Enak Dibacem

Kembali ke cara Jawa yang tak suka bertarung frontal, memilih sedapat mungkin berkompromi, sebenarnya ini sejalan dengan banyak orang hebat.

Senin, 28 Desember 2020 | 12:04 WIB
0
317
Enak Dibacem
Tempo dan berita soal Gibran (Foto: Portal Islam)

Sekarang sudah tahu penyelesaian cara Jawa kan? Yang kemarin musuh, hari ini bisa jadi outsourcing di kantor kita. No hard feelings...

Ada yang bilang ini justru sadis, karena mempermalukan para pendukung yang sudah mati-matian mengadakan perlawanan dan melempar kutukan. Dibela-belain berjahat, padahal berbuat jahat itu dosa.....

Tergantung dari mana cara melihatnya. Dalam konsep Jawa, yang penting masalah secara umum selesai, tidak menimbulkan keburukan baru. Bahwa ada yang kurang terima dengan hasil tersebut, diharap bila ingin bahagia, mereka bisa menata hati sendiri. Kalau bahagia dengan rasa tidak bahagia, silahkan memendam kejengkelan. Sampai akhir zaman juga boleh, asal kuat.

Ada yang bilang ini tidak baik bagi pembelajaran politik blablabla. Orang jadi kehilangan idealismenya. Mungkin sih. Tapi kompromi itu juga ilmu yang mesti dipelajari. Sebab idealisme, tetaplah hanya menjadi cita-cita yang sulit terwujud saat kita tak berkompromi.

Apalagi idealisme menyangkut ideologi. Sebab ideologi selalu ibarat magnet, ada yang menjadi pengikutnya sampai berani mati, juga ada yang memusuhi dan mencibirnya serta berani menghalaunya sampai mati.

Tanpa kompromi ideologi hanya akan tertulis megah di textbook tanpa bisa mewujud di alam nyata. Apalagi bila kita percaya semua sistem, semua teori, semua ideologi punya sisi lemah. Mengusungnya setengah mati tanpa kompromi hanya menjadikannya berhala baru.

Jadi terhadap KKN kita harus berkompromi. Kompromi gundulmu.. Lepas dari siapa yang memimpinnya, bila berkait korupsi, arah penyelenggaraan negara berprogres jauh lebih baik pada dekade terakhir. Melihat memang harus jangka panjang. Dekade terakhir mulai banyak pengungkapan kasus korupsi, meski mungkin juga masih jauh dari yang kita harapkan.

Hanya kasus upil yang tercungkil. Kasus besar tetap belum tersenggol. Tanpa membenarkan apa yang dilakukan Juliari Batubara, praktek yang dilakukan Juliari itu jamak terjadi di dunia proyek. Karena memang begitulah bangsa Indonesia, bangsa yang giat dan hobi cari makan dari makelar, dan insentif dagang lain, namun malas produksi.

Makelar mafia minyak misalnya, dalam skala yang jauh lebih besar daripada urusan bansos. Periodik pula, tak sebatas hanya saat pandemi.

Mau memberantas premanisme, benahi mental kita dulu agar tak mau hidup enak saja. Misalnya memilih menjadi preman paling tak kentara, tukang parkir. Konon banyak orang di desa tak mau lagi bertani karena bertani perlu sabar dan tak pernah pegang cash.

Mereka berlomba-lomba ke kota jadi tukang parkir. Konon bahkan kejatuhan Ahok didahului preman parkir yang jengkel karena perparkiran Jakarta diambil alih mesin. Masih ditambah sistem transportasi umum yang membaik kian menggerus pendapatan mereka.

Mereka para pehobi calo ini kelak tanpa ampun akan tergusur oleh teknologi. Aplikasi-aplikasi seperti BL, Tokoped, marketplace, bahkan pengadaan elektronik di pemerintahan, akan pelan-pelan menghapus karir mereka.

Makanya produksi dong. Wirausaha. Paling tidak untuk konsumsi sendiri, dibarter sama barang dan jasa lain. Pelan-pelan akan punya pasarnya sendiri. Tapi produksi itu capek... ah hasilnya sebanding kok. Tukang kayu biasa kerja keras akhirnya jadi presiden.

Premanisme juga bisa dikikis dengan perbaikan ekonomi. Pemerataan ekonomi, kata para ahli dengan galak. Itu benar, tetapi pemerataan ekonomi baru dapat diupayakan dengan stabilitas. Pemerintah yang tidak dibuat tekor cuma untuk mengurus demo urakan tiap waktu. Eh tapi demo ada bagi-bagi nasi bungkus lho, itu juga pemerataan ekonomi. Gundulmu. BST dan bansos lebih mengefek...

Terus kalau media dibungkam, kita tak boleh menyatakan pendapat dan tak boleh demo gitu? Demo boleh asal tertib. Tapi ini masa pandemi, berkumpul berlebihan potensial menularkan penyakit. Covid sangat menular. Media dibungkam, gundulmu... Justru media jauh lebih bebas dari dekade-dekade lalu. Bahkan presiden diberitakan jelek pun jarang bereaksi dan menyatakan prihatin.

Media juga sering bias, punya kepentingan politik. Misalnya bikin berita seolah-olah seseorang merekomendasikan suatu perusahaan dapat tender. Hanya dari sumber yang disebut katanya. Mengapa tidak menginvestigasi proyek-proyek yang terindikasi lebih berbau korupsi. Pengadaan berlipat kali harga pasar misalnya. Halte seharga rumah real estate.

Ini investigasi yang hebat kan. Juga bagi komite anti korupsi, ini bakal jadi wujud integritas. Kita mungkin terlalu fokus mengkritisi pemerintah, tapi lupa mengkritisi institusi negara lainnya. KPK misalnya, kok hobinya tangkap tangan kelas teri mulu.

Kembali ke cara Jawa yang tak suka bertarung frontal, memilih sedapat mungkin berkompromi, sebenarnya ini sejalan dengan banyak orang hebat. Paus Fransiscus misalnya, semasa masih menjadi pastor di Argentina memilih berkompromi dengan junta militer. Untuk menghindari kehancuran dan kebiadaban yang lebih besar terhadap musuh-musuh politik junta. Kelak Paus terkenal dengan ucapan, lebih baik membangun jembatan daripada tembok.

Kompromi artinya tak memelihara perselisihan. Berdamai. Konon survival the fittest, kunci lestarinya peradaban bukan karena adu kuat. Tetapi siapa yang paling harmoni, paling berdamai dengan sekitarnya. Tidak percaya? Buktinya kebanyakan obral jigong dapatnya cuma penjara. Nggak ada yang mau jadi pengacara pembelanya lagi.

Mungkin karena terlalu banyak hati yang telah disakiti. Terlalu banyak yang dimusuhi.

#vkd

PS: enak dibacem dan perlu