Menuding Presiden sebagai panglima, tapi membiarkan sistem politik dan pemilunya, yang menjadi bagian hulu terpenting dari sebab timbulnya korupsi.
Dengan gagah berani, dalam Hari Anti-korupsi Internasional, Saut Situmorang dalam pidatonya mengatakan; Pedang pemberantasan korupsi di tangan Presiden.
Lantas, dengan Tap MPR 1998 negara mendirikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai komisi negara pemberantasan korupsi, buat apa? Buat memberantas Presiden, bukannya untuk menebas korupsi?
Tahun ini, Presiden Jokowi tak hadir dalam peringatan HAK yang diselenggarakan KPK. Padahal, KPK dan slagordenya ngarep banget. Bahkan di antara mereka ada yang bilang, kedatangan Jokowi akan jadi ukuran komitmen Presiden atas pemberantasan korupsi. Segitunya?
Hadeh. KPK ini lama-lama memang komisi negara yang baperan. Terlalu banyak menuntut pihak lain, tapi kurang introspeksi. Bisa jadi, ketika lembaga ini menjadi tampak makin politis. Apalagi dengan posisi Novel Baswedan. KPK seolah menjadi komisi negara yang terpisah. Merasa paling bersih dan jumawa. Padahal?
Padahal belum tahu juga. Yang kita butuhkan bukan hanya klaim, labeling, apalagi hanya untuk membangun framing bahwa lembaga ini malah secara diametral berlawanan dengan lembaga kepresidenan. KPK rajin bikin statemen pemerintah dianggap kurang berpihak pada pemberantasan korupsi.
Meski mengutus Wakil Presiden Ma'ruf Amien, untuk hadir dalam HAK di KPK hari ini, namun ketika kita tahu Presiden justeru memilih acara peringatan hari yang sama di sebuah SMA Negeri di Jakarta, kita jadi menafsir-nafsir. Jokowi memang suka memberi ruang tafsir. Padaha sering mleset targetnya, karena yang muncul justeru adu judgment.
Dalam acara HAK di SMA itu, Jokowi menonton drama pendek, mengenai bagaimana praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam drama itu, ada bakul bakso bernama Erick Thohir, dengan siswa-siswa SMA antara lain Wishnutama dan Nadiem Makarim.
Menutup acara itu, Jokowi kemudian menyampaikan pesan, melakukan tindakan korupsi dalam berbagai bentuknya, tidak boleh. It's very simple 'kan?
Tapi koar-koar politiknya lebih menonjol, bukannya hukum. Menuding Presiden sebagai panglima, tapi membiarkan sistem politik dan pemilunya, yang menjadi bagian hulu terpenting dari sebab timbulnya korupsi.
Lihat Saut Situmorang dalam pidatonya mengatakan, radikalisme lahir karena korupsi. Karena itukah Jokowi lebih suka nonton petuah pedagang bakso bernama Erick Thohir di SMA 57 Jakarta itu? Bayangin pedagang bakso berpetuah soal anti korupsi pada anak SMA, yang salah duanya diperankan Mas Menteri Kemendikbud dan Menteri Pariwisata Wishnutama?
Atau Presiden Jokowi punya strategi baru untuk pemberantasan korupsi, seperti disinyalir Agus Rahardjo?
Orang Indonesia ternyata lebih suka blok-blok'an. Bahkan saling bersaing. Apalagi kalau merasa paling bener dan pinter. Hanya di Indonesia, mereka yang mestinya bertugas di ruang sunyi, demen banget nongol di televisi. Kayak artis, tak malu menceritakan rumah-tangganya bermasalah. Namanya juga baper, mau gimana lagi?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews