Merayakan Persahabatan, Berbuah Kebahagiaan dan Kesehatan

Dari seorang sahabat, kita tak berharap selalu sama dalam pilihan politik, pilihan ideologi, gaya hidup ataupun pilihan paham agama.

Rabu, 11 Desember 2019 | 09:37 WIB
0
304
Merayakan Persahabatan, Berbuah Kebahagiaan dan Kesehatan
Ilustrasi persahabatan (Foto: Grid.id)

Untuk Neng Dara

TIME Magazine (Time.Com) memuat tulisan penting tentang persahabatan. Tulisan itu cukup provokatif, disusun oleh Amanda McMilan. Judulnya: Why Friends May Be More Important Than Family. Mengapa Teman Mungkin Lebih Penting dibandingkan Keluarga.

Tulisan itu bukanlah opini seorang jurnalis. Ia bukan pula olah renung seorang filsuf. Itu hasil riset empirik yang serius. Tak nanggung- nanggung, responden riset sebanyak 270 ribu orang dewasa. Mereka berasal dari 100 negara. Yang ikut mengerjakan riset ini profesor dari Departemen Psikologi Universitas Michigan State.

Inti sari temuan riset sebagai berikut. Baik keluarga ataupun teman sama pentingnya bagi kebahagiaan dan kesehatan seseorang. Mereka yang mempunyai keluarga yang hangat dan lingkungan persahabatan yang akrab umumnya lebih bahagia dan lebih sehat.

Namun, menurut temuan riset itu, semakin menua usia seseorang, persahabatan lebih menentukan dibanding hubungan keluarga bagi tumbuhnya rasa bahagia dan kesehatan. Mengapa? Semakin seseorang bertambah usia, keluarga datang kadang lebih karena tradisi dan kewajiban. Tapi teman datang karena pilihan bebas dan suka rela.

Mereka yang datang pada kita, menghabiskan waktu bersama, membagi cerita, saling mendengar, akan lebih kuat terasa jika itu dilakukan sebagai pilihah bebas atau suka rela, dibandingkan karena tradisi atau kewajiban.

**

Yang penting dalam lingkaran teman dan persahabatan itu bukan jumlah tapi kualitas. Bukan banyaknya teman, tapi kualitas keakraban seorang sahabat yang memberi efek pada kebahagiaan dan kesehatan.

Ini dua isu penting soal keakraban itu.

Pertama, pertemanan yang berkualitas jika berlangsung percakapan personal. Semakin kita berjumpa seseorang yang kita nyaman membagi kisah yang sangat pribadi, bahkan kadang berupa kelemahan dan kekurangan kita, semakin personal hubungannya. Semakin kita nyaman dengan seseorang berbagi cerita yang sedih hingga teteskan air mata, bahkan kebodohan pribadi yang membuat kita menertawakan diri sendiri, semakin akrab hubungan persahabatan.

Kepada sahabat itu, kita tak sungkan telanjangkan diri, atau setengah telanjang. Kita nyaman membagi kegelisahan, rencana hidup yang mungkin tak seharusnya. Kepadanya, kita nyaman tampil apa adanya, melepas topeng, menanggalkan kepura-puraan.

Kedua, hubungan teman yang berkualitas juga hubungan yang suportif, yang saling mendukung. Tak peduli apapun yang kita lakukan, ketika kita membagi kisah itu kepada teman, ia mendengar dan mendukung. Ia membesarkan hati dan memberi harapan baru. Ia tidak menjadi hakim yang justru membuat kita tak nyaman.

Sahabat itu seperti bangku di taman. Kita dapat duduk di sana dengan nyaman. Dan bangku itu menyediakan diri agar kita melepas beban dan rileks.

Hadirnya percakapan personal dan sifat mendukung itulah yang menentukan kualitas persahabatan. Kualitas itu yang memberi efek pada kebahagiaan dan kesehatan.-000-

Berapa jumlah teman yang kita perlukan untuk kebahagiaan dan kesehatan?

Soal ini ada pula risetnya. Dikenal istilah Dumber’s number: jumlah teman yang ditemukan oleh Dr. Robin Dunbar. Ia psikolog dari university of Oxford.

Menurut Dunbar, dari kapasitas otak manusia, kita memiliki kemampuan terbatas soal jumlah teman atau jaringan yang mampu kita rawat. Paling banyak sekitar 150 orang yang bisa kita rawat untuk regular melakukan komunikasi. Lebih dari angka 150 orang, kita tak lagi memiliki waktu yang cukup dan sehat untuk berkomunikasi.

Namun untuk hubungan yang lebih dalam lagi, merawat persahabatan dan berjumpa face to face, temu darat, bercakap mendalam, jumlahnya jauh lebih sedikit. Berdasarkan riset Dunbar, jumlah orang terdekat kita paling banyak hanya 15 orang. Di dalam jumlah itu sudah termasuk anggota keluarga yang kita merasa akrab.

Tapi berapa jumlah minimal sahabat yang kita butuhkan untuk kesehatan dan kebahagiaan? Jumlah minimal, menurut riset sekitar 3-5 orang saja.

Dalam hidup, jika kita memiliki sahabat, yang benar- benar sahabat, sekitar 3 orang hingga 15 orang, itu sudah sangat membantu rasa bahagia dan kesehatan. Sahabat yang sangat akrab memang tak perlu banyak.

**

Namun justru di titik itu terjadi ironi budaya post modern. Di era media sosial, teknologi membantu kita berkomunikasi dengan siapapun secara lebih mudah, cepat, murah. Ada video call yang membuat kita dapat bertatap wajah dalam jarak jauh dan mudah. Ada WA grup, Facebook, Twitter, Instagram yang memudahkan kita membangun persahabatan.

Tapi temuan riset menemukan data sebaliknya. Jurnal Plos One dalam review tahun 2010 mempublikasikan hal penting. Data dari General Social Survei (GSS), menunjukkan ini era semakin sulit kita memiliki sahabat.

Itu untuk kasus di Amerika Serikat. Namun hal yang sama mungkin pula dialami di aneka wilayah. Jumlah manusia yang mengaku tak punya sahabat berlipat tiga dalam dekade terakhir.

“Aku tak punya sahabat sama sekali. Jumlah sahabatku NOL. Tak ada. Itu jawaban yang semakin sering dijumpai justru di era hingar bingar media sosial. Terutama orang dewasa, mereka sangat sulit menemukan dan merawat persahabatan.

Di media sosial, percakapan yang terbentuk umumnya dangkal dan tidak personal.

**

Neng Dara membuat acara khusus merayakan dan mensyukuri ulang tahun yang ke 50. Ia bahkan menulis soal itu. Judulnya sangat pas dengan tulisan ini: Mensyukuri Jiwa, Merefleksikan Usia dan Merayakan Persahabatan. Ia mengundang para sahabat dekat untuk mensyukuri hidup dan berterima kasih atas persahabatan yang terbentuk.

Di era kini, ketika hubungan manusia cepat rusak, menemukan dan memiliki sahabat dalam rentang waktu yang panjang adalah berkah.

Dua tahun lalu, saya bersama teman teman di Kelompok Studi Proklamasi, pergi tamasya bersama, merayakan 35 tahun persahabatan. Setiap kali kami berbicara soal politik, kita berdebat dan “bertengkar.” Setiap kali sharing soal isu agama, kita “ribut” dan berbeda.

Namun keakraban dan kehangatan hadir di sana. Teman di atas perbedaan politik. Bahkan Teman di atas perbedaan agama.

Dari seorang sahabat, kita tak berharap selalu sama dalam pilihan politik, pilihan ideologi, gaya hidup ataupun pilihan paham agama. Namun seorang sahabat adalah ia yang memberi dirinya untuk mendengar, menghabiskan waktu, membantu dan membesarkan hati.

Ujar H. Jackson Brown, “ingatlah barang antik yang paling berharga adalah sahabat lama yang kita sayangi.”

Benar Neng Dara: Mari kita rayakan persahabatan.*

10 Desember 2019

***

Denny JA