Wadah Pegawai KPK, Biang Kerok Kekisruhan

Novel bergerak liar tanpa ada berani yang menegurnya. Padahal sebagai penyidik kerjanya diam dan senyap. Novel menjelma sebagai aktivis dalam tubuh penegak hukum.

Jumat, 4 Juni 2021 | 15:40 WIB
0
566
Wadah Pegawai KPK, Biang Kerok Kekisruhan
Wadah Pegawai KPK (Foto: CNN Indonesia)

Pada tanggal 1 Juni 2021 pimpinan KPK Firli Bahuri melantik 1.271 pegawai KPK menjadi ASN karena alih status. Namun, ada 51 pegawai KPK yang diberhentikan karena tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaandan ada 24 pegawai KPK yang masih dibina supaya bisa menjadi ASN.

Ontran-ontran (Jawa) atau ribut-ribut di lembaga penegak hukum KPK ini-sebenarnya "biang keroknya" yaitu Wadah Pegawai KPK itu sendiri. Seperti kita ketahui, wadah Pegawai KPK ini ketua pada periode pertama yaitu Novel Baswedan dan periode selanjutnya yaitu Yudi Purnomo.

Mengapa Wadah Pegawai KPK menjadi "biang kerok" keributan selama ini?

Wadah Pegawai KPK ini bukan seperti organisasi serikat buruh yang memperjuangkan kesejateraan buruh lewat tuntutan kepada perusaan untuk menaikkan upah buruh. Tapi Wadah Pegawai KPK ini mempunyai tujuan politis sebagai "bargaining" atau sebagai posisi tawar atau menekan kepada pimpinan KPK kalau dirasa tidak sesuai keinginan mereka.

Bahkan Wadah Pegawai KPK ini juga bercita rasa aktivis atau LSM. Mereka juga membangun jejaring kepada LSM, media massa tertentu atau akademisi yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi.

Novel Baswedan pernah mengirim surat lewat email kepada mantan Direktur Penyidikan pada waktu itu dijabat Aris Budiman. Dalam surat email tersebut, Novel Baswedan menolak Aris Budiman mengangkat penyidik dari institusi polri dengan mengatasnamakan sebagai ketua Wadah Pegawai KPK. Padahal sebagai Direktur Penyidikan Aris Budiman punya wewenang untuk mengangkat tambahan penyidik dari institusi polri. Dan jabatan Aris Budiman sebagai Direktur Penyidikan lebih tinggi dibanding Novel Baswedan.

Hingga puncak kekesalan Aris Budiman menghadiri undangan pansus hak angket terkait lembaga KPK di DPR. Momen ini digunakan Wadah Pegawai KPK untuk memperkarakan Aris Budiman karena dianggap melanggar kode etik hadir di DPR tanpa ada persetujuan atau restu pimpinan KPK.

Aris Budiman harus menghadapi sidang kode etik dan diputus bersalah karena hadir di DPR. Akhirnya Aris Budiman ditarik kembali ke institusi polri dan sekarang menjabat sebagai Kapolda Kepri atau Kepulauan Riau.

Aris Budiman juga mengeluhkan anak buanhya tersebut karena sangat berkuasa dan ia merasa tidak punya wewenang apa-apa sebagai Direktur Penyidikan.

Novel Baswedan juga diberi SP2 karena telah berkirim email kepada Direktur Penyidikan yaitu Aris Budiman. Namun SP2 tersebut dicabut atas desakan Wadah Pegawai KPK. Begitu berpengaruhnya Wadah Pegawai KPK ini hingga bisa mencabut SP2 yang diberikan oleh pimpinan KPK.

Wadah Pegawai KPK ini ingin mengangkat penyidik sendiri diluar dari penyidik polri. Mereka ingin menyingkirkan penyidik polri yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka menganggap atau merasa paling berintergritas dan bersih.

Bahkan Alexander Marwata yang merupakan anggota pimpinan KPK yang kepilih pada periode kedua kalinya pernah menceritakan kepada pansel KPK dalam tes wawancara dengan Harkristuti Harkrisnowo. "Bahwa ke depan perlu ada pengawasan atau kontrol kepada para penyidik atau satgas KPK karena mereka sangat bebas dan harus diawasi".

Bahkan yang bersangkutan juga mengeluh karena sebagai pimpinan KPK ketika meminta Berita Acara Pemeriksaan atau BAP tidak diberikan. Padahal pimpinan KPK lah yang mengeluarkan surat perintah penindakan atau sprindik.

Makanya Wadah Pegawai KPK ini paling keras menolak revisi UU KPK yang baru dengan adanya Dewan Pengawas. Karena akan terganggu kepentingan politis mereka. Mereka tidak mau diawasi atau dikontrol.

Alexander Marwata juga pernah menceritakan dalam tes wawancara tersebut pada waktu menjabat periode pertama dengan ketua pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo, tak jarang dalam menentukan seseorang menjadi tersangka dengan cara voting. Kalau ada lima pimpinan KPK, maka dibutuhkan 3 suara untuk menentukan seseorang itu menjadi tersangka.

Padahal jargonya kolektif kolegial. Maka tak heran kalau ketiga pimpinan KPK waktu itu yaitu Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Laode M Syarif pernah mengembalikan mandat pimpinan kepada presiden, bahkan Saut Situmorang pernah mengundurkan diri sebagai penolakan revisi UU KPK. Hanya saja tidak jadi mengundurkan diri. Omdo!.Padahal tidak ada istilah mengembalikan mandat sebagai pimpinan KPK dan jelas sekali mereka menggunakan kosata politis yaitu mandat.

Wadah Pegawai KPK ini juga menolak alih status pegawai menjadi ASN dengan alasan sebagai bentuk pelemahan. Tapi mengapa sekarang mereka menuntut untuk dilantik menjadi ASN. Ini kan sama saja "dipoyok dilebok".

Novel Baswedan juga sering bicara melebihi kapasitasnya sebagai penyidik. Dia seolah bebas bicara kepada siapa saja dan diundang media massa dan menghadiri tanpa ada restu atau persetujuan pimpinan KPK.

Novel bergerak liar tanpa ada berani yang menegurnya. Padahal sebagai penyidik kerjanya diam dan senyap. Novel menjelma sebagai aktivis dalam tubuh penegak hukum.

Padahal mantan Direktur Penyidikan Aris Budiman dijatuhi hukuman bersalah karena hadir di DPR tanpa restu atau persetujuan pimpinan KPK. Mengapa tidak berlaku dengan Novel yang melanggar kode etik? Jawabnya: pimpinan KPK tidak berani karena takut dituduh yang tidak-tidak, karena Novel banyak mendapat dukungan dari aktivis, LSM, tokoh masyarakat dan akademisi.

Baca Juga: Mengungkap Tabir Pegawai KPK Tidak Lulus TWK

Lihat saja mereka membangun opini wira-wiri mencari dukungan. Ke PGI dan MUI dengan narasi yang mereka bangun. Mereka akan memegang apa saja yang dikiranya bisa menyelamatkannya. Seperti orang hanyut memegang dahan atau rerumputan yang sebenarnya mereka tahu bahwa dahan atau rerumputan itu tidak akan sanggup menyelamatkannya.

Bagaimana bisa lembaga penegak hukum ada Wadah Pegawai yang bertujuan politis? Di insitusi Polri dan Kejaksaan tidak wadah pegawai seperti yang ada di KPK. Bisa runyam kalau di institusi itu ada Wadah Pegawai seperti yang ada di KPK.

Yang bikin tambah runyam, seringkali mantan pimpinan KPK suka ikut nimbrung lewat pernyataan atau komentar yang sifatnya provokasi atau memanasi.

Sebenarnya tak heran kalau mereka begitu, karena latar belakang mereka ada yang berasal dari aktivis atau LSM. Dan ini pernah ada atau terjadi di institusi Polri dan Kejaksaan dimana mantan Kapolri atau Jaksa Agung ikut nimbrung dilembaga yang pernah dipimpinnya kalau ada masalah yang menyita perhatian masyarakat atau publik.

"Biang kerok"? Yaa... kamulah biang keroknya!

***