitas pemimpin, hanya karena kedekatan etnis, agama, budaya, ataupun kesamaan ideologi. Tanpa ethos dan logos, pemimpin seperti itu hanya memunculkan fanatisme buta. Menjadi tidak proporsional. Kritik tak dimungkinkan dalam situasi itu. Apalagi jika sudah ewuh-pakewuh. Sungkanisme.

Pentingnya ethos dan logos, agar demokrasi tak mendidik pemimpin menjadi otoriter. Atau kepemimpinan yang transaksional. Pemimpin yang memiliki ethos ialah yang dapat dipercaya. Apa yang diucapkan berdasar fakta dan kebenaran. Terdapat tata nilai yang dijunjung tinggi.

Logos, pemimpin mempengaruhi orang lain dengan menyampaikan sesuatu yang masuk akal. Bukan dengan membual atau berkhayal, atau apalagi membangun narasi pesimistis. Pemimpin seperti itu (tanpa logos), hanya memberikan mimpi kosong. Meninabobokan masyarakat, hingga frustrasi sosial yang melahirkan apatisme politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemimpin memang dilahirkan oleh rakyat. Jika rakyat berubah baik, semoga melahirkan pemimpin yang lebih baik lagi. Pemimpin yang tidak baperan. Menurut Bu Tejo dalam film ‘Tilik’; “Sing solutip ngono lho, Yu! 

@sunardianwirodono

***