Buni Yani, First Travel dan Penipuan Berkedok Syariah

Dari kasus First Travel sampai perumahan fiktif berkedok syariah yang sangat meresahkan masyarakat. Utamanya orang miskin.

Selasa, 24 Desember 2019 | 08:46 WIB
0
377
Buni Yani, First Travel dan Penipuan Berkedok Syariah
Penipuan berkedok syariah (Foto: CNN Indonesia)

Memang namanya Buni Yani itu top. Dia adalah inspirasi terjungkalnya Ahok. Dia juga pahlawan naiknya Anies Baswedan. Juga praktik politik identitas ayat dan mayat, hingga politik segregatif yang hampir mengoyak negeri.

First Travel

Bisa jadi Buni Yani adalah inspirasi bagi First Travel. Agama digunakan oleh para pencoleng untuk menipu masyarakat. Pernyataan Buni Yani soal jualan pakai dan atas nama agama pada 2014 itu bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk menipu.

Bayangkan! First Travel menipu 58.682 calon jemaah umrah dari Desember 2016 hingga Mei 2017. Hanya dalam enam bulan First Travel mengeruk Rp848 miliar. Korban penipuan 72.682. Yang bener diberangkatkan ke Arab Saudi ada 14.000 orang.

Cara menipunya? Promo murah. Biaya minimal umrah masa itu sekitar Rp21 juta. First Travel memberi tawaran menggiurkan. Rp14,3 juta! Nah. Kaum miskin dan setengah kaya berbondong-bondong tertarik. Ibadah murah ke Tanah Suci. Top.

Perumahan Fiktif Berkedok Syariah

Lainnya lagi yang mungkin terinspirasi Buni Yani juga ada. Menipu berkedok sistem bisnis syariah. Obyek penipuannya perumahan fiktif berkedok syariah. Cara menipu alias modus operandinya lihai benar. Seperti yang dibongkar oleh Polda Metro Jaya.

Pencoleng berinisial AA alias Aria (Direktur), MAA alias Afif, MM alias Mia, dan SM alias Iful pada 2015 menawarkan Perumahan dengan Konsep Berbasis Syariah.

Nama-nama perumahan pun berbau kebesaran Islam di masa lalu. Nama keren dipajang. De Alexandria dan The New Alexandria di Bojong Gede, Cluster Cordova (Bekasi), Hagia Sophia Town House (Bandung), Pesona Darussalam (Lampung).

Karena berdasarkan syariah maka menjadi halal, tanpa riba. Karena berbasis syariah maka BI Cheking pun tidak berlaku. Artinya semua pemesan yang bermasalah akan disetujui untuk membeli rumah. Enak bener.

Karena berbasis syariah, mereka pun tidak mengenakan denda. Bahkan mereka membebaskan biaya denda dan jika terlambat mengangsur. Tidak akan disita rumah yang mereka beli secara kredit jika lalai membayar, cukup dimusyawarahkan.

Seluruh akad perjanjian jual beli menggunakan istilah syariah. Akad perjanjian bernama Istishna, kelihatan syar’i.

Lebih menjanjikan lagi adalah kredit berbasis syariah ini tidak mengenakan bunga kredit sama sekali.

Untuk meyakinkan calon pembeli, mereka melakukan promosi layaknya perusahaan betul. Ada customer gathering, ground breaking di lokasi, promosi dengan brosur, dan rumah contoh di tanah bermasalah – belum dibebaskan. Makanya lokasi banyak ditumbuhi rumput.’

"Membuat rumah contoh untuk meyakinkan para calon korbannya, korban penipuan berjumlah lebih kurang 270 orang," kata Irjen Gatot Eddy kepada wartawan di Jakarta, Kamis (28/11/2019).

Ratusan orang tertarik berbondong membayar down payment (DP) alias uang muka. Sebagian lain malah membayar angsuran. Mereka tertipu mengeluarkan uang sebesar Rp23 miliar.

Yang lebih meyakinkan mereka juga menyetor uang ke bank syariah. Sempurna sudah! Masyarakat tergiur kemudahan transaksi berkedok syariah.

Yang mengenaskan adalah para korban penipuan adalah para kuli bangunan, buruh, tukang ojek, dan para karyawan berpenghasilan rendah. Harapan memiliki rumah murah justru menjadi korban penipuan.

Terkait pengungkapan kasus perumahan fiktif yang dilakukan oleh mafia tanah berkedok syariah yang dilakukan oleh Subdit 2 Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya, berdasarkan 41 korban penipuan yang sudah melaporkan ke polisi, Polda menghimbau masyarakat untuk berhati-hati, apalagi berkedok syariah.

“Himbauan saya kepada seluruh masyarakat, karena kasus-kasus terkait dengan perumahan fiktif, juga apartemen sudah beberapa kali kita tangani, oleh karena itu kalau membeli cek betul, tanyakan betul status tanahnya dan lain sebagainya. Pengecekan, sehingga tidak menjadi korban berikutnya,” kata Gatot Eddy.

Nah, itulah akibat dari pemahaman masyarakat yang mudah terkecoh oleh hal yang disangkutpautkan dengan atas nama agama. Seperti yang disebutkan oleh Buni Yani. Hingga korban berjatuhan kehilangan logika berpikir.

Dari kasus First Travel sampai perumahan fiktif berkedok syariah yang sangat meresahkan masyarakat. Utamanya orang miskin.

Ninoy Karundeng, penulis.

***