Fanatisme, Rasionalisme, dan Jokowi

Kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019, menunjukkan bahwa kaum rasionalis di Indonesia jumlahnya cukup banyak. Ini kabar gembira.

Sabtu, 25 Januari 2020 | 19:52 WIB
0
228
Fanatisme, Rasionalisme, dan Jokowi
Joko Widodo (Foto: Kompas.com)

Saya tidak menemukan padanan kata untuk kata ‘fanatik’ atau ‘fanatisme’. Fanatik berbeda dengan patuh atau taat. Untuk sampai pada ‘patuh’ atau ‘taat’ harus melalui proses berpikir, kemudian memutuskan untuk ‘patuh’ atau ‘taat’. Selain itu, berbeda dengan ‘patuh’ atau ‘taat’, dalam ‘fanatisme’ ada kandungan ‘rasa suka’ dan penghormatan, atau sebaliknya.

Karenannya, fanatisme juga identik dengan sensitivitas. Jika ada pihak yang mengusik obyek dari fanatisme seseorang, akan dianggap sebagai tindakan konfrontatif, menyinggung. Argumen orang atau kelompok ‘fanatik’ (terhadap apapun), akan diawali dengan kata ‘pokoknya’.

Wikipedia menjelaskan, ‘fanatisme’ adalah paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Filsuf George Santayana mendefinisikan fanatisme sebagai, "melipatgandakan usaha Anda ketika Anda lupa tujuan Anda."

Sementara menurut Winston Churchill, "Seorang yang fanatik tidak akan bisa mengubah pola pikir dan tidak akan mengubah haluannya". Bisa dikatakan, seseorang yang fanatik memiliki standar yang ketat dalam pola pikirnya dan cenderung tidak mau mendengarkan opini maupun ide yang dianggapnya berbeda apalagi bertentangan dengan yang diyakininya.

Sikap atau sifat fanatik hanya pas diterapkan terhadap klub sepakbola, jenis musik, agama, aliran, dan sejenisnya. Fanatisme sifatnya eksklusif, internal, subyektif, final, tidak bisa diperdebatkan di ruang publik. Jadi, segala sesuatu yang menjadi obyek dari sikap dan sifat fanatik atau fanatisme, termasuk agama, bukan domain publik.

Karena fanatisme berkaitan dengan keyakinan dan rasa yang dikendalikan oleh syaraf, fanatisme sifatnya given dan final. Dalam satu sistem yang dibangus dengan pondasi fanatisme (terhadap satu obyek), biasanya berlaku sistem paternalistik (top down), hirarkis yang kuat, dan metoda indoktrinatif.

Seseorang yang dengan fanatik menyukai lagu-lagu dangdut Rhoma Irama, tidak bisa dipaksa untuk menyukai lagu-lagu balada Franky, misalnya. Atau, seorang pendukung fanatik Manchester United tidak akan bisa dipaksa untuk mengagumi Liverpool, meski dengan cara, penjelasan, dan fakta apapun.

Tapi sebenarnya, meskipun sifatnya permanen, sejatinya fanatisme tidak mendorong subyeknya (orangnya) untuk bersikap konfrontatif, ofensif, represif, apalagi agresif terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda keyakinan, beda rasa suka. Sekalipun kelompok fanatisme itu mayoritas. Prinsip sosial yang harus dipegang orang atau kelompok fanatik (terhadap apapun), adalah ko-eksistensi damai.

Dalam banyak hal, kebalikan dari fanatisme adalah rasionalisme, yaitu kebenaran haruslah ditentukan atau didapatkan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta. Hukum-hukum rasionalisme sifatnya inklusif (terbuka), independen, obyektif, dan berlaku universal.

Hukum-hukum rasionalisme menjadi landasan ilmu pengetahuan dan terknologi serta pengembangannya. Tidak hanya dalam sains, akan tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial. Sehingga, perkembangan peradaban manusia juga didasarkan pada prinsip-prinsip rasionalisme.

Fanatisme dan rasionalisme akan bersinggungan ketika membahas politik, negara, dan kepemimpinan. Dikotomi fanatisme dan rasionalisme dalam konteks politik praktis. Fenomena fanatisme dan rasionalisme publik di Indonesia sangat menonjol sejak Pilpres 2014. Baik fanatisme maupun rasionalisme artikulasinya pada satu sosok: Joko Widodo (Jokowi).

Satu pihak secara fanatik menentang Jokowi, pihak lain juga ada kelompok yang dengan fanatik mendukung Jokowi. Hanya saja, di pihak pendukung Jokowi, prosentase dengan kategori ‘pendukung fanatik’ tidak begitu besar. Kelompok ‘pendukung fanatik’ Jokowi dalam Pilpres 2014 (juga 2019) umumnya berasal dari simpatisan parpol pengusung. Sisanya, kelompok rasionalis.

Kelompok fanatik penentang Jokowi terbagi atas dua sub-kelompok. Pertama, kelompok politisi yang berseberangan dengan Jokowi atau parpol pengusung Jokowi, dan pelaku bisnis yang menganggap kebijakan ekonomi Jokowi tidak menguntungkannya, atau bahkan bisa memutus selang rezekinya yang mereka jaga sejak zaman Orde Baru. Kedua, sub-kelompok yang ditakdirkan untuk menentang Jokowi, dengan atau tanpa penjelasan.

Di mata orang-orang fanatik penentang Jokowi, semua sisi dari Jokowi adalah buruk adanya. Bisa dijelaskan, buruknya seperti apa? Pokoknya buruk aja. Semua kebijakan Jokowi salah! Salahnya dimana, bisa dijelaskan? Gak tahu, pokoknya salah. Setinggi apapun tingkat pendidikan mereka.

Wajar kalau ada berita di media atau media sosial yang menyalahkan Jokowi, mereka anggap itu sebagai kebenaran yang turun dari Tuhan. Perkara apakah berita itu benar atau tidak, siapa atau media apa yang menulis, itu tidak penting.

Begitu juga di mata para pendukung fanatiknya, semua sisi kehidupan Jokowi bagus. Apapaun kebijakan Jokowi pasti benar. Bisa dijelaskan? Pokoknya gitu aja, gak mungkin salah. Jokowi adalah sosok yang dikritik sekalipun tidak boleh, apalagi disalahkan. Mereka seolah tidak menempatkan Jokowi sebagai manusia yang tidak luput dari salah.

Pada dasarnya kedua kelompok fanatik ini sama, hanya beda posisi. Sikap dan pemikirannya tidak akan berubah, sampai ada arahan ‘dari atas’. Sosok yang mungkin bisa mempersatukan dua kelompok fanatik ini adalah Maria Ozawa.

Sementara kelompok rasionalis, keputusan untuk mendukung Jokowi merupakan hasil proses membaca, menganalisis segala apa yang berkaitan dengan Jokowi. Mungkin juga setelah membandingkan dengan sosok kompetitornya. Di mata kaum rasionalis, Jokowi adalah manusia biasa, yang tak mungkin tidak punya kelemahan dan kesalahan. Mereka tetap kritis terhadap apapun yang dilakukan Jokowi.

Bahkan, seandainya Jokowi melakukan kesalahan yang fatal dan gamblang, kelompok rasionalis ini tidak akan segan untuk meninggalkan Jokowi. Misalnya, dalam APBN 2020 Jokowi menganggarkan pembelian lem aibon hingga Rp2 triliun, pasti ditinggalkan. Karena jika itu terjadi, pantas diduga korupsi.

Atau seandainya, Jokowi memberikan penghargaan kepada perusahaan yang menyediakan ‘hiburan malam’, meskipun kemudian Jokowi membantah bahwa tanda tangannya dicatut dan penghargaan itu dibatalkan, Jokowi bukan hanya ditinggalkan, tapi dilengserkan.

Pemikiran dan sikap kelompok rasionalis tidak ditentukan atau dipengaruhi oleh orang yang memberinya rezeki atau oleh lembaga tempatnya bekerja. Pun pilihan politik para rasionalis tidak ditentukan atau dipengaruhi kontrak bisnis dengan pihak tertentu atau pamrih. Mereka merdeka dalam berpikir, bersikap, dan bertidak.

Kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019, menunjukkan bahwa kaum rasionalis di Indonesia jumlahnya cukup banyak. Ini kabar gembira.

***