Korupsi dari Diri Sendiri

Menuding Presiden sebagai panglima, tapi membiarkan sistem politik dan pemilunya, yang menjadi bagian hulu terpenting dari sebab timbulnya korupsi.

Senin, 9 Desember 2019 | 15:43 WIB
0
233
Korupsi dari Diri Sendiri
Presiden Jokowi (Foto: indozone.id)

Dengan gagah berani, dalam Hari Anti-korupsi Internasional, Saut Situmorang dalam pidatonya mengatakan; Pedang pemberantasan korupsi di tangan Presiden.

Lantas, dengan Tap MPR 1998 negara mendirikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai komisi negara pemberantasan korupsi, buat apa? Buat memberantas Presiden, bukannya untuk menebas korupsi?

Tahun ini, Presiden Jokowi tak hadir dalam peringatan HAK yang diselenggarakan KPK. Padahal, KPK dan slagordenya ngarep banget. Bahkan di antara mereka ada yang bilang, kedatangan Jokowi akan jadi ukuran komitmen Presiden atas pemberantasan korupsi. Segitunya?

Hadeh. KPK ini lama-lama memang komisi negara yang baperan. Terlalu banyak menuntut pihak lain, tapi kurang introspeksi. Bisa jadi, ketika lembaga ini menjadi tampak makin politis. Apalagi dengan posisi Novel Baswedan. KPK seolah menjadi komisi negara yang terpisah. Merasa paling bersih dan jumawa. Padahal?

Padahal belum tahu juga. Yang kita butuhkan bukan hanya klaim, labeling, apalagi hanya untuk membangun framing bahwa lembaga ini malah secara diametral berlawanan dengan lembaga kepresidenan. KPK rajin bikin statemen pemerintah dianggap kurang berpihak pada pemberantasan korupsi.

Meski mengutus Wakil Presiden Ma'ruf Amien, untuk hadir dalam HAK di KPK hari ini, namun ketika kita tahu Presiden justeru memilih acara peringatan hari yang sama di sebuah SMA Negeri di Jakarta, kita jadi menafsir-nafsir. Jokowi memang suka memberi ruang tafsir. Padaha sering mleset targetnya, karena yang muncul justeru adu judgment.

Dalam acara HAK di SMA itu, Jokowi menonton drama pendek, mengenai bagaimana praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam drama itu, ada bakul bakso bernama Erick Thohir, dengan siswa-siswa SMA antara lain Wishnutama dan Nadiem Makarim.

Menutup acara itu, Jokowi kemudian menyampaikan pesan, melakukan tindakan korupsi dalam berbagai bentuknya, tidak boleh. It's very simple 'kan?

Tapi koar-koar politiknya lebih menonjol, bukannya hukum. Menuding Presiden sebagai panglima, tapi membiarkan sistem politik dan pemilunya, yang menjadi bagian hulu terpenting dari sebab timbulnya korupsi.

Lihat Saut Situmorang dalam pidatonya mengatakan, radikalisme lahir karena korupsi. Karena itukah Jokowi lebih suka nonton petuah pedagang bakso bernama Erick Thohir di SMA 57 Jakarta itu? Bayangin pedagang bakso berpetuah soal anti korupsi pada anak SMA, yang salah duanya diperankan Mas Menteri Kemendikbud dan Menteri Pariwisata Wishnutama?

Atau Presiden Jokowi punya strategi baru untuk pemberantasan korupsi, seperti disinyalir Agus Rahardjo?

Orang Indonesia ternyata lebih suka blok-blok'an. Bahkan saling bersaing. Apalagi kalau merasa paling bener dan pinter. Hanya di Indonesia, mereka yang mestinya bertugas di ruang sunyi, demen banget nongol di televisi. Kayak artis, tak malu menceritakan rumah-tangganya bermasalah. Namanya juga baper, mau gimana lagi?

***