Rizal Ramli dan Perkara TKA China di Indonesia

Di tengah kondisi ekonomi yang mengalami hempasan akibat pandemi tak seharusnya elit politik memantik percikan api rasisme yang berpotensi membakar rumput kering di tengah kemarau.

Minggu, 3 Mei 2020 | 14:43 WIB
0
547
Rizal Ramli dan Perkara TKA China di Indonesia
TKA China (Foto: kendaripos.co.id)

Dituduh rasis karena menolak China, Rizal Ramli menjelaskan kalau yang ditolak itu China sebagai negara bukan etnis Tionghoa. Rizal benar, negara dan etnik itu berbeda. Namun satu hal yang seharusnya juga sadari banyak orang kalau kedekatan pemerintah Indonesia dengan pemerintah China didasari karena hubungan bisnis, bukan karena pertimbangan etnis atau kedekatan idiologi tertentu kedua pemerintahan.

Meminjam logika Rizal Ramli, yang difasilitasi pemerintah Indonesia bukan etnis Tionghoa melainkan investasi yang datang dari China sebagai negara. Hanya saja dalam berinvestasi China selalu memboyong tenaga kerja sendiri.

Serangan terhadap pemerintah seringkali bersifat prejudice yang menganggap kedekatan pemerintah Indonesia dengan rezim Komunis China karena hubungan idiologis. Beragam isu terkait kedekatan idiologi antara Jokowi dengan pemerintah komunis China terus digoreng, halnya dengan serangan terhadap pribadi Luhut Binsar Panjaitan karena dianggap memprioritaskan tenaga kerja China.

Bahkan ekonom sekelas Faisal Basri tiba-tiba terserang demensia, tidak bisa memosisikan diri sebagai pengamat yang bisa melihat masalah tanpa harus menyerang pribadi orang lain.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sendiri mencatat 5 negara dengan investasi terbesar di Indonesia. Singapura masih di urutan teratas dengan nilai investas sebesar USD 6,50 miliar atau sekitar 23,1% dari total PMA. Di posisi kedua ditempati Tiongkok USD 4,74 miliar atau sekitar 16,8% dari total PMA, sementara Jepang menempati posisi ketiga dengan nilai investasi sebesar USD 4,31 miliar atau 15,3% dari total PMA. Hongkong, RRT dengan investasi sebesar USD 2,89 miliar atau 10,2% dari total PMA dan Belanda di urutan kelima dengan nilai investasi USD 2,59 miliar atau 9,2% dari total PMA.

Berbeda dengan investasi Singapura di sektor manufaktur yang berharap dan diuntungkan dengan ketersediaan tenaga kerja yang melimpah di Indonesia, China sebaliknya memanfaatkan warga negaranya dalam mengelola investasinya.

Menurut Devi Asiati, Peneliti Ketenagakerjaan P2K LIPI, keterlibatan tenaga kerja China mengerjakan sendiri investasinya karena, pertama disebabkan oleh kebijakan pemerintah China mengenai law of the control of the exit and entry citizen pada 1986 yang mendorong tenaga kerja ke luar negeri seiring dengan investasinya karena di negaranya terjadi surplus tenaga kerja.

Kedua, hubungan kerjasama investasi Indonesia dengan China melalui Joint Statement on Strenghtening Comprehensive Strategic Partnership di 2015. Sementara bagi Zulfikar Rakhmat, Peneliti Associate INDEF fenomena ini tidak mengherankan. Alasan mengapa pemerintah China lebih cenderung menggunakan pekerja dari negara asalnya karena akan lebih mudah bekerja dengan rekan sebangsa sehingga level manajerial dan direksi direkrut langsung dari Negeri Tirai Bambu. Hal yang sama akan dilakukan Indonesia andai berada di posisi China.

Ekspansi China dalam perdagangan global berawal dari proyek ambisius Presiden Xi Jinping yang disebut "The Belt and Road Initiative". Jinping berambisi memperluas jalur perdagangan globalnya dengan membangun infrastruktur rel kereta api dan jalan raya yang dimulai dari China, Asia, Turki dan Eropa, belt adalah jalur laut, pembangunan pelabuhan serta jembatan.

Ambisi Jinping bertemu dengan mimpi Jokowi yang ingin mempercepat proyek infrastruktur pada periode kedua masa jabatannya. Di Indonesia proyek infrastruktur strategis yang didanai China meliputi proyek seperti, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, pabrik baja di Morowali, Pembangkit Listrik Tenaga Air di Kalimantan termasuk proyek Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika yang didanai lewat Asian Investment Infrastructure Bank (AIIB). Tidak ada yang salah dengan mimpi seorang pemimpin yang punya ambisi mempercepat pertumbuhan serta pemerataan untuk mensejahtrakan rakyatnya.

Perdebatan menyangkut strategi pembangunan dengan prioritas pembangunan infrastruktur yang bertumpuh pada investasi dalam dan luar negeri ini merupakan debat lama. Mereka yang umumnya bersuara lantang seperti Rizal Ramli atau Said Didu pernah terlibat di bawah rezim pembangunanisme ini.

Rizal sendiri beberapa kali menempati jabatan strategis dipemerintahan, Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Menteri Koordinator bidang Perekonomian, serta Menteri Keuangan Indonesia pada Kabinet Persatuan Nasional pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Bahkan di periode pertama pemerintahan Joko Widodo, Rizal Ramli diberi kewenangan mengurus masalah kemaritiman sebagai Menteri Koordinator Maritim.

Sementara Said Didu yang meniti karir sebagai PNS dan beruntung menjabat sebagai Sekretaris Kementerian BUMN di 2005 dengan posisi terakhir sebagai staf khusus Menteri ESDM di periode pertama Jokowi. Berbeda misalnya dengan Arief Budiman yang sejak orde lama, orde baru hingga reformasi memilih tetap berada di luar kekuasaan dan mendedikasikan diri sebagai oposan terhadap kekuasaan yang mengagungkan developmentalisme.

Bagi penganut strategi tricle down efect dengan dorongan kuat (big push) Jokowi dipandang memiliki pencapaian tertinggi dibanding rezim pemerintahan sebelumnya pasca Soeharto.

Menjadi kritis terhadap rezim penguasa memang tidak berarti harus beroposisi terhadap negara. Hanya saja sebagai elit terdidik yang memahami etika serta pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang dikritiknya dengan paradigma pembangunan yang sama, seharusnya saat berada dalam kekuasaan mereka bisa bekerja maksimal melakukan perubahan dari dalam, namun nyatanya sulit.

Di tengah kondisi ekonomi yang mengalami hempasan akibat pandemi tak seharusnya elit politik memantik percikan api rasisme yang berpotensi membakar rumput kering di tengah kemarau.

***